JAVASATU.COM-MALANG- DPRD Kabupaten Malang tengah membahas draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan. Lewat Panitia Khusus (Pansus), dewan menekankan bahwa regulasi ini bukan hanya sekadar formalitas perundang-undangan, melainkan strategi membumikan nilai-nilai dasar bangsa melalui pendekatan yang lebih hidup dan menyentuh.

Ketua Pansus, Kuncoro, S.H., M.Kn., tak ingin Raperda ini berhenti sebagai teks normatif. Ia menekankan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai laku hidup masyarakat, bukan sekadar jargon di spanduk pendidikan.
“Kami ingin nilai-nilai Pancasila tidak hanya dipelajari, tapi dirasakan dan dijalankan,” ujarnya dalam forum kajian Raperda, Kamis (8/5/2025) di ruang rapat DPRD Kabupaten Malang.
DPRD menyadari bahwa tantangan ideologis kini tidak cukup dijawab dengan program formal. Karena itu, pendekatan personal dan berbasis komunitas menjadi penting.
“Regulasi ini harus menyasar siswa, ASN, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Namun caranya tak bisa disamakan,” kata Kuncoro.
Dalam forum kajian tersebut, akademisi Universitas Airlangga, Dr. Suko Widodo, memberi catatan tajam. Ia menilai naskah akademik Raperda masih terlalu sentralistik, belum menyentuh kompleksitas sosial dan budaya masyarakat Malang.
“Bahasanya masih bernapas nasionalis-sentris. Padahal, Kabupaten Malang punya kekayaan kultural yang seharusnya masuk ke dalam narasi Perda,” ucap Suko.
Ia menyoroti ketiadaan segmentasi yang jelas dalam pasal-pasal yang menyasar peserta didik. Antara siswa, mahasiswa, tokoh agama, atau ASN dipukul rata tanpa pertimbangan pendekatan yang berbeda.
Lebih jauh, Suko mengkritik lemahnya skema partisipasi publik dalam draf Raperda.
“Masyarakat tidak cukup dijadikan pendukung. Mereka harus dijadikan aktor utama, agen perubahan dalam pendidikan Pancasila,” katanya.
Ia juga mengusulkan evaluasi regulasi dilakukan secara partisipatif, melibatkan akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat sipil agar tak melulu administratif.
Salah satu pasal yang disorot adalah keterlibatan partai politik. Menurut Suko, tanpa batasan tegas, celah ini bisa berubah menjadi pintu masuk kepentingan politik praktis.
“Pendidikan karakter semestinya steril dari polarisasi politik,” katanya.
Di sisi lain, para anggota Pansus, seperti Fathur Rohman, Aris Waskito, dan Agung Susanto, sepakat bahwa internalisasi nilai Pancasila harus dimulai sejak usia dini, termasuk di lingkungan pesantren dan keluarga. Mereka juga menyinggung pentingnya momentum Hari Lahir Pancasila dijadikan sarana membangun ingatan kolektif dan penguatan karakter masyarakat.
Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Malang, Arum, memastikan seluruh masukan akan dibahas dalam proses finalisasi.
“Raperda ini harus menjawab tantangan di lapangan. Bukan sekadar produk hukum, tapi harus menjadi pedoman yang aplikatif,” ujar Arum. (Adv/Jup/Nuh)