Menunggu Masa Kejayaan Bangsa Nusantara
Oleh: Wawan Susetya – Sastrawan-budayawan dan penulis buku anggota Satu Pena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung Jatim
Sesungguhnya kita, Bangsa Nusantara merupakan bangsa yang besar. Bangsa Nusantara yang kemudian bermetamorfosis menjadi Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sebelumnya pernah mengalami masa keemasan atau masa kejayaan pada abad VII pada masa Kerajaan Sriwijaya dan abad XIV pada masa Kerajaan Majapahit yang ditandai dengan penguasaan wilayah yang jauh lebih besar daripada NKRI sekarang. Terutama ketika kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah yang terkenal dengan “Sumpah Palapa”-nya setidaknya dikenal telah melanglang buana terutama dengan kekuatan armada lautnya yang sangat tangguh. Konon, ada yang menyebut kekuasaan Majapahit saat itu sepertiga dunia, bahkan separuh dunia.
Jika kita perhatikan dengan seksama, masa keemasan atau masa kejayaan Bangsa Nusantara itu terjadi pada abad VII dan XIV. Dalam hal ini ada rentang waktu 7 abad atau 700 tahun hingga menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Menjadi bangsa besar, bukan bangsa ‘tembre’ yang bermental kuli seperti diistilahkan oleh Bung Karno sehingga bangsa kita memiliki martabat yang tinggi di mata bangsa-bangsa lain.
Budayawan Sudjiwo Tedjo pernah menyinggung mengenai siklus 7 (tujuh) abad atau 700 tahun sehingga Bangsa Nusantara akan bangkit dan kemudian menjadi bangsa besar di dunia. Abad VII ditambah 7 abad (700 tahun) sampai ke abad XIV lalu ditambah lagi 7 abad (700 tahun) sampai abad XXI yaitu tahun 2001-2099. Sementara kita sekarang berada pada tahun 2022 yang berarti berada pada abad XXI.
Sinyalemen yang pernah digelindingkan oleh Sudjiwo Tedjo tersebut tentu bukan berasal dari kedalaman pemikiran dia. Bangsa Nusantara memiliki tokoh-tokoh futurolog yang dahsyat, seperti Ki Rangga Warsita, Sunan Kalijaga, Prabu Jaya Baya, Sunan Giri, Ki Sosrokartono, Ki Ageng Sela, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Ki Rangga Warsita memang pernah mensinyalir mengenai bangkitnya Bangsa Nusantara yang diprediksi berkisar antara tahun 2035-2045.
Pun para tokoh nasional lainnya seperti Bung Karno, Ki Permadi, budayawan Emha Ainun Nadjib dan sebagainya sering mendengang-dengungkan kemungkinan bangkitnya Bangsa Nusantara hingga menjadi mercusuar dunia seperti yang pernah dialami Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Jika kita berfikir logis, segala sesuatu bukan tidak mungkin, toh apalagi bangsa kita pernah mengalaminya. Artinya, jika siklus 7 abad (700 tahun) itu terulang kembali diharapkan para anak bangsa tidak menjadi terkaget-kaget karenanya. Mengapa? Bukankah bangsa kita pernah mengalaminya?.
Prediksi itu untuk tidak mengatakan sebagai ramalan, setidaknya pernah disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani bahwa keadaan bangsa Indonesia pada tahun 2045 atau 100 tahun kemerdekaan RI, diperkirakan negara kita masuk kategori 6 negara besar di dunia. Sekali lagi, hal itu barangkali bukan karena kebetulan mengenai siklus 7 abad (700 tahun) yang kemungkinan akan terulang kembali. Sebagai bangsa besar yang semestinya bermartabat, setidaknya negara dan masyarakat serta keadaan kita sering digambarkan oleh para leluhur Jawa; gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem karta tur raharja.
Tentu, dalam konteks ini bukan dimaksudkan untuk mendekati hal-hal yang berbau klenik, tetapi berusaha membangkitkan motivasi dan semangat kita sebagai bangsa. Hal itu setidaknya menjadi bagian yang kuat dalam refleksi batin rakyat Indonesia bahwa Bangsa Nusantara kita ini dulunya merupakan bangsa yang besar, bangsa yang pernah mengalami masa keemasan atau masa kejayaan pada abad VII dan XIV.
Bagaimana pun membaca, meneliti atau mempelajari sejarah dan peradaban kita pada masa lalu merupakan sesuatu yang sangat penting. Selain dapat menambah wawasan peristiwa di masa silam, kita juga berusaha belajar dari sejarah yang telah terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bahwa semakin jauh kita menelaah atau mempelajari peristiwa sejarah di masa lalu, maka kita akan memiliki peluang yang besar pula untuk menemukan ‘jati diri’ kita sebagai bangsa.
Sila ke-5 Pancasila disebutkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini merupakan puncak dari pengamalan Pancasila. Namun bagaimana kenyataannya? Apakah negara kita benar-benar telah menjalankan keadilan? Salah satu masalah di negara kita yang kini sedang menghangat justru terletak pada kesenjangan atau ketimpangan sosial itu. Bahkan, menurut Menkeu Sri Mulyani, 1 orang kaya di Indonesia ada setara dengan 40 juta orang miskin. Sungguh luar biasa.
Menurut budayawan Emha Ainun Nadjib, jika sila ke-5 Pancasila mengenai keadilan belum terwujud, barangkali karena ada kesalahan dalam pengamalan pada sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Esensi sila ke-4 adalah mengenai musyawarah, tetapi kenyataannya sering voting dalam memutuskan suatu kebijakan. Artinya, jika pengamalan sila ke-4 kurang tepat, boleh jadi sebabnya karena kurang benar pula dalam pengamalan sila ke-3: Persatuan Indonesia. Kenyataannya anak-anak bangsa kita lebih cenderung senang bertengkar satu sama lain, tanpa mengindahkan pentingnya persatuan. Jika demikian karena dipengaruhi oleh sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Benarkah para pemimpin dan rakyat kita telah mengedepankan kemanusiaan?
Kalau belum, marilah kita tengok dan temukan benang-merahnya pada sila ke-1: Ketuhanan Yang Mahaesa, yang merupakan pondasi dasar berjalannya sila demi sila dalam Pancasila secara komprehensif. Pengamalan Ketuhanan sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing, nampaknya perlu dibenahi lagi, sehingga kaum rohaniawan dan agamawan tidak saling berbenturan pada persoalan kulit (permukaan) yang kurang esensial.
Maka, jika para elite dan pemimpin nasional mau duduk bersama dan bermusyawarah demi kebaikan bangsa dan negara dengan dibarengi ketulusan dan kesungguhan, peluang menjadikan negara kita sebagai bangsa besar di dunia bukan lagi omong-kosong. (*)