JAVASATU.COM- “Jangan takut bermimpi.” Itulah prinsip hidup yang selalu dipegang oleh Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc. Meski sempat ditertawakan karena memiliki cita-cita yang dianggap terlalu tinggi oleh teman-temannya, Iskhaq, yang pernah bekerja sebagai kondektur bus kota, tetap teguh meraih impiannya.
Kini, ia telah meraih gelar Guru Besar di Universitas Sriwijaya, sebuah pencapaian yang membuktikan bahwa impian, sekecil apa pun, bisa menjadi kenyataan jika diperjuangkan dengan tekad kuat.
Lahir di Desa Jelabat BK 9, OKU Timur, Sumatera Selatan, pada 4 Oktober 1972, perjalanan hidup Iskhaq penuh tantangan. Di desa kecil ini, ia tumbuh dalam keterbatasan ekonomi dan minimnya fasilitas. Namun, berkat didikan kuat dari orang tuanya dan semangat yang tak pernah padam untuk meraih cita-cita, Iskhaq mampu menghadapi berbagai rintangan. Justru, keterbatasan ekonomi itulah yang menjadi pendorong baginya untuk terus maju dan meraih prestasi.
Bagi putra pasangan H. Abu Daud dan Hj. Sri Utami ini, mimpi adalah kunci utama untuk maju.
“Jangan takut bermimpi, karena tanpa mimpi untuk masa depan, kita tidak memiliki dorongan untuk maju. Mimpi adalah pendorong utamanya,” ujarnya dalam Webinar SEVIMA, Senin (09/09/2024).
Perjalanan hidup Iskhaq yang penuh perjuangan dimulai sejak masa kecil. Tinggal di desa terpencil, Icak, panggilan masa kecilnya, baru merasakan listrik saat duduk di kelas 2 SD. Saat itu, listrik tersedia berkat seorang juragan yang membeli mesin diesel untuk mengalirkan listrik ke seluruh desa melalui iuran tertentu. Baru pada tahun 1991, listrik dari PLN masuk ke desanya. Meskipun hidup dalam keterbatasan, kondisi ini justru semakin memotivasi Iskhaq untuk meraih impiannya, menjadikannya sosok inspiratif bagi banyak orang.
Jadi Kondektur Bus Demi Bertahan Hidup
Untuk meraih cita-citanya, Iskhaq merantau ke Palembang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Di sini, perjuangan hidupnya semakin berat. Dengan uang saku yang sangat terbatas, hanya Rp 50 ribu per bulan untuk semua kebutuhan, termasuk uang kuliah, kos, dan makan, Iskhaq harus mencari cara untuk bertahan hidup.
Ia akhirnya tak ragu mengambil pekerjaan sebagai kondektur bus kota Palembang di Jurusan Kilometer 12 – Plaju. Meski harus menahan rasa malu, terutama saat bertemu dengan teman-teman kuliahnya, Iskhaq tetap menjalani pekerjaan ini dengan semangat. Baginya, tak ada yang lebih penting daripada bisa melanjutkan pendidikan.
“Bahkan istri saya saat ini (Silviana), juga ketemunya saat saya jadi kondektur bus. Disamping kita memang satu kampus di Universitas Sriwijaya. Saat itu saya malu, tapi saya lebih memilih malu daripada tidak makan,” kenang Iskhaq.
Untuk menambah penghasilan, Iskhaq juga bekerja sebagai kuli panggul di pasar bersama teman satu kosnya. Setiap pagi, usai Salat Subuh, ia berjalan sejauh 3 kilometer menuju pasar untuk mengangkat barang-barang belanjaan milik orang. Kehidupan yang keras ini membuatnya harus mengatur segalanya dengan sangat hemat, termasuk pola makannya. Ia hanya makan dua kali sehari, pada pukul 10.00 dan pukul 17.00, demi bisa bertahan dalam kondisi yang serba terbatas.
“Sesekali kita makan mie yang direbus lebih lama dari umumnya, supaya mengembangnya besar dan lembek, jadi kenyangnya bisa seharian,” kenang Iskhaq.
Setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya, ayah tiga anak itu, sempat bekerja di salah satu bank. Tahun 1996, hatinya terpanggil untuk menjadi dosen di Universitas Sriwijaya. Keputusannya ini diambil dengan harapan besar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri.
Impian Iskhaq untuk melanjutkan pendidikan akhirnya terwujud. Ia berhasil melanjutkan studi S2 dan S3 di Universitas Tokyo, Jepang. Perjalanan menuju gelar doktor ini tidaklah mudah, namun dengan semangat yang telah menemaninya sejak kecil, Iskhaq berhasil menuntaskan pendidikan tertinggi tersebut. Ia membawa pulang ilmu yang mendalam tentang oseanografi dan iklim tropis, disiplin ilmu yang kemudian menjadi bidang keahliannya hingga diberi amanah sebagai profesor.
Laksana Kondektur, Mengantarkan Pendidikan Tinggi Sumatera ke Arah Lebih Baik
Tekad kuat untuk mengabdikan ilmunya kepada masyarakat, selalu ada dalam dada Iskhaq. Baginya, ilmu pengetahuan bukan hanya untuk dikembangkan di dalam ruang laboratorium, tetapi juga harus bermanfaat bagi kemajuan bangsa.
Kini, Iskhaq menjabat sebagai Kepala LLDIKTI Wilayah II, sebuah satuan kerja di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Ia diamanatkan untuk membina 171 perguruan tinggi swasta dan 9 perguruan tinggi negeri di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Bangka Belitung.
Laksana seorang kondektur, Iskhaq dalam jabatannya kini terus berjuang untuk mengantarkan cita-cita para pendiri Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Ini tanggung jawab besar, mengantarkan cita cita republik dan para pendiri Indonesia. Dan jangankan saya, anak saya sekarang ada tiga, mereka pun kadang tidak percaya Bapaknya yang dulu penuh keterbatasan mendapatkan tanggung jawab ini. Tapi itulah kehidupan,” kenang Iskhaq atas interaksinya kepada ketiga putra-putrinya, Nadiah Khairunnisa Iskandar, Farid Asyam Iskandar, dan Fakhirah Shifa Iskandar.
Kedepan, Iskhaq memiliki visi agar Perguruan Tinggi dan Mahasiswa Sumatera tidak hanya bermutu unggul, tapi juga mampu bersaing di kancah global. Karena menurutnya keberhasilan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan perlu kerja keras.
“Bagi saya, keberhasilan itu diusahakan dengan kerja keras, kesungguhan, ketekunan, dan kerja cerdas. Itulah ilmu sukses. Jadi dengan ketekunan, mari jangan takut bermimpi dan memasang target tinggi: mahasiswa Sumatera bisa mendunia, dan jurusan-jurusan kuliah di Sumatera bisa terakreditasi internasional!,” pungkasnya. (***)