Javasatu,Nganjuk- Diriwayatkan, KH. Zainuddin bin Mu’min adalah ulama besar lahir pada tahun 1850 masehi dari seorang ayah bernama KH. Mu’min. Dan menurut keterangan salah satu santrinya wafat beliau tahun 1954 masehi. Saat ini makam KH Zainuddin Mojosari berada di komplek makam Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur.
Ulama Besar Jarang Terekspos
Menurut santrinya di Nganjuk, Kiai Zainuddin adalah ulama besar nusantara yang ‘paling tak terekspose’ bila dibanding dengan ulama-ulama seangkatannya seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Sholeh Darat (guru beliau), Syekh Kholil Bangkalan, KH. Dimyathi Tremas Pacitan, Syekh Asnawi Kudus.
Pengasuh Ponpes
Dalam catatan tertulis, Pondok Mojosari Nganjuk adalah pondok pesantren yang usianya hampir 3 Abad (termasuk pondok NU tertua). Pondok pesantren ini berdiri sekitar tahun 1723 masehi yang didirikan oleh Kiai Imron. Sebelum mendirikan Pondok Mojosari, Kiai Imron bertirakat Puasa 3 tahun di dalam Batu (Wallahu’alam). Dan waktu membabat Alas Mojosari beliau puasa Jagung (sehari cuma makan 1 biji jagung) sampai pondok berdiri. Hal ini dikarenakan keangkeran Alas Mojosari yang waktu itu terkenal seram dan banyak dihuni oleh ‘Genderuwo’ dan makhluk gaib lainnya.
KH. Zainuddin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur generasi ke 5. Pondok Pesantren Mojosari didirikan pada tahun 1720 masehi oleh Kiai Ali Imron, Bendungan.
Diceritakan santrinya, ketika menjadi santri di Pesantren Langitan, Tuban, Kiai Zainuddin yang asal Padangan, Bojonegoro diambil menantu oleh pengasuh pondok tersebut, dan diminta untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari. Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Mojosari mencapai kejayaannya.
Rihlah
Menurut santrinya dikisahkan, ketika dulu para santri masih menggunakan sistem rihlah (kelana), kata santrinya, kiai Zainuddin adalah salah satu ulama ‘wajib’ yang dituju para santri pada zaman itu dalam rangka menyempurnakan keilmuan para santri. Dari segi usia memang beliau paling muda dengan teman seangkatannya namun beliau yang paling akhir meninggal dunia. Beliau menempati sebuah pondok tua yaitu di Mojosari, Loceret, Nganjuk. Mungkin karena secara geografis berada di kaki Gunung Wilis, maka beliau ‘tidak banyak diekspose’ dibanding sahabat-sahabatnya, karena memang dalam sejarahnya beliau cenderung bergerak dalam keilmuan tasawwuf.
Karomah KH Zainuddin Mojosari
Diceritakan santrinya, Kala itu, berhari-hari masyarakat Mojosari dan pondok dalam suasana gembira. Rupanya hal ini terdengar sampai jauh di luar Nganjuk. Terbukti para Kiai menyikapi insiden tersebut karena melihat bahwa Kiai Zainuddin adalah salah satu tokoh ulama yang paling disegani. Mereka para Kiai takut hal ini akan berdampak pada masyarakat santri pada waktu itu.
Akhirnya Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Sansuri dan para kiai lain bermusyawarah melakukan sikap dan meminta pada Kiai Zainuddin untuk bersikap tegas dengan adanya ‘Kesenian Jaranan’ masuk dalam kegiatan Imtihan atau perpisahan. Mereka para Kiyai akhirnya tidak menuai kesepakatan siapa yang harus sowan menghadap kepada Kiai Zainuddin. Mereka tidak ada yang berani menghadap mengingat mereka semua adalah murid dan santri beliau.
Karena semua kiai tersebut tidak berani menghadap, akhirnya disepakati dengan memakai mediator surat pernyataan dan ditandatangani oleh bersama. Setelah selesai rapat musyawarah pernyataan sikap, para Kiyai pulang ke rumah masing-masing. Tempat musyawarah waktu itu dilaksanakan di Tebuireng.
Saat Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari istirahat, di dalam istirahat itu beliau diingatkan Allah SWT lewat mimpi, dimana dalam mimpi itu KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama seluruh nusantara mengadakan shalat jama’ah. Dan ternyata dalam shalat jam’aah para ulama itu yang menjadi Imam adalah Kiai Zainuddin. Sedangkan beliau Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari berada pada barisan shaf nomer 7. Setelah terbangun, surat yang tadi sudah jadi dengan tanda tangan yang lengkap dan tinggal dikirim akhirnya tidak jadi disampaikan kepada Kiai Zainuddin.
Lantas KH. Hasyim Asy’ari mengabari perihal mimpinya tersebut kepada para kiai yang ikut menandatangani surat pernyataan tersebut. Mereka semua akhirnya sepakat bahwa itu bukan wilayah mereka ngurusi (ikut campur) urusan guru mereka. Berkat karomah yang dimiliki Kiai Zainuddin tersebut, terbukti sekarang masyarakat Mojosari Nganjuk yang tadinya 90 persen abangan menjadi 99 persen Islam dan taat. Wallahualam Bissawab. (Js)