Cinta dalam Labirin
Oleh: Slamet Hendro Kusumo – Penasehat Penulis Satupena Jawa Timur
Namanya teman akrab, tentu saja ada kerinduan untuk selalu bertemu. Namun ada kalanya dalam berbincangan, dialog bahkan berdebat, kadang membosankan, ada suasana risih, juga prihatin jika saja ada peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Itu adalah bagian relasi sosial yang tak terhindarkan. Akan tetapi situasi itu, memang harus terjadi, mau tidak mau. Tidak ada pilihan lain kecuali bertindak menjadi tong sampah. Bisa juga menjadi tanggung jawab sosial. Satu hal, jika saja tidak ada kedekatan dalam hubungan, tentu tidak akan membicarakan persoalan-persoalan yang dipandang tabu atau aib. Di luar kebiasaan rutin, tentu saja ada juga yang menyenangkan. Jika saja pembicaraan itu variatif topiknya. Akan tetapi siapa yang bias menolak kawan dekat yang punya gaya hidup, karakter dan identitas, beda antar individu.
Wedhatama: sembah raga puniku pangertining wong amargang laku sesucine asarana saking warih. Kang wus lumrah limang wektu. Wantu wataking wawaton. Artinya sembah raga merupakan tahap persiapan, di mana seseorang harus melewati proses pembersihan diri, dengan cara mengikuti peraturan-peraturan yang ada dan sudah ditentukan.
Dicontohkan masalah individu suami istri dan keluarga. Hubungan keluarga ini, bias menjadi menyenangkan, namun sekaligus sebagai masalah sensitif, mudah tersinggung jika ditanggapi serta dikomentari yang tidak sesuai dengan selera yang bersangkutan. Namun bias juga jika ditanggapi malah tidak etik, sebab bersentuhan dengan sensitifitas antar individu. Sekali lagi ada perasaan ewuh pekewuh, jika tidak ditanggapi, kesannya tidak menghormati, namun jika dilakukan tabu. Apalagi kalau cerita itu berulang dan berputar-putar pada masalah yang sama. Seperti benang kusut atau pita kaset yang ruwet, sulit dicerna. Pada umumnya yang berselisih sama-sama punya argumen. Dari yang masuk akal, hingga kehilangan akal sehatnya. Menjadi semakin rumit jika kedua belah pihak, maksudnya adalah suami istri, secara individu memiliki pendidikan tinggi. Akan terpenjara oleh tindakan atau perilaku yang tidak sebagaimana mestinya, jauh dari kepatutan.
Aristoteles: prinsip moral keadilan didasarkan kepada keadilan dan rasa hormat, kepada kemanusiaan dan hak-hak yang melekat kepadanya dan berlaku universal, menyangkut penghargaan terhadap martabat dan harkat manusia.
Perang logika dan argumen-argumennya semua berbasis logika sesat, berbelit, bahkan pernyataan-pernyataannya diarahkan, supaya masuk akal. Apalagi, jika mendengar kedua belah pihak berselisih, jika tidak hati-hati dan waspada, dijamin individu sebagai tempat curhat itu, akan terjebak dan terpenjara mendengar kekaburan makna kebenaran. Perselisihan suami istri, jika saja salah satu pihak dengan lainnya, tidak lagi berpihak apa yang disebut nilai luhur, bahwa kesadaran cinta yang punya tujuan mulia, akan hancur dan berbuah perceraian, broken home, akhirnya berdampak pada kekacauan lingkungan. Baik kekacauan dalam keluarga, tetangga akan mendapatkan ketidaknyamanan akibat perselisihan tersebut. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari teriakkan-teriakkan liar, hingga kekerasan fisik. Apalagi jika pihak ketiga, seperti anak, tetangga, mertua, besan. Bisa saja malah menjadi kompor karena tidak mengetahui duduk permasalahan sebenarnya, cenderung membela kepada salah satu pihak.
Persengketaan suami istri yang dimaksud, jika diteliti dengan baik, bukan saja soal masalah kedua belah pihak saja, akan tetapi pembongkaran masa lalu, rasa kesakitan, kekerasan fisik akan berujung ke ranah hukum. Kerumitan ini dalam penyelesaiannya, tentu sangat bertele-tele. Walaupun juga ada upaya, restorative justice. Kemungkinan kecil sekali suami istri itu bisa rujuk. Bahkan restorative justice itu sering dianggap dagelan hukum, terkadang tidak mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak yang berselisih, intinya jiwa sudah kalap. Efek dari persoalan tersebut berbuntut pada peristiwa hukum perdata. Seperti waris, hak asuh anak. Yang paling rumit adalah kekerasan berbentuk psikologis, akibat dari pertengkaran kedua orangtuanya, sehingga anak yang tidak ada hak untuk memilih, salah satu dari kedua orangtuanya. Akankah kesadaran moral hukum bisa menyelesaikan masalah tersebut, walaupun itu semua sudah diatur dalam hukum itu sendiri. Intinya, tetap saja anak jadi korban kekerasan dari kedua orang tua mereka. Warisan kekerasan psikologi ini menjadi tanda kelam, juga trauma dan dendam anak kepada kedua orang tuanya, apalagi jika lingkungan sosial juga ikut menghakimi, serta memarjinalisasi.
Trauma Anak dalam Kekerasan
Suami istri adalah sandaran, harapan dan potret sosial keluarga. Suami secara pengakuan formal di kartu keluarga adalah sebagai kepala keluarga. Oleh sebab itu kepada suamilah segala beban, tanggung jawab, moralitas etik, strategi kehidupan keluarga menjadi beban sosial. Maka suami bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup keluarga, hingga purna tugas. Dengan demikian, jika suami tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka ada konsekuensi bagi kelangsungan dan masa depan keluarga, dapat saja berbuah ketidakpastian akan hidup yang lebih baik.
Hegel (teori des geites): roh bukan dalam pengertian dasar yang ada dalam subjektifitas, akan tetapi bukan kesadaran diri namun merupakan medium yang ada di dalamnya. Yakni sesuatu akan berinteraksi dengan aku yang lain, perantara absolut. Kedunya berkembang atas dasar resiprositas menjadi subjek.
Sedangkan peran istri tidaklah lebih kecil pengaruhnya bagi keluarga. Intinya, bias disebut bahwa akar manajemen keluarga yang paling penting. Semua kehidupan keluarga, pasti berlabuh pada, sang Ibu. Anak-anak mereka, bahkan suami, jika sudah penat pada rutinitas kegiatan keseharian maka Ibulah (istri), cinta itu diperoleh, kasih itu didapatkan, juga pengetahuan kepada anak itu disemaikan. Dalam tradisi Jawa, Ibu dan Bapak sebagai gusti ingkang katon, sekaligus disebut sebagai pedharingan. Artinya, suami sebagai potret akhlak, moral dan struktur manajemen kehidupan, disimpan sebagai harta karun, juga diagungkan. Adapun istri sebagai potret sosial yang lain, adalah mahkota, perhiasan hidup, bagi suami dan keluarganya.
Jika istri berselingkuh, dipastikan bahwa muka moral keluarga akan hancur berkeping-keping. Sebab pengertian perhiasan hidup adalah simbol keagungan suami, martabat suami serta simbol sosial dalam masyarakat abadi, dimitoskan. Maka perbuatan buruk istri yang tak diindahkan, sekaligus juga akan hancur jika saja tidak mampu membawa dirinya. Bahkan kesakralan yang lain bahwa Ibu diagungkan sebagai simbol keagamaan lokal. Surga di bawah telapak kaki Ibu, bukan kaki Bapak. Sebab disitulah simbol pengetahuan, serta peradaban manusia di mulai, dengan demikian, akar cinta itu diberikan, ditanamkan sedalam samudra, seluas langit, semesta alam. Tidak sedikit pemujaan tentang wanita yang telah menjadi Ibu, dilukiskan dengan indah dalam agama, mitologi, legenda, tentang keagungannya.
Jurgen Habermas: tindakan komunikatif, suatu interaksi antara perantaraan simbol sehingga terjadi penyesuaian diri kepada norma-norma yang berlaku wajib, membuat harapan dengan perilaku timbal balik serta dipahami, diakui oleh kedua subjek yang bertindak.
Sungguh sulit dibayangkan ketika suami istri, sebagai pilar keluarga itu berselisih, berperilaku kasar, kekerasan fisik. Maka anak menjadi korban. Tidak sedikit istri yang tersakiti oleh suami, karena ketidakmampuannya untuk menyenangkan suami, sehingga suami menjadi marah. Terkadang alasan pemuasan suami, sering juga tidak masuk akal. Tentu saja, kepenatan istri tersebut bisa saja diluapkan kemarahannya kepada anak, seperti bentuk kekerasan, saat anak menggoda, merajuk, manja, dirasakan mengganggu dan menekan, berbuah kemarahan Ibu kepada anaknya. Kegaduhan ini bisa terjadi tidak kepada istri saja, akan tetapi juga suami memiliki potensi membuat gangguan-gangguan yang melanggar norma dan etik. Keduanya berposisi sama akan bisa menghancurkan keluarga, jika kedua belah pihak tidak melakukan dialog yang baik dan benar. Potensi konflik ini, tetap saja, anak menjadi korban, berbentuk mulai dari kekerasan psikologis, fisik, dikarenakan kebrutalan kedua orang tuanya.
Coleman: aktor individu biasanya mengejar kepentingan diri mereka sendiri. Namun jika memilih bekerja sama, semua itu terjadi karena kepentingan sendiri.
Jika saja anak boleh memilih saat dilahirkan, tentu saja akan memilih kedua orang tuanya yang dapat memberikan kasih sayang dan cinta, yang utuh dan sempurna. Agar dapat hidup bahagia dan abadi. Karena sandaran hidup anak, ada dalam lingkungan terdekat, yaitu kedua orang tuanya. Akan tetapi faktanya, anak tidak bisa memilih. Dalam pertikaian kedua orang tua mereka, yang saling merasa benar sendiri, dengan berbagai alasan, tentu berdampak kepada kekerasan psikologi anak. Oleh sebab itu, kondisi ini mempunyai efek lanjutan, jika suatu saat nanti anak-anak mereka menjalani kehidupan mendatang, yaitu anak-anak mereka sudah berkeluarga. Tidak sedikit keluarga baru itu akan membawa genetik kekerasan yang pernah dialami semasa kecilnya, kepada keluarga baru mereka, bisa saja muncul kekerasan yang berulang.
Di sisi yang lain, anak-anak yang menjadi korban dari broken home, saat tumbuh remaja juga membawa kekerasan itu dalam kehidupan nyata. Berbentuk kekerasan seksual, kriminalitas, narkoba, perkelahian di jalanan, mo-limo (madat, main, maling, madon, mabuk). Tidak sedikit pula mereka akan terjerumus lebih dalam, karena salah memilih lingkungan. Dampak yang lebih besar lagi akan menjadi sampah peradaban karena kekerasan yang diwariskan oleh orang tua mereka. Intinya generasi telah dijauhkan oleh etik dan moral, buah dari pertikaian kedua orang tuanya.
Buat Apa Cinta?
Tidak ada satupun anak manusia, yang lepas dari jeratan cinta. Sebab cinta adalah hakikat proses hidup manusia yang tertanam dalam-dalam pada sanubarinya. Masa remaja adalah pergulatan dan pembentukan jati diri, akan tetapi proses kehidupan itu tidaklah cukup sempurna, jika tidak memiliki dan mendapatkan cinta tersebut. Maka pengenalan dua sisi individu laki-laki dan perempuan, LGBT, transgender, atau simbol-simbol sosial lain. Tetaplah cinta menjadi bagian penting, bahkan paling pentung bagi kehidupan manusia. Cinta telah mendapatkan makna penting dalam struktur kehidupan.
Abraham H. Maslow: paradigma orang sehat dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, sehingga bebas beraktualisasi diri. Namun juga dibutuhkan pertumbuhan hukum dari dalam, dengan pengertian diterminisme lingkungan.
Tidak sedikit kronikel cinta dituliskan oleh para penyair, dari keindahannya, juga tragedi cinta itu sendiri. Ratusan ribu penulis, pengarang dari segala zaman telah mengungkapkan berbagai perasaan cinta dengan dimensi dan retorikanya. Yang paling klasik, kisah Adam dan Hawa, juga diungkapkan di berbagai kitab suci. Karena cintalah Adam dan Hawa diberikan hukuman yang harus dihadirkan ke dunia. Habil dan Qabil, harus saling bunuh karena cinta. Romeo dan Juliet dianggap simbol kesucian cinta harus menghadapi kesakitan-kesakitan dan halangan untuk mendapatkan cinta.
Pitutur luhur budaya Jawa: bubuk oleh leng artinya seseorang yang memiliki niat buruk akan mendapatkan jalannya. Begitu juga niat baik akan menemui jalannya, semua itu tergantung dari hatinya, bagaimana cara mengendalikan baik dan buruk itu.
Cleopatra, Ratu yang amat cantik dengan kuasa politiknya mendapatkan cinta dengan amat mudah, akan tetapi dia tidak puas dengan cinta itu sendiri. Roro Mendut yang memicu libido lelaki, hingga bekas rokok yang dihisabnya dapat mengundang seksualitas lelaki yang mendekatinya. Juga, digambarkan kisah-kisah Panji, yang memuat sosial politik dalam perjalanan cintanya, harus berdarah-darah untuk mendapatkan pasangannya. Bahkan tidak sedikit kisah darah biru (raja), cinta dijadikan pemersatu dan penjajahan suatu wilayah, seperti kisah Mangir. Dalam dunia moderen ada wanita bernama Matahari, sulit dibedakan itu perjalan politik, seksualitas, spionase, atau dendam cinta. Seperti di masa klasik bagaimana peran cinta Ken Dedes yang menjadi wayang perseteruan politik agama antara Empu Loh Gawe dan Empu Gandring.
Pitutur luhur budaya Jawa: polae kaya gabah diinteri, orang yang bertingkah laku tidak menentu ke sana ke mari, karena saling bingungnya.
Dalam dunia politik kontemporer, cinta itu tidak lagi luhur, bahkan hanya dijadikan sekadar pemuasan biologis, seksualitas dijadikan barang dagangan. Sebab cinta hanya dipersepsikan sebagai bertemunya alat kelamin lelaki dan perempuan semata. Memang sesungguhnya, sulit dihubungkan antara cinta dan kepalsuan-kepalsuan yang dibalut oleh intrik-intrik politisasi, yang tidak jelas muaranya. Bahkan etik moral agama dijadikan casing belaka bagi hasrat libido, khususnya kaum pejabat dan politikus. Ada istri sah, selir bahkan istri sirih. Menariknya tak sedikit pemuka agama, penjaga moralis, justru tak sedikit yang membolehkan pelacuran terselubung, dengan dalih kedok moral daripada berzina. Bahkan dihubung-hubungkan dengan Nabi yang boleh kawin daripada satu orang. Tentunya hal tersebut tanpa kajian ilmiah mengapa hal itu terjadi, bahwa Nabi melakukan kawin lebih dari satu orang. Artinya cinta dibuat oleh permainan dangkal dan banal dengan setumpuk argumen yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, dan itu dilakukan demi libido atau apapun alasannya.
Filosofi Jawa: angkara gung neng angga anggung gumulung, gegolunganira, triluka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubedo. Artinya angkara besar dalam diri selalu berkumpul, dengan kelompok nafsu, menguasai tiga dunia, bila dibiarkan menjadi berbahaya.
Ribuan anak lahir di luar nikah sirih, apapun alasannya. Sulit dijamin masa depannya. Anak-anak yang tidak mengerti apa-apa jadi korban kemunafikan dua individu, laki perempuan, telah dimabuk seksualitas sementara itu. Dalam hal ini Negara tak dapat hadir, karena nikah sirih dan perselingkungan, dianggap tidak menjadi tanggung jawab Negara. Walaupun sebagian masyarakat meyakini, bahwa nikah sirih sah menurut agama, dan adat. Masalahnya hukum atau undang-undang Negara yang terdokumen secara moderen, secara pelan-pelan mulai dipakai sebagai rujukan sebagian besar masyarakat, karena terkait hak waris, jika suami istri bercerai. Posisi yang lain Negara juga tidak menolak nikah sirih. Uniknya banyak tanggapan-tanggapan dari masyarakat intelek, perdebatan perkawinan yang dilakukan oleh Negara, dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi ditarik ke ruang publik.
Manusia dan Cinta
Kenyataannya hidup dan makna keberadaan individu didapat dari perhatian orang lain. Pengakuan, penghargaan, cinta, pujian adalah kesalehan sosial yang dibentuk oleh pranata sosial. Hubungan kausalitas ini menjadi perhatian mendalam bagi tujuan keindahan hidup. Tak dapat dibayangkan jika individu itu, saling mengacuhkan, memusuhi, tidak toleran. Saling tidak mempercayai. Tentunya tidak akan bahagia, tidak indah, bahkan membosankan. Pada hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan berkelompok. Kecuali ada individu yang anti sosial, hidupnya pasti tidak seimbang. Sendirian saat sakit dan tidak ada orang yang memperhatikannya.
Ricke: cinta agung adalah dorongan kematangan seorang individu yang mendorong dirinya untuk orang lain. Sebab cinta sesuatu yang memilih dan memanggil untuk melakukan hal-hal agung. Saling melindungi, saling menyentuh dan menyapa.
Cinta, sebuah makna yang sakral, dan itu milik Tuhan serta diberikan kepada manusia. Jika kekuatan sugesti agama menjadi kode moral manusia, karena kecintaan Tuhan kepada manusia. Artinya cinta itu sebagai wujud tujuan hidup utama manusia, agar mencapai ketentraman lahir batin serta dimanusiakan. Baik bagi individu manusia, kelompok serta negara bangsa. Cinta membutuhkan keterbukaan, dialogis, tanggung jawab, pengertian, pengorbanan, iktikat baik serta tidak membuat penjara bagi siapapun. Oleh karenanya kesabaran, tidak menang-menangan, kejujuran, saling mengalah, saling melindungi, menghapuskan saling curiga, itu sangat diutamakan. Jika cinta berwujud saling menyakiti dengan kemunafikan yang akut, maka dapat disimpulkan, sama saja menisbikan kehadiran Tuhan. Akibatnya manusia akan dijebak, dipenjara oleh nafsu dan angkara pikirannya sendiri. Bibit ketidak bermanfaatan hidup ini, mengubah manusia menjadi liar, sadis, dan hilang kemanusiaanya.
Khalil Gibran Sang Nabi Cinta, penyair kelahiran arab, terkemuka dan termashur sepanjang masa, menyampaikan: kini cinta itu memekik kepadamu dan akan menyingkapkan tabirnya dihadapanmu. Bahkan cinta itu sendiri, takt ahu betapa dalamnya itu sampai tiba saat perpisahan.
Cinta adalah pengetahuan dan ijazah hidup. Dalam pengetahuan tersebut, setiap individu akan dapat mewujudkan sistem organik yang bisa diwariskan, sebagai wujud untuk menjaga hubungan antar individu bagi keindahan seluruh makhluk hidup dan semesta alam. Agar terjadi hubungan antara mikro kosmos dan makro kosmos dengan keteraturannya. Sebab cinta akan terjadi, jika ada komunikasi yang berwujud dialogis, bukan hubungan transaksional. Karena kegagalan yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan dan kesadaran, disebabkan tidak terpenuhi nilai-nilai kebaikan akan dihantui kecemburan, rasa tidak nyaman, kecewa, emosi, saling tidak percaya dan juga akan membunuh karakter. Maka cinta yang luhur, suci, menentramkan, dipastikan berubah menjadi medan pertempuran, karena tidak ada kepuasan antar individu. Terakhir Erich Fromm menyampaikan cinta suatu hubungan lahir batin, bersifat aktif bukan pasif, berdiri di atas cinta, tidak jatuh dalam cinta, sikap aktif cinta titik tekannya adalah memberi bukan menerima. (*)
Sae cinta memberi bukan menerima mantap surantap