
OPINI
Maraknya Verbal Suku Kata “Cuk” di Kalangan Pelajar
Oleh: Imam S.A.R – Pemerhati Pendidikan
Di era modern yang serba canggih seperti sekarang, teknologi telah menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Kemajuan ini membawa dampak besar pada pola pikir, sikap, serta gaya hidup masyarakat, baik dari sisi positif maupun negatif. Sayangnya, di tengah derasnya arus digitalisasi, kita justru semakin sering menjumpai perilaku dan kebiasaan berbahasa yang tidak pantas, terutama di kalangan pelajar.
Bahasa dan Krisis Etika Verbal
Perkembangan bahasa pada anak dan remaja seharusnya menjadi indikator kematangan berpikir dan berperilaku. Namun, kini justru muncul fenomena gangguan dalam penggunaan bahasa verbal di lingkungan sosial, termasuk di sekolah. Banyak anak yang mulai terbiasa menggunakan kata atau ungkapan yang kasar dan tidak sopan, bahkan dalam situasi formal.
Salah satu contoh yang paling sering terdengar adalah penggunaan suku kata “Cuk”, yang merupakan potongan dari kata “Jancuk”. Kata ini kini kerap diucapkan oleh pelajar, tanpa memandang tempat, waktu, atau kepada siapa mereka berbicara. Ironisnya, kata tersebut kini terdengar seolah menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari.
Dulu, generasi sebelum tahun 2000-an akan berpikir dua kali untuk mengucapkan kata semacam itu, karena bisa dianggap sangat tidak sopan dan berakibat pada hukuman dari orang tua. Namun, pada generasi saat ini, kata “Cuk” justru seolah menjadi bahasa gaul yang lumrah, bahkan digunakan dalam percakapan dengan orang yang lebih tua.
Normalisasi Kata Kasar di Kalangan Remaja
Fenomena ini makin terasa di ruang-ruang publik. Di sekolah, di tempat bermain, bahkan saat anak-anak bermain game online, kata “Cuk” sering kali meluncur begitu saja. Ketika kalah bermain, kesal, bercanda dengan teman, atau bahkan saat melakukan kesalahan kecil, kata itu menjadi ekspresi spontan.
Padahal, kebiasaan semacam ini bisa berdampak pada pembentukan karakter dan etika komunikasi anak di masa depan.
Menurut catatan Wikipedia, istilah “jancuk, jancok, diancok, cuk, atau cok” bermakna “sialan, keparat, brengsek”, sebuah ungkapan untuk mengekspresikan kekecewaan atau keheranan. Meskipun di beberapa daerah Jawa Timur kata ini mengalami pergeseran makna (ameliorasi) dan digunakan sebagai bentuk keakraban, tetap saja dalam konteks umum, kata tersebut memiliki konotasi negatif dan tidak pantas diucapkan secara terbuka, apalagi oleh anak usia sekolah.
Dampak Bahasa terhadap Perkembangan Anak
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan kepribadian. Ketika anak terbiasa menggunakan kata kasar, hal itu bisa memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berinteraksi sosial. Jika tidak dikendalikan sejak dini, kebiasaan berbahasa yang buruk dapat berdampak pada perilaku, psikologi sosial, dan kemampuan beradaptasi anak di lingkungan sekitar.
Orang tua dan guru memiliki peran penting dalam membimbing anak agar memahami batas antara bahasa ekspresif dan bahasa yang pantas. Anak-anak perlu diajak memahami bahwa berbicara dengan sopan tidak berarti ketinggalan zaman, justru mencerminkan kecerdasan dan kematangan moral.
Menanamkan Etika Berbahasa Sejak Dini
Dalam ajaran Islam, akhlak yang baik menjadi tolok ukur utama keimanan seseorang. Sebagaimana hadits riwayat At-Tirmidzi nomor 2002:
“Tidak ada sesuatu pun yang paling berat dalam timbangan kebaikan seorang mukmin pada hari kiamat seperti akhlak yang mulia. Sesungguhnya Allah membenci orang yang lisannya kotor dan kasar.”
Nilai-nilai ini bisa menjadi dasar untuk membiasakan anak memilih diksi yang baik. Saat mendapat musibah, ucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Saat bersyukur, ucapkan “Alhamdulillah.” Saat kagum, “Subhanallah” atau “Masya Allah.” Banyak kata indah dalam bahasa Indonesia maupun bahasa agama yang bisa menggantikan umpatan kasar.
Menjaga Lisan, Menjaga Martabat
Memasuki Bulan Bahasa 2025, penting bagi kita untuk merefleksikan kembali nilai luhur dalam berbahasa. Pepatah Jawa mengatakan:
“Ajining diri soko lathi, ajining raga soko busana,”. Artinya, kehormatan diri seseorang diukur dari tutur katanya, dan harga diri dari penampilannya.
Mari kita biasakan anak-anak berbicara dengan sopan, santun, dan penuh rasa hormat. Karena dari lisan yang terjaga, akan lahir generasi yang beradab, berkarakter, dan siap menyongsong Indonesia Emas dengan martabat yang tinggi. (*)