JAVASATU.COM- Ketua Umum (Ketum) DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Tantan Taufiq Lubis, mendesak Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani agar membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 serta pengguliran kembali program Tax Amnesty. Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan ketidakadilan fiskal yang dapat memicu keresahan masyarakat.

“Menkeu Sri Mulyani sedang mempertontonkan akrobat ketidakadilan. Rakyat kecil ditekan dengan kenaikan pajak, sementara kelompok kaya mendapat privilese (hak istimewa sosial, red) pengampunan pajak,” tegas Tantan dalam keterangannya, Jumat (22/11/2024).
Rencana pemberlakuan program Tax Amnesty ketiga kali pada 2025 mendapat kritik tajam. Tantan, yang juga merupakan Executive Board Ikatan Mahasiswa Doktoral Indonesia (Iam-Indonesia), menyebut bahwa kebijakan ini, jika digabungkan dengan kenaikan PPN, akan semakin memperburuk daya beli masyarakat.
“Daya beli masyarakat menengah ke bawah sudah tertekan akibat pendapatan yang tidak mampu mengimbangi kenaikan inflasi. Jika isu ketidakadilan fiskal ini terus berkembang, bukan tidak mungkin muncul gerakan pembangkangan sipil atas kebijakan pemerintah yang dianggap memberatkan,” tambahnya.
PPN Memberatkan Konsumsi Rumah Tangga
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53,08% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terus melemah. Pada kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91%, lebih rendah dari kuartal sebelumnya (4,93%). Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat, hanya mencapai 4,95% pada kuartal III-2024, turun dari 5,11% pada kuartal II-2024.
Kenaikan PPN menjadi 12% yang diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diprediksi semakin membebani daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah.
Tax Amnesty Dinilai Tidak Adil
Program Tax Amnesty yang sebelumnya dijalankan pada 2016 dan 2022 memberikan pengampunan kepada para ‘pengemplang’ pajak dengan syarat membayar uang tebusan. Meski kebijakan ini bertujuan menarik dana yang selama ini disembunyikan di luar negeri, Tantan mengkritik bahwa hal ini justru memberikan kelonggaran kepada kelompok kaya.
“PPN dikenakan pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk golongan miskin, sedangkan pengampunan pajak justru memberikan keuntungan kepada wajib pajak besar. Ketidakadilan ini yang menjadi akar keresahan masyarakat,” katanya.
Seruan untuk Kebijakan Inovatif
Tantan juga mengkritik jajaran menteri ekonomi di kabinet Presiden Prabowo Subianto yang dinilainya kurang kreatif dalam meningkatkan pendapatan negara.
“Menteri Keuangan seharusnya mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor tambang dan pengelolaan sumber daya alam, bukan sekadar menaikkan pajak rakyat kecil,” ujarnya.
Ia menegaskan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% akan sulit tercapai jika pemerintah hanya menerapkan kebijakan lama yang normatif dan tidak berkeadilan.
Dengan kondisi ini, Tantan menyerukan perlunya mengawal kebijakan pemerintah agar tetap berpihak kepada rakyat kecil dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. (Saf)