JAVASATU.COM – Sejak bangsa ini memproklamirkan diri menjadi bangsa yang bebas dari belenggu kolonial, baik penjajah Belanda maupun Jepang, kini kita masih belum menunjukkan diri sebagai bangsa mampu menunjukkan khasanah peradaban yang tinggi, dengan ilmu, teknologi, humanisasi yang menjadi penopang dasarnya. Proses-proses keterhubungan selama ini dengan dunia luar hanya terhenti corak konsumerisme pengetahuan dominan. Pada titik ini, kita jangan terlalu berharap telah dan akan terjadi proses dialektika yang produktif, tetapi justru masuk dalam kubangan yang sama, yakni mengekor pada pengetahuan yang dianggap ‘tinggi’. Saya terkadang menduga, apa yang pernah dikemukakan oleh Sutan Takdir Alisahbana tentang kemodernan suatu bangsa, kini kita turut membenarkan dan melegitimasinya secara diam-diam.
Tentu saja, dugaan ini hanyalah salah satu saja dari sekian banyak asumsi yang bisa dikemukakan, asalkan masih konsisten berada dalam prinsip error and elimination. Setidaknya, pandangan-pandangan yang mengemuka selama ini terdapat kita lihat dari cara pandang yang bercorak modernis dan konservatisme tradisi. Cara pandang modern ini menganggap hanya ada satu pola tunggal yang harus diikuti, pola-pola lain yang tidak masuk dalam standar rasionalitas dan ilmiah harus dipinggirkan. Pola tunggal ini juga berhasrat untuk menyeragamkan dan mengarah pada guidance utamanya, yakni pencerahan.
Pada konteks ini kita bisa melihat bagaimana kemodernan dan rasionalitas ilmiah selama ini ada di ‘luar sana’, maka untuk mencapainya kita harus melakukan mimikri. Segala macam tradisi yang dimutlakan, apalagi mitos, harus dibumihanguskan karena tidak lagi relevan dan pasti akan ditolak oleh narasi pencerahan yang diagungkan. Sayangnya, cara pandang ini tidak secara tuntas atau berani untuk meninggalkan dogma atau keyakinan teologis jika memang betul-betul menggunakan cara pandang modern dan positivis. Nyatanya tidak demikian yang dilakukan. Kita masih melihat bagaimana keberagamaan kini bahkan lebih semarak dan cenderung mendominasi ruang-ruang yang sejatinya bukan kaplingnya untuk masuk larut, tetapi hasrat kuasa mendahuluinya ketimbang kebijaksanaan.
Sementara pandangan kedua juga masih beranggapan bahwa tradisi dan segala macam mitos, sekaligus kearifan lokal tetap menjadi ‘barang antik’ yang harus terus menerus ditinggikan, jika perlu dipoles agar nampak indah dan molek. Pengagungan semu seringkali muncul sebagai bentuk ‘kritik’ pada modernitas. Konservatisme buta pada kelompok ini juga cenderung memutlakan pengetahuan yang dianggap historis pada keberadaan mereka sekaligus berguna untuk melindungi ‘kepentingan’ pengetahuan yang given take granted dari masa lalu.
Kedua narasi berkembang, berjalan masing-masing, kadang terjalin atau sesekali terjadi konflik tetapi hanya di permukaan, tetapi diam-diam saling pinjam untuk dipakai kepentingan masing-masing. Narasi pertama kadang ingin mendominasi dengan berbagi cara agar legitimasinya semakin kuat, misalnya saja narasi sains hendak menyelesaikan masalah covid 19 dengan berlomba memunculkan vaksin dan lalu perusahaan sebagai institusi penopangnya (produsen obat). Lytord memberikan analisis melampaui modernitas dalam hal ini. Kini, bukan pencerahan lagi yang menjadi narasi tunggal yang dirujuknya, akan tetapi justru kepentingan neo liberalisne.
Sementara narasi kedua yang diangap kerdil, di pinggiran, juga masuk dalam diskursus lain yang tidak kalah agresifnya jika muncul masalah. Jangan kira narasi kedua ini tidak mempunyai fungsi sama sekali, akan tetapi narasi ini meskipun dianggap minor akan tetapi justru dominan di aras lain. Narasi ini juga memainkan peran-peran yang tidak kalah canggihnya. Narasi ini menentramkan, mendiamkan diri dalam kebisingan dan kegaduhan yang terjadi di luar sana. Level yang digarap pada narasi ini berada di antara sisi human, keyakinan, dan kekuatan di luar sana. Apakah kekuatan kekuatan di luar sana mengalami modifikasi dan kapitalisasi sebagaimana narasi pertama di atas? Mungkin saja, meskipun levelnya masih sangat rendah.
Apapun narasi yang berjalan selama ini, nyatanya sama sekali tidak ada lompatan berarti dalam pemajuan peradaban keIndonesiaan. Stagnasi pengetahuan dan ilmu pengatahuan tersebut disebabkan kuasa nalar terbentuk (al-‘aql al-mukawwan) yang menentukan cara memahami dan menafsirkan, bahkan dalam membentuk cara pandang (world view). Nalar ini diyakini sebagai kebenaran ‘mutlak’ dan mempunyai otoritas yang sangat kuat, yakni kewenangan dalam menentukan sebuah proses penalaran dan pengambilan putusan (judgment) pengetahuan ilmiah. Dugaan penulis, nalar terbentuk yang mendominasi tersebut adalah terjadinya tumpeng tindih antara mitos, dogma, tradisi dan sains yang dimodifikasi sedemikian rupa karena arahan dari pemandu tunggal, yakni ‘keharmonisan’. Tabik. (*)