Javasatu, Opini Kita – Salah satu hal yang tidak dapat disangkal dari berjalannya sebuah sistem pendidikan adalah membentuk pribadi (mahasiswa) yang bukan hanya memaksimalkan potensi bawaan (fitrah) dalam dirinya dan potensi yang dapat dikembangkan ketika berhubungan dengan relasi di luar dirinya. Individu bukanlah diri yang final, oleh karena itu proses penguatan dan pembangunan integritasnya perlu diperkuat dengan mengasah cara pikir, analisis serta keterampilan yang khusus dalam memperkuat diri dan menumbuhkan kesadaran kritis.
Gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pola pendidikan yang berbasis budaya, nasionalisme dan menuju kemanusiaan universal menekankan terlebih dahulu adalah konsep bildung, yakni natuur atau alam. Alam atau lingkungan sosial-budaya sangat berpengaruh pada pendidikan atau peserta didik, karena itu harus dipahami pendidikan dalam alam kelas elite dan bawah jelas berbeda. Perbedaan ini jelas mengarah pada hal yang sangat negatif pada pendidikan kelas-kelas sosial, maka untuk mengantisipasinya pendidikan harus mengarah pada budaya.
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi mewujud dalam kebahagian dan kehidupan masyarakat, karena itu kebudayaan harus menjelma menjadi hidup sosial yang nyata: Kebudayaan juga harus bertransformasi menjadi kebangsaan. Kebangsaan sendiri bukanlah nilai yang terakhir. Ia masih berdiri di atas kemanusiaan universal. Jadi pendidikan harus memerdekakan manusia, melewati kodrat alam menuju ke kebudayaan. Intinya, kebudayaan harus membuahkan kehidupan sosial dalam kebangsaan, yang di dalamnya adalah bagian dari kemanusiaan universal.
Dilihat dari berbagai sudut pandang apapun, korupsi merupakan tindakan yang disepakati sebagai kejahatan ektraordinary sebab berdampak yang luas biasa terhadap kehidupan bersama, baik masa kini dan bahkan di masa mendatang. Mengutip Yudi Latief dalam Negara Paripurna (2011), bahwa bangunan suata peradaban apapun akan hancur jika basis moralitasnya rapuh. Dalam kerangka itulah diperlukan langkah-langkah preventif, taktis dan efektif untuk berupa atau berkontribusi dalam mencegah kondisi tersebut, meskipun dalam skala yang sangat kecil.
Landasan filsafat pendidikan tersebut di atas, sekaligus melihat kasus korupsi yang masih dominan di negeri ini kiranya dalam dunia pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi perlu mendorong mahasiswa sebagai manusia pembelajar dan aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial semata, tetapi juga harus didorong mempunyai integritas yang baik dan bertahan dalam kondisi apapun. Project Kelas Anti Korupsi –yang telah dipraktikan di Universitas Brawijaya misalnya–merupakan bagian dari usaha kecil untuk melahirkan para agen mahasiswa yang mempunyai kesadaran dan keberanian untuk menolak tindakan-tindakan di sekitar yang mengarah pada koruptif.
Pada tahapan pendidikan tinggi, pembentukan habit tidak lagi dapat diperoleh melalui mendongeng, bernyanyi, dan menggambar laiknya siswa sekolah dasar. Kebiasaan dibentuk melalui kesadaran dalam berperilaku. Proses pemerolehan kesadaran (tahapan penyadaran) diperoleh melalui hasil olah nalar kritis mahasiswa. Mahasiswa tdak dapat didoktrin untuk melakukan kegiatan antikoruptif. Tidak pula cukup memberikan keteladanan oleh dosen dan rekan sejawatnya. Proses penyadaran ini diperoleh melalui diskusi, analisis sosial masyarakat, hingga bermuara pada kesadaran terpimpin yang muncul setelah proses penyadaran yang panjang. Strategi pencegahan melalui proses penyadaran (orientasi), pelatihan, hingga implementasi investigasi di lapangan.
Mahasiwa tidak hanya didorong untuk gelisah dan ‘mempertanyakan’ suatu keanehan, akan tetapi juga diarahkan untuk melakukan investigasi terstruktur. Sebelum melakukan investigasi, mahasiwa harus melakukan perencanaan yang matang, serta keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan. Pilihan atas pihak yang diwawancaraipun harus berdasarkan keputusan bersama agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan investigasi. Evaluasi dalam proses investigasi dilakukan beberapa kali agar terwujud hasil yang diharapkan. Di samping itu penguasaan teoripun diperlukan agar dalam malakukan analisis dapat berjalan dengan baik. Di akhir investigasi, keputusan untuk mempublikasikan hasil investigasi ke khalayak publik sangatlah penting, sebab hal ini terkait dengan sikap yang bijak yang akan ditempuh.
Pola penanaman kesadaran kepada mahasiswa yang berbasis studi lapangan dengan model investigasi yang ketat ini dapat dikataka berjalan efektif untuk menumbuhkan kedasaran moral progresif, moral kesadaran, dan terbentuknya mahasiswa yang mempunyai kesadaran anti korupsi secara cerdas. Hal yang tidak kalah penting dalam upaya proses mendidik mahasiswa mempunyai kesadaran anti korupsi adalah tercapaianya kerja-kerja cerdas yang kolektif. Kesadaran individual harus ditopang dengan pola bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Ini merupakan pembelajaran yang sangat penting dalam memperkuat sistem secara bersama dalam rangka menumbuhkan kesadaran kolektif yang berkeadilan nantinya.
Project Kelas Anti Korupsi secara umum dilaksanakan dalam tiga tahap, tahap pertama kegiatan Kelas Anti Korupsi (KAK) berupa pemberian materi mengenai korupsi dalam berbagai perspektif, di antaranya perspektif agama, hukum, politik, sosial dan bahkan etika Pancasila. Meskipun mempunyai sudut pandang yang bisa jadi berbeda dalam memahami korupsi, akan tetapi beberapa titik temu dapat ditemui. Misalnya saja terkait kesamaan pandangan mengenai dampak masif korupsi di ranah publik, yakni kerugian aspek mental dan material yang membuat kebaikan atau tujuan kebaikan bersama tidak tercapai.
Pada tahap berikutnya, Kelas Anti Korupsi (KAK) ini juga menyuguhkan sudut pandang dari keteladanan guru bangsa dalam upaya menjadikannya sebagai cermin atau kaca benggala bagi mahasiswa milenial (Modul KAK, 2019).
Nilai keutamaan tidak mengenal ruang dan waktu, sehingga cakrawala pemahaman dan penghayatan dapat tercapai karena mempunyai frame atau gelombang yang berada dalam satu frekuensi. Pola peneladanan dengan menghadirkan tokoh-tokoh atau guru bangsa yang telah teruji di zamannya dapat dilakukan dengan menghadirkan kejadian di masa lalu ke masa sekarang, atau membawa masa kini ke masa lalu, maka pola peneladanan ini mengajak mahasiswa untuk kembali ke masa lalu, seakan-akan mereka hidup di masa Bung Hatta, Agus Salim dan seterusnya, setalah mampu mengambil inti kearifannya lalu membawanya di masa milenial kehidupan mahasiswa (Modul KAK, 2019)
Pada tahap terakhir, Kelas Anti Korupsi berupaya untuk mendorong mahasiswa secara kolektif mempunyai kesadaran Anti Korupsi. Secara garis besar, mahasiswa memulai diskusi dengan mengidentifikasi pada bentuk pelayanan publik yang dapat ditemui di manapun, lantas mencoba mengetahui bagaimana mengakses pelayanan tersebut. Semua proses dilakukan melalui eloborasi data dengan menggunakan teori yang relevan.
Proses pendidikan yang mengarah pada upaya pembentukan agen anti korupsi merupakan suatu ikhtiar bersama, khususnya di PT dalam rangka menyiapkan atau memperkuat modalitas yang akan menjadi agen-agen di masa mendatang. Mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat yang berkeadilan sesungguhnya sangat terkait dengan struktur atau sistem yang mungkin saja justru menjadi alat legitimasi ketidakadilan. Menghadapi situasi demikian, tentu saja sangat diperlukan upaya pembentukan agen-agen yang siap memengaruhi atau bahkan mewujudkan sistem yang melegitimasi distribusi keadilan yang sebenarnya.
*Penulis adalah Dosen Pusat MPK Universitas Brawijaya Malang : Mohammad Anas, Prisca Kiki Wulandari dan Millatuz Zakiyah