JAVASATU.COM-MALANG- Warga yang mengatasnamakan Forum Senggreng Bersatu (FSB) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPRD Kabupaten Malang terkait Koordinasi Pengerjaan dan Pengelolaan Tanah Mbaon. Pertanyaannya, kenapa lahan itu harus mereka pertahankan?.

Dijelaskan oleh Humas FSB, Mayar, dalam sejarahnya lahan Mbaon telah digarap oleh warga Desa Senggreng sejak tahun 1950-an. Dalam pengerjaannya, masyarakat telah membuat saluran irigasi secara swadaya.
“Tanah Mbaon itu bukan hutan belantara, bukan semak belukar, itu tanah produktif, tanah pertanian. Jadi sangat besar manfaatnya untuk masyarakat Desa Senggreng,” jelasnya, Rabu (06/12/2023) usai RDPU dengan DPRD Kabupaten Malang.
Secara singkat Mayar menyebut bahwa penggarapan lahan dilakukan secara turun-temurun. Maka hidupnya pun juga tergantung dari hasil pengolahan lahan Mbaon.
“Karena bisa menghidupi orang yang pra sejahtera, yang pekerjaannya hanya buruh tani, tidak ada keahlian apa-apa. Tanah Mbaon itulah tempat kami mencari nafkah untuk menghidupi keluarga,” ujarnya.
Mayar menguraikan, saat ini sedikitnya ada sekitar 10 ribu warga Desa Senggreng yang menggantungkan nasibnya pada Tanah Mbaon.
“Penggarapannya sudah dibagikan dari RT 1 hingga RT 33, itu sudah kebagian garap semua. Jadi sudah merasakan semua, merata,” ujarnya.
Maka dengan hasil menggarap lahan Mbaon tersebut banyak dirasakan manfaatnya, selain untuk warga, juga dimanfaatkan untuk kepentingan Pemerintah Desa (Pemdes).
“Banyak manfaatnya, contohnya, pembelian tanah makam, penerangan jalan, anggaran bersih desa hingga acara Agustusan. Tidak ada namanya tarikan ke masyarakat,” imbuhnya.
Namun, permasalahan itu muncul setelah baru-baru ini, TNI AU melakukan pengukuran lahan Mbaon. Mayar pun mensinyalir, hal itu dilakukan dalam rangka mengurus legalitas lahan Mbaon.
“Baru-baru ini AURI (TNI AU) mau mengukur, mau legalitas, mau dimiliki. Kami protes, kami resah, itu alasan kami kesini (DPRD Kabupaten Malang). Kalau bisa jangan dimiliki AURI, harus dimiliki oleh masyarakat Senggreng,” pinta Mayar mewakili warga desa Senggreng.
Mayar masih mengingat bahwa pengukuran tersebut dilakukan pada 11 November 2023 lalu.
“Sebelum diukur, tidak ada gejolak, kami biasa saja, Desa Senggreng itu kondusif, aman,” imbuhnya.
Mayar juga menjelaskan bahwa ketegangan terkait pengelolaan lahan Mbaon sudah sering kali terjadi. Hingga akhirnya permasalahan reda, dengan kesepakatan warga diminta untuk membayar sewa pengelolaan Tanah Mbaon.
“Itu (bayar sewa) betul adanya, (awalnya) dibentuk panitia. Panitia itulah yang mengurus semuanya. Jadi yang 75 persen ke AU, yang 25 persen ke desa. Sejak tahun 2016, pada waktu itu masih lurah yang dulu,” tuturnya.
Mayar menyebut, uang sewa yang dibayarkan disetiap tahunnya tersebut mencapai ratusan juta.
“Rp 160 juta pertahun, pembayarannya panitia yang tahu, saya tidak terlibat dalam panitia,” ujarnya.
Sekedar informasi, dalam agenda rapat dengar pendapat umum tersebut turut dihadiri oleh sejumlah pihak dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malang. Secara umum, dalam tanggapannya, DPRD Kabupaten Malang menjamin bakal memfasilitasi sekaligus mendampingi masyarakat Desa Senggreng terkait Tanah Mbaon tersebut.
“Jawaban DPRD tadi mau membantu kami, bahkan mau ke Presiden, ke Kementerian. Kami akan tetap lanjutkan, supaya tanah itu menjadi milik masyarakat Desa Senggreng, sampai dimanapun, sampai kemanapun akan kami jalani,” tukas Mayar. (Agb/Saf)