Bacalah Sastra, Maka Kita Merdeka!
Oleh: Djuli Djatiprambudi
Siapapun bila namanya disebut sebagai pemenang Hadiah Nobel akan terkejut dibuatnya. Berita itu diterimanya antara percaya dan tidak percaya. Pendek kata seperti bermimpi di siang bolong. Begitulah pengakuan sejumlah penerima Hadiah Nobel.
Memang, dapat dipahami, keterkejutan itu tidak lain karena Hadiah Nobel yang telah berumur 120 tahun itu, mungkin dirasakan tidak pantas diraihnya.
Diimpikannyapun tidak. Maka, siapa gerangan tiba-tiba dinobatkan mendapat Hadiah Nobel, tak pelak lagi dunia akan terperangah dibuatnya. Lantas, kitapun bertanya-tanya sosok macam apa yang mendapatkan Hadiah Nobel tersebut?
Dan dari bangsa mana si peraih Hadiah Nobel yang telah melegenda sejak diberikan kali pertama pada 1901 itu?
Kita tahu, ada enam jenis Hadiah Nobel; fisika, kimia, kedokteran, ilmu ekonomi, perdamaian, dan kesusastraan. Disiplin fisika, kimia, dan ilmu ekonomi tidak lain adalah sains yang telah berkontribusi nyata pada peradaban modern manusia dengan fungsi instrumental spesifiknya masing-masing.
Sementara, perdamaian dan kesusastraan adalah dua bidang yang sangat bersentuhan dengan nilai-nilai humanitas. Keduanya lebih bersentuhan dengan dimensi akal-budi manusia yang terdalam. Ia masuk ke dalam domain moralitas, seluk-beluk karakter manusia, dan nilai-nilai kehidupan manusia secara universal. Ia berada di ranah metafisik, jauh melampaui persoalan fisik (fenomena materialistik). Mungkin karena itu, jangan heran, kesusastraan masuk di antara enam jenis Hadiah Nobel.
Fakta ini mudah dipahami, mengingat fungsi kesustraan seperti halnya filsafat, agama, sains, dan seni pada umumnya secara esensial menjelaskan pengalaman manusia yang rumit, kompleks, dan substil. Cerita pengalaman manusia yang substil inilah yang menjadi titik tekan kesusastraan.
Kesusastraan atau kita sebut saja Sastra (dengan ‘S’ kapital) adalah sastra yang benar-benar sastra. Bukan sastra sepintas lalu, sebagaimana dikatakan Budi Darma dalam Solilokui (1984). Melalui buku tersebut kita belajar banyak hal mengenai sastra yang benar-benar sastra; yang merepresentasikan dunia paradoks manusia, yang unik, liar, tak terduga, tapi kadang-kadang bijak. Untuk sampai pada daya cerita yang berbobot humanistik, Budi Darma meyakini bahwa sastra yang benar-benar sastra tidak bisa tidak bertolak dari kekuatan otak. Artinya sastra yang memperlihatkan kekuatan pemikiran sebagai hasil pengamatan, elaborasi terhadap realitas – khususnya realitas antroposentris – yang kompleks, rumit, unik, dan substil. Realitas kehidupan tersebut bukan hanya dideskripsikan, tetapi ditarik ke alam pikiran reflektif-kontemplatif dan diceritakan dengan bahasa imajinasi
(fiksional).
Sekali lagi, sastra yang benar-benar sastra, yaitu sastra yang menelisik dunia manusia; dari dimensi kesadaran maupun ketidaksadarannya, rasionalitas maupun irasionalitasnya, keteraturan maupun keliarannya, keshalehan maupun kekurangajarannya, kepandaian maupun kedunguannya, kesombongan maupun kerendahatiannya, kekayaan maupun kemelaratannya, dan berbagai dimensi lainnya. Kehidupan manusia bukan dunia yang linier, tapi dunia rasional sekaligus irasional. Di dalamnya penuh ornamen sosio-kultural, berbagai upaya penopengan
diri, kamuplase, dan pura-pura. Dari sinilah sering kali kita dibuat blingsatan memahami berbagai macam karakter manusia.
Dan dari sini pula, kita sering mendengar omongan orang (katakan tokoh yang sering tampil di media massa) seperti orang kiriman dari surga. Ternyata di kemudian hari kita dikejutkan oleh sebuah berita, dia tidak lain profil penduduk neraka; jahat, culas, korupsi, dan manipulasi, yang dilakukan membabi buta.
Maka itu, jangan heran Budi Darma, yang saya kenal sejak awal dekade 1980an, tidak pernah main-main dengan namanya sastra. Tentu, sastra yang benarbenar sastra. Dalam konteks ini, Budi Darma seperti “mengolok-olok” dunia sastra Indonesia. Sederet “olok-olok”-nya yang pernah dilontarkan, misalnya dapat dibaca di artikelnya yang bertajuk; “Tidak Diperlukan Sastra Madya”, “Pemberontak dan Pandai Mendadak”, “Menulis Sungguh-sungguh dan Menulis Pura-pura”, “Novel Indonesia adalah Dunia Melodrama”, dan sebagainya. Dari sejumlah artikelnya tersebut ada kesan mendalam, Budi Darma bertindak sebagai kritikus sastra yang tajam. Hal ini bisa jadi merupakan rentetan dari kredonya yang terkenal, bahwa sastrawan pada dasarnya seorang creator dan pemikir sekaligus.
Dengan itu, maka sastra akan memiliki efek pada kekayaan batin, sekaligus memperdalam pengalaman, dan mempertajam pemikiran. Dalam hubungan ini, Budi Darma (2019) berkata dalam Pengantar Teori Sastra dengan mengelaborasi pemikiran Horace, “Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life) dan moral”.
Pendapat ini mengindikasikan, Budi Darma seperti menolak sastra pop, yang berdaya cerita sangat permukaan. Sekadar menceritakan dunia hura-hura manusia. Dunia kamuplase dan snobisme. Yang semuanya itu tidak memberikan efek apapun bagi kekayaan batin, moral, dan kualitas akal budi manusia, selain dunia hura-hura itu
sendiri.
Untuk membutktikan hal itu, Budi Darma melalui kumpulan cerita pendek Orang-orang Bloomington (1980) dan novel Olenka (1983), misalnya, menyihir pembaca dengan mengajak memasuki dunia manusia dari beragam tipologi dirinya.
Manusia digambarkan begitu banyak temperamen, sifat, ataupun karakternya. Dalam penggambaran itu, tidak memperlihatkan oposisi biner; si baik lawan si jahat, si pandai lawan si pandir, si kaya lawan si miskin, si jujur lawan si penipu, dan lain sebainya. Manusia digambarkan penuh warna, tak terduga dalam berpikir, liar dalam bertindak, dan seperti saling bertubrukan sisi ego, super ego, dan sifat animalitasnya (id). Pendek kata dengan membaca cerpen dan novel Budi Darma, kita akhirnya seperti membaca labirin, teka-teki, dan misteri hidup manusia.
Dari sinilah kita seperti diajak membaca peta atau genealogi sifat-sifat manusia. Dengan demikian karya sastra Budi Darma secara impresif memperlihatkan panorama “psikologi” (sebagai ilmu) yang muncul sebagai imajinasi (karya sastra). Itulah yang saya pahami sepintas lalu tentang Budi Darma, pemikiran dan karyanya.
Namun demikian, apa yang dipikirkan Budi Darma bukan tanpa ruang prokontra. Bagi pembaca sastra pop, misalnya, apa yang ditulis Budi Darma di sejumlah artikelnya, dianggap menglorifikasi kanon sastra yang bernilai universal dan adiluhung itu, yang dinilai tidak mencerminkan beragam pembaca sastra yang lahir dalam budaya massa. Budaya mutakhir ini lahir dari semangat zaman yang didukung oleh kapitalisme dan industri gaya hidup urban yang massif. Ini memang bertolak belakang dengan sikap Budi Darma (2019) yang mengatakan secara tegas, “Sastra kanon adalah sastra yang mutunya tidak perlu diragukan lagi, dan karena itu dianggap baku”. Demikian juga serangan kontra datang dari kubu sastra kontekstual.
Pandangan Budi Darma mengenai sastra yang benar-benar sastra dianggap nirkonteks dengan deru kehidupan masyarakat. Sastra dalam pandangan kubu kontekstual haruslah merepresentasikan gejolak yang terjadi di masyarakat yang terpinggirkan, yang dianggap residu dari kemajuan, dan jauh dari nilai-nilai adiluhung. Sastra yang ditulis demi sastra itu sendiri, bagi pandangan kubu kontekstual yang acap kali terpengkai dengan interes politik tertentu, menganggap sastra kanon yang dianggap baku, justru tidak berguna.
Sementara itu, kembali pada Hadiah Nobel kesusastraan, sederet Panjang nama-nama sastrawan yang mendapatkan Hadiah Nobel justru berasal dari sastra kanon yang dihasilkan di berbagai belahan dunia.
Sastra kanon, tentu bukan hanya sastra demi sastra itu sendiri yang dianggap jauh dari konteks masyarakat, tetapi lebih dari itu. Bahkan sejumlah sastrawan penerima Hadiah Nobel tersebut sempat ditekan oleh negaranya, gara-gara sastranya dinilai berbahaya, dinilai beroposisi dengan politik penguasa. Boris Leonidovich Pasternak, misalnya, seorang pengarang Rusia (dulu bernama Uni Soviet), ketika pada 1958 dianugrahi Hadiah Nobel kesusastraan, pemerintahannya memaksanya untuk menolak Hadiah Nobel tersebut.
Pemerintah Uni Soviet tidak senang dengan karya Pasternak, karena menggambarkan kehidupan yang keras di bawah rezim komunisme. Di bawah kekuasaan Vladimir Lenin, seni harus berfungsi untuk mengobarkan perubahan politik. Sebaliknya, Pasternak bersikukuh bahwa seni merepresentasikan kebenaran abadi dari pada sekadar kebenaran yang bertolak dari “idola tribus” (menganggap kelompok/politik penguasa) yang paling benar.
Hadiah Nobel Sastra 2021 pun dianugerahkan kepada novelis asal Tanzania, yang tinggal di Inggris, Abdulrazak Gurnah. Komite Nobel menilai novel Gurnah tidak lain adalah sastra kanon yang menarasikan pengalaman hidup manusia yang getir bangsa Tanzania dari tekanan kolonialisme. Salah satu novel terbaru Gurnah yang terbit tahun 2020 bertajuk Afterlives menarasikan menganai rasisme, penyerahan diri, dan pengorbanan yang terjadi di Tanzania. Kisah getir suatu bangsa dalam kehidupan pada era kolonialisme acap kali menjadi tema utama sastra kanon. Sastra macam ini tentu bukan sejarah yang menarasikan suatu kisah tertentu berdasarkan fakta, dokumen, saksi, dan metode historiografi yang ketat.
Sastra kanon semacam ini, meskipun bertolak dari latar sejarah yang benar-benar terjadi, sastra tetaplah sastra. Ia menarasikan suatu pengalaman hidup yang takternarasikan. Dengan kata lain, sastra tetaplah berucap dengan bahasanya sendiri berdasarkan plot dan penokohan yang dibangun secara fiktif-imajinatif.
Dengan membaca sastra yang benar-benar sastra, pendek kata, sesungguhnya kita sedang memahami peradaban suatu bangsa. Dan peradaban suatu bangsa antara lain dapat dilihat dari seberapa banyak bangsa tersebut melahirkan sastrawan kanon dengan karya-karyanya menjadi tonggak (milestone) dalam sejarah sastra. Prancis tak pelak lagi sebagai contoh ideal sebagai bangsa yang amat produktif melahirkan sastrawan kanon yang namanya mendunia. Nama-nama semacam; Molière (1622-1673), Montesquieu (1689-1755), Voltaire (1694-
1778), Gustave Flaubert (1821-1880), Victor Hugo (1802-1885), Emile Zola (1840-1902), Alber Camus (1913-1960), Julia Kristeva (1941), André Malraux (1901-1976), Jean Paul Sastre (1905-1987), dan seabrek lainnya, adalah nama-nama yang tidak asing dalam daftar sastrawan dunia. Memang, apa mau dikata, nama-nama tersebut merepresentasikan ekosistem kebudayaan Prancis yang begitu bebas dan membebaskan dalam hal pemikiran dan berekspresi.
Meskipun masa sebelum Revolusi Prancis (1789–1799) telah terjadi represi total bagi kemerdekaan berpikir dan berekspresi, akhirnya Prancis pasca revolusi kembali hidup sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Maka, jangan heran, selain sastra kanon banyak lahir di Prancis, di negeri inilah para filsuf juga lahir menjamur. Dari sejumlah sastrawan Prancis tersebut di atas, akhirnya juga dikenal sebagai filsuf,
seperti; Montesquieu, Voltaire, Alber Camus, Julia Kristeva, dan Jean Paul Sastre. Tampak jelas, dalam konteks inilah akhirnya kita memahami pemikiran Budi Darma yang cenderung kuat “berpihak” pada sastra kanon. Sebabnya, tidak lain dan tidak bukan, sastra kanon adalah simpul-simpul perkembangan sastra dan dalam makna luas dapat dibaca sebagai tonggak-tonggak peradaban yang merepresentasikan tanda-tanda zaman (suatu bangsa).
Karena itu, bacalah sastra yang sebenar-benarnya sastra, agar kita menyadari sebagai manusia (bangsa) merdeka!. (*)
Alhamdulillah semangat Sepanjang Masa Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur