JAVASATU.COM-MALANG- Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan, SH., MS., menegaskan bahwa pelaksanaan kewenangan hukum pada tahap pra-ajudikasi dalam sistem peradilan pidana harus dilakukan secara koheren, jelas, dan terukur.

Hal ini disampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Reformasi KUHAP: Menyongsong Era Baru Peradilan Pidana yang Progresif dan Berkeadilan” yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), Kamis (24/4/2025).
“Pra-ajudikasi merupakan fondasi awal dari keseluruhan proses peradilan pidana. Jika tahap ini tidak dilaksanakan dengan prinsip koherensi dan kejelasan, maka keadilan substantif akan sulit diwujudkan,” ujar Prof. Deni di hadapan peserta seminar.
Ia menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia terbagi dalam tiga tahapan besar, yakni pra-ajudikasi (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan), ajudikasi (pembuktian di pengadilan), dan pasca-ajudikasi (pembinaan di lembaga pemasyarakatan). Pada tahap awal ini, menurutnya, Polri berperan penting dalam mengumpulkan bukti awal dan menguji dasar hukum atas dugaan tindak pidana.
“Polri memiliki kewenangan penuh dalam penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 dan KUHAP. Namun, kejelasan batas kewenangan sangat penting untuk menghindari tumpang tindih dengan lembaga penegak hukum lain, seperti KPK dan Kejaksaan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti regulasi yang memperkuat kewenangan lembaga penegak hukum, seperti Pasal 26 UU Tindak Pidana Korupsi yang menetapkan wewenang Polri dalam penyidikan, serta Pasal 43 yang memberikan kewenangan penuh kepada KPK dalam penyelidikan hingga penuntutan kasus korupsi.
Prof. Deni menutup pemaparannya dengan menekankan pentingnya reformasi KUHAP sebagai upaya membangun sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
“Reformasi KUHAP harus menjadi momentum untuk memperkuat kerangka hukum yang progresif dan responsif terhadap kebutuhan keadilan masyarakat,” pungkasnya.
Selain Prof. Deni, seminar nasional ini juga menghadirkan Dr. Sholehuddin, SH., MH., dan Dr. Prija Jatmika, SH., MS., yang turut memberikan pandangan kritis terhadap dinamika reformasi hukum acara pidana di Indonesia.
Diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai gagasan tentang perbaikan sistem hukum yang lebih berpihak pada keadilan substantif dan perlindungan hak asasi. (Saf)