Judi Klasik Pilkades, Legenda Negeri Dongeng
Oleh: Slamet Hendro Kusumo (Henkus)
Desa Suka Mawar adalah sebuah desa yang dihuni oleh masyarakat yang mengatasnamakan petani bunga mawar. Selebihnya sebagian kecil masyarakat itu bercocok tanam palawija dan beternak rajakaya. Wilayah desa tersebut berada di lembah, dikelilingi oleh gunung, bukit, berudara sejuk dingin. Meski daerah pegunungan tersebut memiliki kelebihan-kelebihan jika dipakai sistem pertanian. Pada dataran wilayah Desa Suka Mawar, berudara sedikit lembab namun berlimpah sumber air jernih. Sehingga secara geografis ada beberapa dataran terasiring tersebut dapat ditanami, tanaman tropis dan subtropis. Tanaman tropis adalah tanaman lokal seperti umbi-umbian, tanaman keras buah-buahan. Sedangkan tanaman subtropis adalah tanaman impor salah satunya adalah mawar.
Pagi itu berkabut, ada sisa embun lembut menerpa tubuh. Tanah desa sedikit basah dipermukaannya. Namun tidak becek. Penduduk setempat masih banyak berkalung sarung, utamanya yang laki-laki. Akan tetapi suasana hari ini sedikit berbeda, sangat ramai, orang-orang berlalu lalang. Sambal sebagian orang laki-laki desa itu memiliki kebiasaan merokok, barang kali merokok itu bisa sedikit menghilangkan rasa dingin. Di tengah tepian jalan desa, tepatnya balai desa, terpajang rumbai-rumbai, seperti spanduk, banner dan umbul-umbul.
Pitutur Jawa: aja dahwen yen kepingin kajen, jika kita ingin dihargai orang lain, maka jangan menghina orang lain, mencela dan menghasut orang lain. Sebab itu akan ada akibat merugikan diri sendiri.
Tampak indah, megah, warna-warni. Tapi selaras jika di lihat oleh mata orang yang paham artistik. Tak ketinggalan, berbagai makanan desa telah siap dijual. Ada yang ditempatkan di atas meja-meja. Tapi ada juga ditaruh di dalam kemarang. Sejenis bentuk kurungan terbuat dari bambu, dianyam sangat natural. Tak lupa juga penjual mainan anak-anak kecil, seperti bola plastik, balon udara dan mainan-mainan terbuat handmade dari kayu. Lalu lalang orang itu sangat akrab saling bertegur sapa, menanyakan keadaan masing-masing keluarganya.
Ternyata hari ini akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Acara rutin delapan tahunan sekali, masyarakat setempat, memilih pemimpinnya. Tampak sekali foto-foto Cakades (calon kepala desa), tampil ada yang pakai pakaian adat, ada yang berpakaian moderen. Cakades tersebut diikuti oleh lima calon sesuai aturan yang diberlakukan dari wilayah di atasnya yaitu Kota. Empat laki-laki dan satu perempuan. Semua berpose gagah, ganteng dan cantik. Hari pesta demokrasi Desa ini telah dipersiapkan oleh masyarakat setempat. Terdiri dari Pansel (panitia seleksi), dan dibantu oleh perangkat (pamong desa), Sebagian dari utusan Kota, serta individu-individu yang ditunjuk oleh pemerintahan desa.
Pitutur Jawa: aja cidra ing janji, jika ingkar jan ji maka masyarakat sekitar tak akan lagi menghargai. Seperti hutang yang harus diselesaikan, betapa pun lamanya.
Guyup rukun ini telah dilaksanakan, sudah turun temurun. Rata-rata Cakades yang ikut pemilihan berasal dari antar Dusun, Desa Suka Mawar, mereka saling kenal, dan beberapa calon berasal dari pamong Desa. Seperti sekretaris Desa atau sekdes. Kamituo, Jagabaya dan satu perempuan adalah masyarakat sipil. Sesuai dengan aturan tidak ada peserta pilkades yang berasal dari luar, Dusun dan Desa Suka Mawar. Semua aturan itu telah disepakati oleh Pansel dan Cakades yang akan berlaga. Potret hubungan sosial ayem tentrem ini telah menjadi geokultutal dan geopolitik desa. Memang keguyuban ini indah namun penuh dinamika di dalam proses pemilihannya. Terkait proses seleksi Cakades, verifikasi, hingga penilaian kelayakan kualitas Cakades.
Geopolitik, Geokultural
Jika dulu (klasik) dalam pengajuan untuk bakal Cakades, peran masyarakat setempat ikut berperan menentukan. Sosok siapa yang tepat sebagai calonnya. Rata-rata tekanan kualitas masih sangat kuat fokusnya pada persoalan moral, etik dan keteladanan. Bukan ijazah dan modern track record. Moral, etik dan keteladanan, diukur oleh empati Cakades, apakah perilaku yang terungkap lewat tutur bahasa lisannya, memiliki nilai-nilai keteladanan. Bisa dibuat acuan bagi hidup orang lain atau dengan kata lain masyarakat. Hal itu menjadi titik tekannya pada karakter kepribadian seorang Cakades. Sebab Cakades adalah simbol budaya, simbol adat dan simbol wilayah.
Descartes: dunia di masa depan, kemunculan psikologi menjadi model serta sebagai anggota dari keluarga ilmu pengetahuan moderen. Untuk membangun sebuah ilmu yang universal. Ada penggabungan antar kepentingan.
Sehingga hal-hal yang sifatnya administrasi sebagi pendukung saja, tidak lebih. Karena masyarakat yang masih memandang tuntunan perilaku leluhur. Menjadi indikator penting pada sebuah kelayakan, kepatutan, simbol adat itu. Tentang ilmu pengetahuan dan Pendidikan formal, di posisikan nomor dua. Jika yang diutamakan moral, etik dan keteladanan sudah dipenuhi sebagai syarat utama. Kalua simbol kekuatan Cakades tidak memiliki lawan yang mumpuni, akan dilawankan dengan “bumbung kosong”. Isi suara itu adalah kontribusi individu-individu yang tidak memilih Cakades yang dimaksud. Jika “bumbung kosong” itu menang, maka Cakades terpilih harus instropeksi diri, mawas diri dalam melaksanakan kepemimpinannya. Prinsip-prinsip etik tersebut, seiring perubahan dan gaya hidup masyarakat, mengalami perubahan juga dalam penyeleksian Cakades. Dari geokultural yang sudah dijelaskan menuju geopolitik.
Pitutur Jawa: aja golek wah, mengko dadi owah. Hanya untuk mendapatkan pujian dan perhatian orang lain, termasuk jabatan, namun menghalalkan segala macam cara. Sehingga menjadi tidak baik bagi siapapun. Karena dibalik itu ada tendensi-tendensi jahat.
Modernitas geopolitik, sulit sekali untuk mendapatkan tipikal masyarakat desa yang masih murni. Pengaruh pendidikan, teknologi, perubahan masyarakat agraris menuju masyarakat jasa. Memiliki andil fundamental terhadap kriteria pilkades. Batas antara tradisi Kota dan Desa menjadi kabur. Sebab pola dan indikatornya proses Pilkades, ketentuannya sudah bukan lokal genius wilayah setempat. Akan tetapi sudah ditentukan oleh aturan-aturan dari hierarki kebijakan di atasnya. Sehingga konflik dan benturan sosial, sangat dimungkinkan terjadi.
Artinya aturan-aturan Pilkades, sekarang titik fokusnya pada hal-hal bersifat formalitas. Terkait dengan pendidikan, pengalaman pemerintahan, serta pengaruh partai pendukungnya. Sehingga calon-calon yang hanya punya mental, moral, etik dan keteladanan, bisa saja kalah dalam penyelesaian administrasi sebelum kompetisi itu berlangsung.
Di sinilah permainan politik moderen lebih menitik beratkan kepada keuntungan-keuntungan individu, daripada kepentingan masyarakat. Sebab masyarakat dalam praktinya, hanya diposisikan sebagai alat untuk mendukung hasrat kuasa individu dan pendukungnya. Situasi sekarang ini lewat tata cara Pansel Pilkades, Pansel Pilkades sudah ada intrik-intrik kotor. Misal dalam poin penilaian bagi Cakades yang belum pernah menjadi pamong Desa bisa tidak mendapatkan tiket Pilkades, kalau memiliki nilai sama dengan calon lain yang punya pengalaman di pemerintahan. Maka yang dipilih adalah Cakades yang pernah menjadi pamong Desa.
Frost: di tengah hutan belantara ada simpang jalan, saya suka memilih jalan yang jarang dilalui.
Diskriminasi dan manipulasi moral administrasi ini, Cakades yang tidak teliti membaca aturan-aturan main. Bisa saja terjebak dalam aturan tersebut. Karena Hasrat non logiknya lebih mengutamakan pengkondisian masyarakat pemilihnya. Di tambah lagi, telah menjadi kasus umum kebanyakan Cakades tingkat literasinya rendah (SDM). Walaupun secara pendidikan, mayoritas Cakades sarjana. Perlu diketahui, secara aturan ijazah SMA sudah diperbolehkan. Namun secara fakta bisa digeser dengan berbagai alasan. Alasannya adalah bahwa perkembangan masyarakat dan perubahan masyarakat dipersepsikan lebih untuk memilih sarjana. Karena dipandang lebih mempunyai tingkat intelegensi lebih.
Oleh sebab itu berbondong-bondong mereka untuk mengikuti pendidikan lagi, setara S1, agar dapat memenuhi syarat formal, bukan karena undang-undang tapi lebih kepada status sosialnya juga. Masuknya dominasi partai, tidak dapat diabaikan begitu saja. Partai dianggap telah memiliki manajemen dan lokomotif jaringan politik. Oleh karenanya justrus politisasi masuknya dukungan partai inilah menambah beban moral dan tekanan politik Pilkades. Memang cara partai lebih canggih dan cerdas, lewat tindakan-tindakan oknum dari organ partai. Memang gerakan itu dilakukan tidak secara terang-terangan atau Nampak dipermukaan. Akan tetapi koneksitas Cakades tersebut, tidak dapat lolos dari jebakan kuasa partai. Tentunya dengan rayuan-rayuan maut akan dukungan suara dari dukungan partai setempat.
Plumer: bagi sosiolog dinamika sosial, dapat menginspirasi. Namun kenyataanya juga menimbulkan sara frustasi dan tidak puas. Ujungnya keputusasaan.
Pada kenyataan yang lain tentunya dengan politik kekuasaan di bidang apapun, sudah dipengaruhi dan diatur oleh partai. Semua itu berujung kepada dana operasional, inilah salah satu beban berat bagi Cakades yang tidak memiliki dana politik yang cukup. Koneksitas partai dan Cakades, jika kelak terpilih, maka secara moral akan menghitung balas budi, secara otomatis akan jadi underbow atau pengikut, baik resmi atau tidak resmi. Disandera menjadi bagian dari partai. Memang ini bukan regulasi resmi dari partai dalam struktur di atasnya. Namun konvensi-konvesi tak tertulis ini sudah lama dilakukan oleh partai-partai. Tujuannya adalah untuk nantinya akan digunakan dalam pemenangan pemilu partainya.
Politik balas budi ini telah menjadi trend baru Pilkades. Jika Cakades, bisa saja tidak ada koneksitas dengan partai, maka akan terus diganggu dan direcoki dalam pemerintahan saat menjabat di Desa tersebut. Tendensi terselubung ini, sebenarnya diyakini oleh Cakades sejak awal.
Kuasa Botho, Dukun dan Ayat Setan
Ini memang sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin proses Pilkades, yang selalu diawali oleh proses-proses yang menggunakan permainan akal (terselubung trik) dan politisasi. Mulai dari hal-hal formal kesehatan, kondisi psikis, menjadi persyaratan utama dalam rangakaian atau tahapan proses. Semua dilaksanakan oleh metode berbasis logika. Rupanya kebiasaan menggunakan akal perilaku keseharian itu sulit dilaksanakan. Ambisi keinginan lebih menguasai, sehingga libido kuasanya lebih dominan. Hal inilah logika kadang-kadang dikalahkan oleh hasrat kuasa.
Aristoteles: bahwa demokrasi adalah dominasi kaum mayoritas miskin yang terbebas dari perbudakan dan memilih otoritas mengontol pemerintahan.
Libido kuasa, jenis hasrat ini telah dibahas dan diperdebartkan hingga hari ini. Watak dasar manusia selalu ingin tau dan menguasai apapun yang diinginkan. Menjadi inti dasar manusia. Dalam kehidupan manusia, harta, tahta dan wanita. Telah menjadi salah satu tujuan hidup. Apalagi kalau sudh bersentuhan dengan politik materialistik. Kebanyakan tidak bisa mengedalikan diri, silau dengan dunia fatamorgana yang diyakini indah. Oleh sebab itu, kelebihan sekaligus kelemaham ini menjadi “objek empuk” dan “untuk melayani” ambisi para calon pemimpin yang sedang bertarung.
Permainan rumit politik ini, di luar strategi rasional dengan “analisa swot” menghitung untuk rugi lebih dahulu. Dengan kata lain, pemetaan masalah solusi dan peluang. Biasanya pola ini basisnya adalah historis dan data formal peristiwa masa lalu, akan tetapi itu belum cukup. Sebab permainan politik Pilkades syarat dengan kuasa botho, dukun dan penggunan ayat setan. Kelompok ini, tidak terlalu tampak dipermukaan “peperangan” namun menjadi salah satu faktor penentu. Rata-rata “trawangan” itu berbentuk spiritual dan sugesti.
Marx: keamanan subjektif, yaitu hasrat kuat untuk menjadi kaya. Sifat kerakusan tak terhingga sebagai hasrat utama kapitalisme.
Bermodalkan spiritual dan sugesti itu, Cakades dianjurkan mendatangi “tempat-tempat sakral dengan ubo rampenya”. Berbentuk bunga, dupa dan selamatan tumpeng. Tentunya dengan doa-doa dan mantra-mantra. Agar usaha politik itu dapat lancar dan terlaksana dengan kemenagan yang memuaskan. Bertaburlah doa-doa atau mantra-mantra yang sulit dipahami dalam dunia moderen. Demikian juga perantara-peratara ayat setan berbalut agama dengan model kompilasi. Gabungan antar ayat yang ada di agama-agama dan ayat-ayat lokal. Hal itu disadari dengan baik, dengan sugesti tinggi. Tak lupa Cakades dibekali rajah-rajah, keris dan senjata-senjata lain yang disakralkan. Hal ini dilaksanakan, biasanya tengah malam, sekitar jam dua belas malam hingga jam setenga satu dini hari. Diyakini pergantian hari ini, membawa “tuah” atau keberuntungan Cakades. Termasuk mandi tujuh sumber malam hari.
Ritual ini sudah menjadi tradisi dalam masyarakat lokal. “sowan” ke Dahyangan atau leluhur. Pengertian dahyangan ada dua yaitu, dahyangan yang purna tugas berbentuk punden, makam, atau tempat-tempat lain yang diyakini sebagai kesakralan “penunggu desa”. Biasanya mitos ritual ini, sudah tertulis di buku Bedah Kerawang Desa. Selalu dibacakan saat “bersih desa”, atau “sedekah bumi”. Sedangkan dahyangan yang hidup, bisa tokoh masyarakat, tokoh politik, ketua partai dan yang paling penting adalah tokoh kapital. Untuk tokoh kapital ini bisa disebut pengusaha, tapi yang bermain-main diranah politik. Tujuannya adalah agar Cakades ini menang, uang biaya proses Cakades bisa ditukar dengan proyek pembangunan Desa. Terkait dengan botho, dikenal dengan kata lain penjudi klasik. Sangat berpengaruh, bahkan memiliki otoritas khusus dan punya potensi mengubah “arus suara”.
Winters: tentang keberadaan oligarki dalam demokrasi telah dinaturalisasi oleh pemikir liberal.
Pengaruh dan permainan botho ini masih dominan di setiap Pilkades, utamanya daerah berbasis Desa. Bukan Kelurahan. Bedanya, jika Kelurahan, kepala Keluarahan ditempatkan oleh Bupati oleh Wali Kota. Mayoritas person yang menjadi Lurah adalah ASN (aparatur sipil negara). Seluruh kepentingan regulasi dan dana penyelenggaraan pembangunan, murni di danai oleh pemerintah Kota atau Kabupaten. Di sini peran botho tidak ada. Justru peran partai politik, bisa menjadi penentu calon Lurah. Sedangkan kepala Desa adalah dipilih secara demokrasi adat, awalnya. Sekarang, tata cara pemilihan administrasi di atur undang-undang Desa, produk dari pusat. Sedangkan masyarakat yang memilih Cakades.
Botho bukanlah pemain perorangan, akan tetapi konsursium sudah mengalami metamorphosis, menjadi industri ekonomi perjudian adat. Jika kapital (kuasa), salah startegi maka dimungkinkan, dihabisi oleh para botho. Ini yang ditakutkan oleh pengusaha, maka mereka perlu melakukan lobi-lobi politik dengan para botho untuk menentukan kesepakatan kepentingan masing-masing. Intinya dalam perjudian ini peran kapital belum dapat melakukan dengan maksimal dalam pertarungan politik desa. Para botho, secara adat memiliki jaringan besar yang mengakar di masyarakat.
Mereka punya pola kultural memiliki kemampuan yang valid dan tinggi, dapat mempetakan dan mengetahui mana calon yang kuat dan dapat memutar balikkan dukungan suara. Misal, botho, mengetahui si A, calon kuat. Dalam pertaruhan uang, uang botho “ngasori”, artinya memilih si B. Sebab si B memiliki suara selisih sedikit dengan si A. Maka angka selisih itu bisa dimainnkan. Caranya organ botho menyuruh jangan memilih si B, calon pemilih diberi uang, didatangi rumahnya atau dicegat sebelum masuk bilik pilihan. Taktis dan perencanaan jahat ini akan mewarnai hiruk pikuk Pilkades. Para botho itu melakukan politik uang “beli putus”, artinya pasca perjudian ini tidak memiliki keterikatan kepentingan lagi.
Winters: fokus utama kaum borjuis, tidak sekadar bisa bebas dari penekanan, perampokan, akan tetapi menciptakan liar cara-cara dalam mempertahankan kekayaan dan dinastinya.
Gerakan botho ini, sulit diprediksi penuh dengan trik canggih karena pengalamannya sangat lama. Menguasai psikologi masa dan sangat memahami sasaran masyarakat awam yang butuh uang. Rata-rata botho punya “penunjuk jalan” disetiap kampung. Sehingga akurasi kevalidannya sudah terukur. Serta tingkat kegagalannya rendah. Para botho tidak berpikir tentang kepentingan moral masyarakat atau etika. Namun apa yang dilakukan botho orientasinya, untung rugi. Dengan demikian pola botho inilah yang sangat ditakuti oleh Cakades. Cakades harus melakukan komitmen politik dengan pola botho. Para botho biasanya “beli putus”. Tidak ada orientasi terhadap pembangunan Desa. Biasanya “peran botho” ini, memakai dana talangan yang dikumpulkan oleh konsorsium botho, kalah menang kompetisi Cakades, bisa berbentuk hutang piutang. Atau terbebas dari hutang tergantung kesepakatan awalnya.
Permainan Adat Oligarki dan Monopoli
Demokrasi, tergabungnya keragaman pikiran orang banyak yang memiliki andil dalam satu kesatuan sistem. Dalam pengambilan keputusan, regulasi dilakukan atas dasar suara orang banyak lewat musyawarah untuk mufakat. Pandangan inkulif dalam menentukan tata arah kelola dalam kebijakan ini, fakta di lapangan, kerap kali makna demokrasi berjalan semakin kabur, tidak jelas karena kuasa kaum elit partai lokal. Kondisi ini tidak dapat dihindari, peran politik partai, institusi kapital, dipersepsikan sebagai kelompok yang korup, culas dalam tata kelola potensi-potensi yang ada dalam ranah publik. Sistem penguasaan ini telah melunturkan “keluhuran demokrasi” inilah yang disebut kuasa olgarki.
Robinson: oligarki ialah suatu sistem relasi sosial sebagai tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Untuk mempertahankan kekuasannya, aktor-aktor itu bertindak semaunya. Dampaknya sering kali gagal dalam hubungan dan pelayanan publik.
Dalam paradigma ekonomi, dipersepsikan sebagai entitas “monopoli” kebijakan dan ekonomi. Dalam kacamata ideal demokrasi, komunitas oligarki dengan hasrat monopoli tersebut memiliki perilaku buruk, bengis dan berwatak iblis dan moralitas. Karena dapat “membuat penjara”, utamanya dalam hak-hak kesetaraan, pembagian wilayah ekonomi, menjadi tidak berimbang. Dengan kata lain oligarki di beri stigma gerakan kekuasaan yang jahat. Oleh karenanya kuasa-kuasa atas dampak oligarki, memiliki potensi terselebung untuk terjadinya kepentingan-kepentingan potensi konflik sosial di wilayah lokal.
Marx: berpandangan bahwa oligarki, terkait dengan kuasa politik sebagai koneksitas cara kerja kapitalime.
Sekiranya menjadi terang benderang dalam kasus-kasus yang muncul pada tata kelola pemerintahan Desa, kuasa-kuasa kaum kapital memang tidak secara langsung menekan pemerintahan Desa namun Desa yang merupakan bagian dari pemerintah Kota, Kabupaten, ternyata psiko hierarki kuasa itu selalu menjadi problematik serius. Khususnya terkait dengan investasi kapital dalam regulasi perizinan.
Banyak kejadian Desa sebagai objek terjadinya konspirasi tanpa dosa. Penjelasannaya secara kronologis, telah dijelaskan dalam uraian ini. Bagaimana kuasa botho, dukun atau penggunan ayat-ayat setan, sekarang faktanya sudah dalam dekapan kapitalisme. Lingkaran setan ini, bisa membuat orang baik, tiba tiba menjadi penerbit kejahatan. Karena kuasa uang tekanan regulasi, tekanan politik dan tekanan ingin “kaya mendadak”. Numena ini ada akar utama kejahatan wilayah dan kejahatan proses investasi yang mengatasnamakan “membuka lapangan pekerjaan”. Konspirasi ini telah menjadi wujud nyata tentang tersanderanya hasrat baik, sifat humaniora, keteladanan menjadi terbelenggunya moral baik, terpilihnya kepala Desa. Sebab gerbong-gerbong, kartel-kartel kuasa kapital telah mengubah wajah dan karakter bijak menjadi topeng pembunuh, sadis dan bengis. (Tancep kayon, Bumiaji, 29 Oktober 2022)
Manfaat Mantaf full