Murid Yang Tertipu dan Diindustrikan
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Ikhtiar manusia untuk kembali menjadi manusia merupakan tujuan utama bagi negara bangsa, khususnya kaum moralis dan para orang tua wali murid. Sebab syarat kemanusiaan ialah cara paling efektif untuk menghambat peperangan, kebengisan dan bentuk-bentuk kejahatan lain. Konsep hidup ini dapat diperoleh, salah satunya lewat pendidikan dengan memuliakan kebebasan, berpikir, moralitas, etik dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya para pendiri pendidikan nasional, atau lebih tepatnya pendiri pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara. Menyampaikan dalam pendidikan berbasis karakter, antara lain; olah pikir yang menitiktekankan pada pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, bertanggung jawab dan reflektif. Berikutnya adalah olah hati, yang mengkontribusikan kejujuran, bertaqwa, punya empati, toleransi, berani bersih dan konsekuen, rela berkorban dan patriotik.
Hal tersebut tentunya dihuni oleh kesehatan jasmani yang bersih, sehat, sportif, kooperatif, kompetitif, tangguh dan handal. Tak kalah pentingnya yaitu “manunggalnya”, rasa dan karsa, yang difokuskan pada sikap humanis, empati, toleransi, nasionalis, santun, ramah, serta menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Jika mau ditambah, sangat banyak sekali nilai-nilai luhur lainnya yang tak kalah hebat. Harta karun ini sudah selayaknya menjadi pedoman pendidikan Indonesia. Hanya saja nilai-nilai luhur, dengan berjalannya waktu, mulai memudar dan tergerus oleh politisasi. Dengan hadirnya kebenaran-kebenaran baru. Jika mau jujur terasa asing. Tapi semua itu dipaksakan dengan alasan-alasan logika yang mnegingkari perkembangan dunia.
Walpole: hidup adalah lelucon bagi orang orang yang berpikir dan tragedi bagi mereka yang mengandalkan perasaan.
Apa benar karena ingin mengikuti perkembangan dunia, seorang anak manusia dengan komunitasnya yang ada dipinggiran, meski digilas oleh hasrat dan libido sekelompok elit hanya karena ingin dipandang sebagai orang moderen. Perlu diingat semua objek pendidikan adalah yang disebut “murid atau peserta didik”. Para orang tua sebagai empunya pemilik saham besar, bahkan sangat besar, ialah anak mereka telah diserahkan untuk negara bangsa. Akankah niat luhur tersebut musnah begitu saja. Keluhan-keluhan utama bagi masyarakat awam dalam kerisauanya yaitu tentang, “hilangnya akal budi”. Sebab pandangan ini tentunya sangat mendasar, karena keinginan orang tua murid walaupun konsep pendidikan apapun, tetap tidak menginginkan sang anak kehilangan akal budi. Karena itu jiwa terdalam bagi anak yang dipersiapkan untuk menjadi manusia seutuhnya.
Para orang tua tidak dapat memilih, untuk menitipkan moral bagi bekal anak-anaknya. Memang dunia hari ini, masih banyak pilihan sekolah-sekolah berkualitas, itupun harus berebut (sekolah negeri). Sedangkan sekolah-sekolah swasta sebenarnya lebih mampu membaca persoalan-persoalan perubahan. Seperti sekolah-sekolah swasta berbasis keagamaan. Itu juga dapat dipilih, jika tidak diterima oleh sekolah-sekolah negeri yang difavoritkan. Ada faktor kesengajaan walaupun tidak tertulis. Bahwa sekolah negeri lebih diunggulkan dari sekolah swasta. Entah siapa yang membuat sistem seperti ini.
Diskriminasi Status Sosial
Memang tidak secara jelas diskriminasi status sosial telah tercipta. Bahwa sekolah negeri diposisikan secara unggul. Celakanya masyarakat awam, sudah termakan dengan stigma ini. Padahal banyak guru yang mengajar dobel, di luar sekolah yang berstatus negeri. Ternyata yang mengajar di sekolah swasta, para pengajarnya sama. Namun mengapa diskriminasi tersebut masih saja terjadi? Dan mohon maaf sengaja dibiarkan dan tidak memperoleh keadilan sebagaimana yang terkait, salah satunya dengan bantuan-bantuan berbentuk fisik/materi.
Juga perlu diragukan sistem yang selama ini terkait dengan bantuan-bantuan keuangan, apakah sudah sepadan dan berkeadilan? Terkesan pembinaan pemerintah daerah tersebut berjalan setengah hati. Tentunya hal ini memang tidak berlaku dalam semua daerah. Bergantung kebijakan kepala daerah dan DPRDnya. Bahkan tidak jarang bahwa bantuan bangunan, terutama buat sekolah swasta yang “kembang kempis”, miskin murid, hidup segan mati tak mau. Jika tidak ada tekanan bantuan politik dari person (DPRD), pasti akan gulung tikar dan bangunan fisik sekolah akan ambruk.
Situasi ini, sebenarnya bibit awal dari menguatnya diskriminasi. Belum lagi dengan diberlakukannya zona penerimaan siswa yang penuh dengan tekanan “psiko hierarki”. Telah menjadi “bumbu penyedap”, kolapsnya sekolah swasta. Akibat dari diskriminasi inilah korban saling berjatuhan, dalam hal ini sekolah swasta dan para murid. Jika tidak diterima oleh negeri, maka dengan susah payah masuk di swasta. Sebab kondisi swasta karena harus membiayai operasional dan perawatan fisik sekolah, sehingga beban biaya itu harus dibebankan kepada orang tua siswa.
Memang bantuan dari pemerintah tetap ada, namun bagi swasta belumlah cukup. Keprihatinan ini masih berlanjut, gaji para guru dalam satu bulan hanya mendapatakan Rp. 300.000,-, jika ingin insentif dari bantuan pemerintah, harus menunggu dua tahun, itupun kalau beruntung. Maka dalam proses mengajar selama sebelum dua tahun tersebut, “harus ikat pinggang alias tirakat”.
Jika ditotal insentif yang berjumlah Rp. 500.000,- ditambah Rp. 300.000,- total menjadi Rp. 800.000,- dalam satu bulan. Masih jauh dari UMR. Akan tetapi karena “sudah diberi labeh guru”, tidak ada pilihan lain semua pekerjaan itu dilakukan. Ini guru yang hidup di kota kecil. Bisa dibayangkan jika dipakai sebagian untuk naik angkot atau beli bensin jika yang punya sepeda, maka sisanya tidak lebih banyak Rp. 500.000,- itu pun yang sudah diberi insentif. Pada kehidupan sekarang ini apakah cukup gaji sekecil itu untuk menghidupi keluarga kecil. Apalagi jika guru ajar tersebut hidup dipelosok, sering kali dibayar hanya dengan bahan pangan (sumbangan orang tua murid), kalau uang insentif belum cair. Bagaimana seorang guru, jika tidak punya pekerjaan tambahan, pasti akan habis buat mondar-mandir. Terus keluarga anak dari guru bagaimana hidupnya?
Ki Hadjar Dewantara: kemajuan teknologi telah menguasai otak kiri. Oleh sebab itu kehadiran Kembali budi pekerti adalah jalan untuk menyeimbangkan nilai-nilai kepribadian, menumbuhkembangkan kemanusiaan yang memiliki integritas otak kanannya.
Diskrimasi perlakuan ini, juga terjadi pada banyak murid yang tidak mampu. Jika kepala daerahnya baik hati akan ada penyelamatan murid, walau itu hanya sekadarnya. Artinya agar murid itu bisa dibebaskan dari beban biaya sekolah, itupun juga ala kadarnya. Keadaan ini masih berlaku dan terjadi, praktiknya sering kali kejadian ini ditutupi. Sebab jika ini diketahui kejadian bisa disebut menjadi “aib daerah”. Tidak perlu orang lain tahu. Ditambah lagi persoalan lainnya adalah ditariknya guru-guru negeri yang diperbantukan di sekolah swasta. Karena ingin daerah memiliki prestasi dan ikon daerah, maka sekolah-sekolah negeri lebih diprioritaskan untuk menerima lebih dana prestasi. Pertanyaanya adalah semua warga negara, adalah pembayar pajak. Tapi karena pendidikan yang berstatus berbeda, mengapa diberlakukan berbeda pula dalam hak dan kewajiban. Ini sungguh tidak adil.
Sementara orang tua murid, disibukkan bagaimana dapat melangsungkan hidupnya. Itu terjadi pada masyarakat yang ekonominya di bawah rata-rata, lebih memilih anak-anak mereka membantu cari nafkah orang tuanya daripada sekolah. Apalagi jika anak sekolahnya jauh, dan harus mengeluarkan beban transportasi, tentu amat memberatkan. Pilihannya jika sudah bis abaca tulis, sudah dianggap cukup. Walaupun anjuran dari pemerintah wajib belajar siswa, hingga sampai SMA. Bantuan itu hanya untuk sekolah negeri atau untuk semua sekolah swasta yang juga berperan aktif dalam mendidik generasi muda.
Jika spirit itu menjadi tujuan pemerintah, seharusnya “tidak ada perbedaan perlakuan, antara sekolah swasta dan sekolah negeri”. Peningkatan SDM guru negeri dan guru sekolah swasta seharusnya disetarakan. Sama-sama bisa mendapatkan beasiswa bagi peningkatan SDM guru baik swasta maupun negeri. Namun kejadian ini masih tarik ulur, termasuk penerimaan status guru honorer dan sejenisnya. Diperlakukan tidak adil dengan “berbagai alasan-alasan klise adminitrasi”. Intinya tidak ada ruang peningkatan SDM bagi guru swasta yang diperoleh dari pemerintah. Demo demi demo, kritik dan harapan sudah sulit diwujudkan. Tidak tahu ini negara macam apa.
Ki Hadjar Dewantara: tabiat manusia, bersifat tetap, yaitu yang disebut karakter atau watak. Tanda khusus inilah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya.
Dampak perlakuan seorang murid swasta, betul-betul telah terjadi marjinalisasi yang terstruktur dan masif. Tidak ada yang memperjuangkan hidup pendidikan swasta yang memadai. Sebenarnya hak kesetaraan adalah hak semua warga negara bangsa, tanpa kecuali. Yang punya hak mendapatkan kepintaran, bukan saja murid-murid yang memiliki intelegensi bagus saja. Sedangkan mereka yang tidak beruntung khususnya murid-murid swasta, sebenarnya juga punya “banyak kelebihan dalam kecerdasan emosional”. Tentunya hal ini perlu dihargai dan diberi tempat yang layak. Jiwa murid perlu dikendalikan, tidak saja hal-hal berbau eksakta. Namun kehadiran jiwa dan rasa tidak kalah pentingnya dipertimbangkan. Pendidikan tidak saja diperlukan bagi yang kaya atau orang tuanya punya pengaruh dan anaknya memiliki kecerdasan yang memadai. Akan tetapi anak-anak murid kaum proletar yang tidak beruntung di sosial ekonomi dan kurang memiliki intelegensi yang baik, juga butuh perlindungan yang sama.
Sejarah telah membuktikan, tidak sedikit anak kaum proletar menjadi pemimpin. Hanya saja jika sudah jadi pemimpin, dan punya jabatan, sedikit sekali yang ingat akan akar di mana dia berasal, sering juga lupa asal-usulnya. Oleh sebab itu, andai kata, jika saja diskriminasi ini bisa dihilangkan, dengan perbaikan-perbaikan sistem dan konsekuen dengan implementasinya. Maka ada keyakinan negara bangsa ini akan mengalami lompatan kualitas pendidikan yang signifikan. Akan dapat menjaga negara kesatuan dengan tangguh. Untuk itu “diperlukan kesalehan sosial bagi pemimpin bangsa ini”. Agar dapat berperilaku adil terhadap peningkatan-peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru dan murid, tanpa membedakan yang pandai dan yang tidak pandai, baik dari latar belakang sekolah swasta maupun sekolah negeri. Perbedaan itu, sudah selayaknya dihapus. Sebab diskriminasi tersebut akan memberikan hambatan serius bagi pertumbuhan generasi masa depan negara bangsa.
Industri Pembebasan dan Membangun Karakter
Pembebasan yang berbentuk industri, adalah sebuah sistem untuk memberikan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tidak membedakan status sosialnya. Pengakuan terhadap masa depan generasi, harus dijadikan landasan moral dan etik sebuah negara bangsa. Bukan terus mempergunjingkan dan sinis terhadap persoalan-persoalan, yang dapat menyulut diskriminasi. Dan membela sekolah negeri yang terlalu berlebihan, dan menisbikan sekolah-sekolah swasta. Memberikan anugerah dan kemudahan-kemudahan bagi anak yang tak memiliki kepandaian yang cukup, di bawah rata-rata. Dan “tidak menghukum murid-murid yang tidak berprestasi”. Serta murid-murid yang tidak beruntung tersebut jangan ditempatkan secara otopis, hanya ingin menghilangkan kesan keadilan.
Kejujuran sistem yang berkarakter kemanusia, menjadi amat penting, untuk mengikat kesetaraan, perlu ditumbuhkembangkan. Hal tersebut sangat penting sekali, untuk menyatukan pendapat yang selama ini, berpotensi menjadi kekacauan konsep pendidikan. Tentunya tidak ada lagi jurang, dominasi, bahkan bisa juga “menciptakan oligarki pendidikan”. Tidak ada salahnya semua golongan, mau mendengarkan semua keluhan orang tua murid, guru, agar dapat menciptakan hubungan sosial lebih baik lagi. Memang sudah dibentuk komisi-komisi di sekolah, akan tetapi belum secara efektif mampu menangkap isu-isu strategis dari perkembangan masyarakat. Masih terjadi petak-petak dan dominasi yang dilatarbelakangi status sosial. Ini terkesan masih merugikan kaum proletar. Sementara dewan guru, terlihat tak berdaya dan cenderung membela suara yang banyak. Walau belum tentu hal tersebut menjawab kebutuhan dan menjawab perubahan.
Freire: konsep politik pendidikan, yaitu tentang kebebasan manusia, ada penghargaan dan pengakuan. Oleh sebab itu harapan masa depan kepada kaum tertindas bukannlah sekadar hiburan.
Radikalisasi pendidikan dalam produksi kebudayaan, dapat saja dilakukan secara sintesis, yakni menggabungkan yang konservatif atau yang mapan dengan progresif, terkait masa depan. Sebab ideologi-ideologi masa lalu tidak semuanya tertinggal oleh zaman. Bahkan jika didekati dengan pola paradigma baru, tentu akan melahirkan strategi-strategi yang spesifik.
Misal tentang ajaran-ajaran leluhur, berbasis kekuatan mitos yang sudah terlupakan secara kolektifitas. Bisa menjadi sangat mungkin untuk direkonstruksi kembali, seperti sistem tata kehidupan, koneksitas tentang hubungan manusia dengan semesta alam. Yaitu tergabungnya antara mikro kosmos dan makro kosmos. Produk kebudayaan ini pasti akan berbeda dengan negara lain. Masa lalu, jangan dilihat dari dominasi-dominasinya saja, akan tetapi cukup mujarab jika direkonstruksi ulang dengan wacana-wacana kekinian tentunya. Mengapa hal ini cukup startegis, secara ideal sebenarnya pendidikan “tidak menjadikan murid sebagai follower asing”. Tidak seragam menjadi produk masal. Ini hanya satu cara untuk mengurangi rasa tertindas bagi kaum proletar yang tak mampu berhadapan dengan kekuatan hegemoni borjuis.
Membangun karakter sebenarnya tidak cukup hanya dilihat dari status sosial murid sekolah di mana, berapa nilainya, berapa prestasi akademiknya. Namun cara berpikir, kreatifitas, kemampuan mengatasi masalah, hubungan sosial, kepatuhan terhadap ideologi negara, kecintaan akan negara bangsa, adalah sebuah karakter yang substansial. Prestasi akademik sangat bagus, bagaimana jika tidak mencintai negara bangsanya, tidak punya kesalehan sosial, tidak memiliki empati kepada orang lain, maka akan terjadi dehumanisasi. Produk ini disamping tidak berguna hidupnya bagi negara bangsa, juga bagi petaka bagi kehidupan manusia.
Bisa dilihat, sejumlah tokoh dunia, yang pandai dan berprestasi unggul dibidang akademik. Tapi karena ulahnya telah membunuh banyak orang dengan atas nama demokrasi atau feudal dan tiran dalam memerintah bangsanya. Murid dan guru hendaknya memiliki kepribadian dan eksistensi, namun bukan berarti tidak memiliki keterbatasan (terikat oleh sistem), akan tetapi fitrah kemanusiaanya, di dorong oleh sistem agar memiliki kemampuan untuk mengurai situasi-situasi, tentang batas yang mengekang dan menjebaknya. Bukan pasrah dan menyerah, apalagi tanpa ikhtiar.
Freire: pendidikan yang mendasar adalah tentang pengalaman dan produksi kebudayaan, yaitu terletak diantara konsep konservatif dan progresif.
Sejatinya semua manusia, adalah kreator. Manusia adalah penguasa di atas dirinya sendiri, dan memiliki hak hidupnya. Pengenalan realitas inilah, perlu perumusan tentang fungsi dan hakikat pendidikan. Sebab konsep pendidikan tidaklah cukup dengan pengenalan subjektif dan objektif, akan tetapi keduanya terkoneksi dan menyatu. Artinya kekuatan subjektif berorientasi kepada yang tidak “saling berhadapan”, atau mendikotomi secara psikologis. Akan tetapi membangun kesadaran “secara dialektif, subjektik dan objektif walau terkadang saling berhadapan dalam kenyataannya”.
Bukan mempersoalkan salah atau benar, karena kebutuhan objektif, bisa terjadi tidak manusiawi dan selalu memerlukan kesadaran objektif. Subjek yang “punya kesadaran” (cognitive) berinteraksi dengan objek yang “disadari” (cognizable). Dialektis semacam ini, masih jauh terdapat dalam sistem pendidikan mapan selama ini. Sebab pendidikan yang mapan diumpamakan “banking konsep of education”. Pelajar hanya menerima ilmu pengetahuan, sebagai objek dan deposito potensial. Intinya menjadi objek niaga. Sistem sebagi subjek aktif, termasuk guru, peserta didik atau murid, menjadi objek pasif, objek ilmu pengetahuan teoritis dan “secara perlahan menjauhkan diri dari kesadaran”. Yaitu hak hidup, tidak menjadi dirinya sendiri. Menjadi follower tanpa daya cipta. (Tancep kayon, Bumiaji, 26 November 2022)
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur