Pengendalian Populasi
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Jogjakarta tahun 1973, ada Gerakan mahasiswa terhadap “pembatasan pertambahan penduduk”. Mereka menamakan dirinya student movement for zero population growth (ZPG) Indonesia. Inspirasi tersebut ada dalam buku Paul R. Ehrlich, bertajuk zero population growth. Sontak saja menjadi Gerakan yang memicu pro kontra. Saat itu penduduk sudah mencapai rata-rata di atas 1000 jiwa/km. Dianalogkan pulau Jawa, sebagai “pulau kota” yang mengakibatkan ruang para petani menjadi semakin sempit. Demikian pula kekhawatiran Prof. Sumitro, dengan keadaan geografis serta tingkat pertumbuhan penduduk antara 60 juta sampai dengan 70 juta. Sangat mungkin dilakukan konsep konsolidasi, untuk membangun sarana dan prasarana, seperti jalan, bendungan, penghijauan lebih efektif.
Catatan ini tidak akan menyampaikan terkait angka-angka pertumbuhan penduduk. Akan tetapi lebih difokuskan kepada aspek-aspek dan dampak dari populasi yang tak terkendali. Langkah-langkah strategis Indonesia khususnya di zaman Orde Baru. Tindakan tersebut terinspirasi, tidak saja Ehrlich, akan tetapi jauh sebelum Ehrlich tahun 1798 dan edisi keduanya tahun 1803 sejarah mencatat Malthus, warga Inggris dengan sangat serius, sudah mempersoalkan ledakan pendudukan dunia. Kesejahteraan manusia selalu diganggu dengan bertambahnya “kerumunan manusia”. Lebih cepat pertumbuhannya daripada ketersediaan pangan. Manusia bertambah dengan deret ukur namun bahan makanan lambat sekali, berkurang menurut deret hitung. Hasil Analisa Malthus, saat ini sangat menghebohkan dan mengalami sanggahan serta perdebatan yang serius dan bertubi-tubi.
Malthus: pertemuan telah terjadi di berbagai bidang yang amat mempengaruhi manusia, perubahan, sosial, teknologi, politik serta ekonomi saling mempengaruhi hubungan timbal balik dengan variabel-variabel demografi, kelahiran, kematian dan migrasi.
Antara lain teori Malthus dianggap lemah. Karena tidak dapat memprediksi, bahwa manusia memiliki kemampuan-kemampuan untuk menekan laju jumlah penduduk, lewat kontrasepsi. Banyak juga dipertanyakan tentang kondom di zamannya. Disesalkan juga, mengapa Malthus menyarankan penundaan kawin (moral restraint). Sebagai upaya satu-satunya untuk memperlambat populasi. Walaupun hal lain tidak dapat pula meramalkan migrasi orang Inggris, secara besar-besaran ke seluruh pelosok negeri orang lain, pada abad lalu. Juga sanggahan lain, tentang hadirnya teknologi yang diperbaiki, diyakini oleh pengritiknya dapat dimaksimalkan, sangat berarti sebagai salah satu solusinya.
Gagasan Malthus yang serius tersebut disempurnakan oleh Ehrlich, melukiskan secara hiperbola dengan kenaikan 2%, dunia akan dihuni oleh 60 milyard. Secara khayali setiap jar persegi dihuni oleh 100 orang. Semua hal itu bisa diselesaikan dengan pemukiman bangunan raksasa setinggi 200 tingkat, diseluruh bumi. Secara khayali pula prediksi ini snagat menakutkan, dianggap sebagai “planet manusia”. Sangat dramatis, kekuatan jenius Malthus dan Ehrlich dalam prediksinya, telah sangat menyita perhatian dunia. Berbagai komentar, mempertanyakan upaya pada akhir 60-an tentang “revolusi hijau”, digalakkan di mana-mana. Namun tamparan datang dari pemikir Eckholm dan Brown, bahwa “pemecahan masalah pangan tidak cukup dengan revolusi hijau, lebih tepat cara itu hanya mengulur waktu, 15 tahun ke depan. Namun bisa dipakai sebuah jalan, untuk memperlambat laju pertambahan penduduk”.
Fremlin: bayangkan perincian-perincian fisik dari keadaan persoalannya, bahwa semua terlihat pada sisi gelapnya saja. Yang pasti orang akan dibatasi ruang geraknya.
Guncangan pemikiran tersebut, juga direspon oleh presiden Soeharto dengan nyata dan serius. Tentunya lewat para menterinya yang memiliki kualitas prima dan terukur. Walau sebelumnya pada zaman presiden Soekarno upaya itu juga dilakukan lewat transmigrasi. Namun belum maksimal. Sebab modernisasi kehidupan bangsa, dimulai dengan durasi tahun 1945 hingga 1968. Ditambah pemberontakan G30SPKI, yang sangat menguras energi. Indonesia saat itu sangat kental dengan berbagai propaganda dan politisasi kehidupan masyarakat. Terkait dengan sosial ekonomi dan politik. Intimidasi kebebasan, dendam perebutan kekuasaan yang telah menghamburkan darah dan sentimen antar negara bangsa. Sejarah kelam perpolitikan tersebut, menghambat perencanaan secara maksimal tentang masalah transmigrasi.
Fenomena KB Sebagai Pengendali Populasi
Transmigrasi, Keluarga Berencana (KB), lumbung pangan dan bangunan sarpras (Sarana dan Prasarana). Itulah tinggalan monumental Orde Baru, diluar tindakannya yang represif. Konsep tersebut menjad unggulan dalam tata kelola Orde Baru. Entah sudah berapa ribu orang, khususnya dari pulau Jawa mengikuti program transmigrasi ke sejumlah wilayah antara lain Sumatera dan Kalimantan yang paling banyak. Pergerakan itu dilakukan dalam repelita satu, kisaran 205.336 jiwa dan dalam pelita dua kisaran 274.868 jiwa sedangkan pelita ketiga direncanakan 500.000 jiwa. Karena ada kendala teknis, kehendak dalam pemerintahan Soeharto tersebut, belum menunjukkan tanda-tanda pemindahan. Ini hanya sekadar contoh keseriusan pemerintah lewat regulasinya. Sebuah dampak yang siginifikan dan futurisik.
Ehrlich: disamping kita mengalami masalah kependudukan yang berat di negeri ini, secara konkrit juga terlibat dalam krisis global. Pekerjaan yang menyita energi dan stamina.
Pengendalian populasi tersebut tidak cukup hanya bentuk transmigrasi akan tetapi juga membangkitkan kesadaran bagaimana menciptakan keluarga aman dan nyaman. Memang dalam praktiknya pelaksanaan KB juga menimbulkan pro kontra. Bagi masyarakat kelas menengah khususnya yang berpendidikan tinggi dan moderat kebanyakan menerima kebijakan tersebut. Mereka sudah punya kesadaran tinggi akan dampak populasi yang tidak terkendali.
Namun bagi masyarakat bawah, yang tidak mengenal “referensi tentang kependudukan” antara menerima dan menolak masih debatable dalam anjuran pemerintah. Maka pemerintah Orde Baru membentuk kumpulan-kumpulan tentang bagaimana model keluarga berencana. Kelompok tersebut terbentuk hingga sampai ditingkat RT, tingkat paling bawah. Sosialisasi dilakukan terus menerus dan masif. Memang cukup efektif, hasilnya cukup signifikan. Walaupun secara kultural Jawa ada, penolakan dan berpendapat bahwa “banyak anak, banyak rezeki”. Harus diakui gerakan membawa ibu-ibu rumah tangga sangat efektif sekali. Bahkan lelucon-lelucon di pos kamling jika saat jaga, para suami saling ledek temannya, bahwa “ada kudeta ditempat tidur”. Jika ingin berintim harus pakai alat kontrasepsi. Masyarakat bawah yang awam, hal yang serius ini jadi bahan tertawaan. Sehingga lama-lama bahan candaan ini tidak ada yang tersinggung dan menjadi pembiasaan.
Sedangkan bagi masyarakat, atau tepatnya kelompok masyarakat yang masih memitoskan, bahwa berkembang biak, bukan ranah negara akan tetapi ranah privat. Tentunya berbagai alasan, termasuk alasan agama, dianggap tidak berpotensi melarang perkembangbiakan manusia. Mereka menolak keras program KB. Bagi masyarakat ditingkat status sosialnya, khususnya ekonomi yang mapan dan lahan pertaniannya luas atau pengusaha sukses. Program KB tersebut tidak menyurutkan niat untuk memiliki keturunan lebih dari pada dua.
Namun saat roda itu berputar, keegoan kaum mampu tersebut, bisa saja menjadi persoalan sosial bagi lingkungannya ketika kondisi mengubah kemapanan tersebut, menjadi miskin karena pailit. Seiring waktu dengan pendidkan anak-anak mereka tumbuh kesadaran. Bahwa memiliki keturunan, harus disesuaikan dengan kemampuan dan prediksi sosial ekonomi di masa depan. Saat anak-anak mereka tumbuh menjad dewasa, “mulai mengkoreksi” bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak memberikan solusi bagi masa depan mereka sendiri. Artinya pepatah “banyak anak, banyak rezeki”, telah terkoreksi karena pendidikan dan kehendak perubahan zaman.
Ehrlich: langkah-langkah membangun kebijakan dan mengiklankan secara drastis, cara itu sangat efektif dan dapat mengontrol jumlah pendudukan kita sendiri. Harus memberikan Batasan sosial jumlah penduduk yang seimbang antara tingkat kematian dan kelahiran.
Pergerakan tersistem model Orba tersebut, secara radikal terus berjalan, karena mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat, khususnya kaum ibu yang sudah terprovokasi. Dimulailah ada mata pelajaran secara sistemik, saat disekolah dasar, tentang keluarga berencana, menjadi pelajaran setengah wajib, hingga sampai ditingkat SMA. Hal itu belumlah cukup, para pamong provinsi hingga kelas RT, berlomba-lomba membuat tulisan PKK di atas genteng rumah penduduk di manapun berada. Jika dilihat dari atas, “terhampar seni rupa instalasi dengan tulisan PKK”.
Hebohnya itu dilombakan, bagi daerah yang tidak mengikuti lomba tersebut akan ada sanksi sosial dari desa tetangga. Maka muncullah lomba-lomba yang lain juga tentang PKK, diantaranya adalah lomba monografi. Dilomba monografi ini akan bisa terkontrol secara statistik dan sistemik, yaitu tingkat kelahiran serta tingkat kematian, juga lomba-lomba lain seperti lomba desa, lomba toga dan seterusnya. Nyatanya strategi-strategi dan dirupakan dalam bentuk lomba menjadi sangat efektif.
Barangkali di dunia, mungkin hanya ada di Indonesia pemandangan tulisan PKK di atas genteng. Jika tidak boleh disebut pemaksaan, maka efektivitas gerakan tersebut tidak bakal berhasil. Simbol gerakan ini bisa saja dinamai sebagai gerakan “strategi kultural kontrasepsi”. Memang, terasa gerakan tersebut “agak hiperbola”, kenyataanya paksaan ini, terasa tidak terlalu membebani masyarakat, karena euforia ini menjadia euforia nasional. Terbukti sangat efektif untuk membangkitkan “kesadaran pengendalian populasi”. Akhirnya modal pengendalian sistemik ini, menjadi bahan penelitian penting bagi negara-negara lain yang terkendala ledakan penduduknya. Berbagai pujian dilontarkan ke Indonesia sebagai rasa hormat negara lain. Walaupun di negeri sendiri masih menyimpan pro kontra.
Lumbung Pangan, Pembangunan dan Ketakutan
Bertumbuhnya lautan manusia, sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab negara saja. Akan tetapi kesadaran individu juga diperlukan, khususnya untuk menghadapi perubahan, serta tersedianya bahan pangan, lapangan pekerjaan, juga pendidikan. Harus dihadapi secara bersama-sama. Bukan pada tekanan egosentris semata. Sebab hidup tidak bisa sendiri. Sangat diperlukan koneksitas dan diupayakan terus akan terjadi. Bagaimana bisa mnecapai hidup secara “bersama-sama” di dalam jagad raya ini.
Oleh sebab itu perlu pengaturan-pengaturan sistemik demi kepentingan bersama, kesetaraan, toleran, juga kesejahteraan umum. Upaya-upaya tersistem tersebut, tentunya tidak cukup hanya didasarkan pada keluhuran adat masa lalu. Terkait dengan ajaran-ajaran luhur, dalam kondisi saat itu. Bahwa pertumbuhan masa lalu tingkat perkembangan penduduk masih sangat terkontrol. Karena lahan hunian masih sangat luas, bahan pangan berlimpah, hampir disetiap keliling rumah penduduk, tersedia limpahan bahan pangan, yang dilakukan secara kultural. Sedangkan, keinginan-keinginan untuk hidup mewah, belum terjamah oleh modernisasi yang masif.
Mothersil: ada pemimpin agama pada abad-20 keberatan terhadap penggunaan kontrasepsi, mengesampingkan kelebihan penduduk dengan perkataan “damai, damai” dilakukan dengan paham pro-nasionalisme usang. Sehingga kondisi tersebut tidak menyelesaikan perdamaian, tak mungkin.
Seiring perkembangan zaman, bisa terkikis situasi “surga dunia” tersebut. Manusia semakin bertambah melesat jauh, berlipat ganda jumlahnya. Sementara angka kematian tidak seimbang dengan angka kelahiran. Maka ketidakseimbangan itu menjadi pekerjaan rumah bagi siapapun termasuk pemerintah. Oleh karenanya upaya Orde Baru, diluar segala kekurangannya. Terkait konsep pengendalian tersebut yang sangat terukur terkait ekonomi sosial, lapangan pekerjaan, ketersediaan bahan pangan yang berlimpah dengan “lumbung pangannya”. Atau dikenal dengan konsep, Maslow, walaupun tidak dalam keseluruhan pemikiran Maslow. Yaitu dengan ketersedianya sandang, papan, dan pangan.
Walaupun di sisi yang lain masih terjadi perdebatan demokrasi dan HAM juga kebebasan berbicara. Akan tetapi bagi masyarakat kecil, dengan tercukupi kebutuhan 7 bahan pokok sehari-hari, nilai rupiah terkendali dan mencari pekerjaan mudah. Maka rasa aman dan nyaman itu telah terpenuhi dengan kehadiran pemerintah. Saat itu hanya elit politik saja yang selalu ribut, soal kekuasaan. Dalam hal ini, pulau Jawa sebagai sentra pergerakan nasional, “dapat dikendalikan”. Indonesia sebagai negara yang luas wilayahnya, saat itu masih Jawa-sentris. Dengan demikian bentuk-bentuk pembagian masih berpusat di Jawa, sedangkan pembangunan Indonesia Timur masih terbengkalai.
Di era baru (kontemporer), presiden Joko Widodo, pembangunan besar-besaran, dilaksanakan terutama pembangunan infra struktur jalan tol, dengan ribuan km dan beberapa bendungan air terbangun dengan baik. Termasuk akan terjadinya perpindahan ibu kota negara, yang disebut Ibu Kota Nusantara (IKN). Konsep lama tersebut sudah lama digagas saat presiden Soekarno. Disaat pemerintahan Jokowi, yang mengeksekusinya. Secara eksplisit sebenarnya ada “ketakutan-ketakutan tentang pengendalian populasi”, dengan atas nama lain, pemerataan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia.
Memang istilah transmigrasi sudah tidak sepopuler di masa Orla, Orba. Akan tetapi pikiran konsep futurisik tentang perpindahan Ibu Kota Negara, dan fokus pembangunan Indonesia Timur, akan berdampak dan menjawab tentang keresahan-keresahan sosial politik. Sebenarnya secara antopologis, selalu distigmakan “presiden itu, pasti orang Jawa” atau Jawa-sentris. Kata lain Indonesia itu adalah Jawa, telah terjadi politisasi etnosentris. Maka upaya-upaya berkelanjutan tersebut dalam pemerataan pembangunan, lambat laun akan menjawab dan mengikis stigma politik Jawa-sentris. Memang sudah waktunya.
Ehrlich: keterbatasan manakah yang ditentukan oleh alam. Dengan melibatkan berbagai masalah yang kompleks mengenai sumber-sumber energi serta persediaan bahan untuk produksi bahan pangan.
Tidak berlebihan Presiden orang Kalimantan, Sumatera, Sulawesi atau Irian Jaya, mengapa tidak. Indonesia adalah dari Sabang hingga Merauke. Jika saja dengan terukur dan ditempatkan pembangunan Indoenesia Timur, akan tersedia lapangan pekerjaan, aman bersatu, maka “kata transmigrasi tinggal kenangan”. Sebagai gantinya menjadi migrasi dan urbanisasi. Dengan demikian akan terjadi pemerataan ekonomi, sosial dan politik. Bagi warga penduduk Indonesia merasa akan banyak pilihan hidup, baik secara natural dan alami. Memang perubahan besar pasti akan berdampak dan “mengganggu rasa aman, bagi kaum mapan”. Dari semua golongan, yang sudah bertahun-tahun dimuliakan, oleh oligarki dan monopoli. Akan tetapi hak hidup lebih baik, sudah selayaknya dapat dinikmati oleh semua warga golongan. Artinya upaya positif pemerintah yang sudah digagas lama tersebut perlu mendapat apresiasi, dan dukungan penuh dari masyarakat Indonesia.
Kesampingkan ego sektoral dan egosentris sejenak. Sebab untuk mengelola negara besar Indonesia, saat ini perlu lompatan besar dan kebersamaan untuk menjawab “kehendak perubahan”. Dibutuhkan jaringan-jaringan masif, terkait dengan geo-sistem, geo-kultural, geo-politik dan geo-ekomoni secara tepat dan terukur. Untuk itu akan terjadi jika kepentingan-kepentingan tersebut mau kembali kepada ajaran-ajaran luhur Pancasila sebagai satu-satunya way of life Indonesia.
Kembali ke Pengendalian Populasi
Tidak bisa dibayangkan, jika generasi mendatang tumbuh pada tempat yang tidak semestinya. Anak-anak kecil tempat bermainnya dipinggiran sungai yang penuh sampah dan limbah pabrik. Di sana ada teriakan-teriakan panik, mencuci, minum, kencing, berak dan segala macam kutu busuk menjadi bagian bermain anak-anak. Sementara itu orang tua mereka tidak ada di rumah. Mereka mencari makan kemana-mana. Karena ditempat mereka hidup, sudah padat manusia “berkelahi”, karena sedang memperebutkan sesuap nasi. Gedung-gedung tinggi berubah menjadi pabrik yang menggunakan teknologi tinggi, penuh dengan radiasi yang membahayakan kesehatan manusia. Sementara itu tenaga manual manusia sudah digantikan oleh mesin semua. Jumlah lapangan pekerjaan, tidak sesuai dengan jumlah penduduk. Sementara itu pendidikan tidak lagi menjad favorit pendidikan. Pengetahuan, etik dan moral tidak lagi dibutuhkan karena, “kebutuhan perut, menjadi hal utama”.
Ehrlich: jika sasaran pembatasan penduduk hanya ditujukan kaum minoritas, akan menjad bentuk genocide, adalah nama yang diberikan kaum militan.
Revolusi hijau sudah bukan menjadi trend, sebab gunung-gunung sudah menjadi rumah kosong, karena sudah tak dihuni oleh penduduk yang sibuk mencari makan ditempat lain. Sedangkan tempat yang baru pun, kondisinya kurang lebih sama karena dipenuhi oleh lautan manusia. Sedang dalam kebingungan. Puing-puing bangunan berserakan di mana-mana. Sampah-sampah bertebaran tak ubahnya, seperti taman bunga dengan bau busuk, menyengat. Sudah tidak ada lagi tempat, sehat dan aman. Semua manusia tidur di lorong-lorong bangunan pencakar langit. Bangunan tersebut pernah menjadi “simbol kesombongan manusia moderen”.
Perang hadir menjadi sejarah kelam bersandarkan teknologi canggih. Setiap individu, keluarga, berupaya bagaimana menyelamatkan hidupnya. Setiap hari terlihat manusia mendapatkan makanan dari sisa-sisa makanan, yang ada di tempat sampah. Sungguh mengerikan, ilustrasi kegagalan peradaban yang dehumanisasi. Ganas, bar-bar, menakutkan. Itulah gambaran film fiksi “terminator”. Yang dibuat skuel beberapa episode. Dalam film tersebut memaparkan bagaimana kegagalan pemerintah, dalam mengelola relasi sosial, kuasa politik ekonomi dan tekonologi. Gambaran absurd tersebut terjadi karena tidak dapat mengelola populasi dengan baik. Sehingga “timbul revolusi penghancuran peradaban secara sistemik” karena tidak ada jalan keluar bagi kehidupan manusia. Sementara itu negara tidak dapat hadir sebagai harapan negara kesejahteraan bagi umat manusia.
Ehrlich: setiap energi digunakan masyarakat akan berdampak pada lingkungan, jika tak terkendali pemakaiannya. Maka akan mempengaruhi sumber daya baru dan sulit mempertahankan sistem itu.
Film futuristik khayali tersebut menganalogkan kerapuhan sistem pemerintah dan kebrutalan masyarakat sipil “sulit diatur” memang kejadian ini, belum pernah ada dalam dunia nyata. Namun bibit-bibit kerumitan masyarakat yang terdesak sekali waktu bisa “memutar keadaan” dengan propaganda, provokasi dan dilakukan oleh kuasa-kuasa segelintir elit, karena “watak dan karakter behaviornya”. Sedangkan jika tidak hati-hati, maka kekuatan sipil yang berbentuk “kerumunan” bisa saja merubah menjadi anarkis, karena sudah jenuh dengan keadaan. Maka situasi dari populasi tak terkendali ini, “sering menjadi permainan agar kondisi terus keruh dan tak berdaya”.
Oleh sebab itu gerakan zero population growth, titik tekannya terletak pada penekanan pertumbuhan penduduk. Yaitu antara angka kelahiran sepadan dengan angka kematian. Di negara-negara maju ada ketakutan yang terwujud dalam gerakan untuk tidak punya keturunan. Sudah menjad model, sudah lama berlaku. Bahkan negara setempat punya ketakutan-ketakutan jika penduduknya tambah berkurang ada kekahwatiran akan dikuasi kaum urban yang bermentak penjajah. Oleh karenya dibuatlah penghargaan-penghargaan atau kesejahteraan yang berlebih, jika pasangan suami istri, punya anak lebih daripada satu. Maka kelebihan jumlah anak tersebut seluruh kehidupannya akan dijamin oleh negara.
Sedangkan China dan India, telah beramai-ramai memproduksi manusia, sangat luar biasa tak terkendali. Hal ini tentunya mengancam keseimbangan populasi dunia. Memang akhir-akhir ini ada pandemi Covid-19 cukup meresahkan dan berdampak pada kematian jutaan orang. Namun belumlah cukup, sebagai keseimbangan dalam tata hidup pengendalian populasi, yang aman secara alamiah. Politisasi dan perdebatan, itupun juga terjadi, apakah pandemi itu buatan manusia atau hadir secara alamiah. Terkait proses pengedalian populasi tersebut, Indonesia akan mencontoh China dan India yang selalu lepas kontrol populasi. Ataukah punya pilihan lain.
Selamat Succesfull Sedulur