Perang Kapital, Politik Dagang Sapi. Budaya Kuasa, Negeri Dongeng
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Politik itu kotor, stigma ini sudah lazim diucapkan dan didialogkan. Mulai dari elit kaum moralis hingga dialog-dialog di pos kamling. Utamanya masyarakat yang belum kenal politik secara baik. Tepatnya masyarakat desa. Sebab mereka inilah yang menjadi sasaran utama untuk mendulang suara, dukungan bagi mereka, para pemain politik. Mereka adalah calon legislatif atau kepala daerah.
Calon legislatif (DPR), sudah menjadi rahasia umum jika ingin jadi wakil rakyat, diperlukan membentuk tim sukses. Urutan peristiwanya adalah, pertama bagaimana caranya caleg tersebut mendapatkan nomer urut. Serta dicalonkan oleh partai pengusungnya. Di momentum inilah mulai ada permainan. Dukung mendukung di internal partai, sudah menjadi rumit. Siapa yang akan dicalonkan nomer urut paling atas (nomor satu). Sebab keistimewaan nomor satu, memiliki hak istimewa, jika nomor dibawahnya (2,3,4, dst). Jika suara nomor urut di bawah tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh aturan-aturan KPU, maka suara yang dibawahnya otomatis menjadi milik nomor satu. Peraturan ini menjadi ketentuan yang penuh polemik. Jika nomor urut satu suaranya hanya selisih 25-50 suara. Maka kecurigaan akan menjadi nyata. Artinya nomor urut dibawahnya akan berupaya untuk mencari kelemahan-kelemahan nomor satu.
Magnis Suseno: filsafat politik adalah tentang legimitasi dalam arti etis. Terkait dengan manusia dan hukum, moral, kuasa, keadilan dan legimitasi subjek kekuasaan.
Bibit-bibit permusuhan sudah diciptakan untuk memanipulasi suara. Maka peran tim sukses bisa bermain dengan oknum terkait. Tujuannya agar bisa memenangkan caleg dukungannya. Tentunya dengan cara apapun. Sebab selisih sedikit itu, sangat mungkin untuk direkayasa. Jika tidak hati-hati dan teliti, para tim pendukung akan “dihabisi”. Bagi tim lain yang lebih licik, licin dan manipulatif. Ujung dari permainan ini adalah “kekacauan”. Bagi yang dikalahkan baik lewat aturan atau rekayasa, “pasti ada dendam dan permusuhan yang abadi”.
Suseno: etika sebagai ilmu kritis, tidak bercampur dengan sistem moralitas. Namun lebih mempertanyakan dasar rasio dari sistem moralis yang ada.
Kejadian kalah menang ini secara psikis yang mental dan moralnya baik, kesakitan psikis itu dianggap hal biasa. Utamanya yang sering berlaga di pileg. Akan tetapi tidak dapat menghapus “dendam politik” karena merasa menjadi “korban konspirasi”. Bagi yang mentalnya kelas tempe, pasti “nyungsep, tiarap” dengan membawa duka “harga diri”. Ketidaksiapan inilah membawa dampak sakit hati serta mengutuk keadaan yang akan dibawa seumur hidup. Jangan lupa sering menjadi bahan lelucon dan ledekan sepanjang waktu. Justifikasi social inilah yang tidak akan habis menjadi legenda politik kampung.
Calon kepala daerah dalam proses pencalonan ada beberapa hal, mirip dengan pileg. Hanya saja perjalanan untuk “tiket”, untuk menjadi “manten” calon kepala daerah. Membutuhkan energi lebih, koneksitas yang luas, baik secara politik maupun pembiayaan yang sangat besar. Oleh sebab itu, menjadi kewajaran karena ruang lingkung politiknya memiliki wilayah yang lebih luas. Perjalanan proses “balon”, bakal calon ini jika tidak hati-hati dan punya tim yang cerdas dan kuat, akan menjadi makanan empuk “makelar politik”. Mereka selalu menabur “surga telinga”. Memberikan janji-janji dan kemudahan-kemudahan, serta kepastian agar mendapatkan “rekomendasi” dari pusat. Baik daripada pengusungnya ditingkat daerah, provinsi hingga yang pusat. Namun kepastian tentang rekomendasi tersebut bisa terjadi, bisa juga tidak. Inilah peran makelar bisa baik bisa buruk. Bisa berhasil bisa tidak. Hal inilah posisi para calon kepala daerah sangat mungkin dipermainkan oleh makelar-makelar itu.
Habermas: norma moral tidak lahir dari tindakan strategis. Melainkan Tindakan komunikatif. Dengan keambrukan dunia meta fisik, serta dapat memperoleh legalitas diskursus dari petikan yang meragukan, terbuka dan bebas dari tekanan.
Semua masyarakat, maupun “balon” kepala daerah pasti tau kerumitan ini. Mereka bukan “balon biasa” rata-rata Pendidikan mereka sangat tinggi. Mulai dari S1, S2, bahkan tak sedikit yang sudah meraih kedoktoran (S3). Jika dilihat dari pendidikannya, sebenarnya rasio “balon” adalah individu-individu yang dapat secara baik menggunakan “akal sehatnya”, secara benar dan tepat. Namun hal ini masih saja banyak yang menjadi korban makelar politik. Dicontohkan berapa uang yang banyak dan hangus. Karena terbakar oleh intrik-intrik makelar politik. Tidak sedikit pula korban yang tergeletak hanya untuk mendapatkan rekomendasi yang gagal, sebelum terjadi peserta pilkada.
Memang impian-impian itu demikian menggoda. Telah menjadi bukti jika sudah menjadi kepala daerah, “kamukten” dan kehormatan, baik psikis dan finansial, akan menjadi kenyataan “hidup mewah”. Permainan menggoda ini sudah terbukti. Sedikit sekali kepala daerah yang miskin dan terlantar. Kecuali yang jujur. Yang jujur ini adalah indivdu yang dianggap bodoh oleh lawan politiknya. Godaan-godaan kaya mendadak, menjadi motif besar bagi calon-calon kepala daerah. Kalau menjadi kepala daerah, karena ingin “membuat rakyat senang, berdaya”. Sepertinya itu hanya ada dalam “dunia dongeng saja”. Sebab permainan perizinan, investasi, semua kebijakan itu “jer basuki mawa bea”, pasti ada dukungan uang di sana, tidak gratisan. Kondisi ini telah menjadi tujuan utama untuk mengembalikan biaya politik, saat terjadi proses pencalonan.
Marx: emansipasi manusia wujudnya adalah pembebasan kekuatan kuasa asing. Sebab penaklukan kekuatan asing berlawanan dengan hakikat manusia.
Jangan lupa ini sudah menjadi kebiasaan dalam budaya kuasa. Sudah menjadi kontinyu dalam perilaku dari waktu ke waktu. Malah semakin kaya dengan dinamikanya, untuk menjadi kepala daerah. Tidak saja secama prestis, namun juga simbol “kerakusan kuasa”. Buktinya beberapa puluh kepala daerah terseret korupsi, gratifikasi, persekongkolan, perselingkuhan, serta memanipulasi regulasi.
Kapital dan Politik, Setali Tiga Uang
Mengulik lebih jauh tentang pilek maupun pilkada, apa yang nampak tidak seperti itu faktanya. Untuk itu diperlukan kejelian dalam menangkap retorika politik di dalamnya. Sulit sekali ditemui hal-hal “hasrat kuasa”, itu terkait dengan kebaikan-kebaikan, moral dan etika. Jika mau jujur, sulit ditemui. Namun yang lebih menonjol adalah permainan “politik”. Pemahaman judi dalam hal ini bukan seperti permainan kartu tarot, domino. Akan tetapi penguasaan teritorial, regulasi dan permainan investasi.
Kant: moralitas adalah wujud kewajiban dan hormat terhadap hukum. Sebab hukum ada di dalam hati manusia.
Teritorial lebih dipahami sebagai pembagian kapling kuasa dan ekonomi. Dulu kuasa partai masih sangat dominan. Para ketua partai masih memiliki “gigi kuasa”. Sebab jenis politik ini bisa digolongkan sebagai politik murni atau klasik. Seiring perkembangan zaman, para petinggi partai yang klasik, sudah terpinggirkan sebab tidak memiliki sarana yang memadai, sesuai kebutuhan perubahan politik hari ini. Secara simultan, para “owner politic” sudah dikuasai kaum kapital, yang memiliki jenis usaha. Karena untuk kelancaran usahanya membutuhkan regulasi-regulasi yang menguntungkan. Salah satu regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Intinya regulasi tersebut dikondisikan agar menguntungkan kelompok pengusungnya. Berdasarkan usaha tersebut, maka para pengusung, kaum kapitalis, mempermainkan “keadaan politik”. Awalnya mereka, kapitalis, hanya menaruh orang atau balon untuk mengusung aspirasinya, namun lama-lama person tersebut, karena dianggap tidak kredibel untuk memenuhi keuntungan kapitalis, maka dikuasilah partai tersebut. Sejumlah partai yang berbalut moral dan nasionalisme semuanya pada rontok serta tak mampu bertahan. Pertanyaanya siapa yang tidak ingin kaya mendadak? Disitulah etik dan moral dipertaruhkan.
Hegel: masyarakat luas, kacau balau, bellum omnium contra omnes (perang semua, lawan semua). Hukum batinnya adalah pemuasan terhadap individu. Masyarakat semacam ini, menghancurkan diri sendiri, sebab anggota masyarakat menjadi egois.
Jika mau jujur, siapa pemimpin itu, bagaimana dia memenangkan kompetisi pilkada. Dari mana mendapatkan dana politik dan sejumlah misi-misi terselubung. Hasrat pribadi bertemu dengan “Hasrat kapital” menjadi sempurna untuk menciptakan dunia oligarki dan monopoli. Kedua belah pihak itu saling membutuhkan koneksitas untung rugi, menciptakan manipulasi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Suatu misal pembuatan jalan baru, jika ditelusuri, pasti disitu ada permainan tanah yang telah dikuasi gembong-gembong politik kapital. Atau mengatasnamakan orang lain intinya untuk penguasaan lahan. Dari berbagai literatur, tidak ada yang menyebutkan bahwa pemerintah membela kepentingan masyarakat secara murni. Semua pergerakan itu hanya mengukuhkan adanya “politik dagang sapi”. Yaitu politik yang hanya berpikir keuntungan saja, beli putus dengan masyarakat pemilihnya. Tidak lebih.
Oleh sebab itu, politik dagang sapi, adalah hasrat dan libido untuk menggunakan berbagai cara agar memperoleh kemenangan. Bisa berbohong, menipu atau sejenisnya. Tapi hal ini sering dipersepsikan oleh pelaku-pelaku politik, sebagai “strategi cerdas politik”. Walaupun bertentangan dengan moral dan etik. Sudah menjadi trend baru. Dalam perpolitikan, ada stigma baru bahwa money politic, dibilang “politic cost”. Kecurangan atau manipulasi, dibilas dengan kecerdasan strategi. Sehingga bagi masyarakat awam politik, kebenaran sesungguhnya dikaburkan oleh logika-logika untuk memenangkan calon.
Politik dagang sapi juga disebut sebagai “politik beli putus”. Yaitu antara yang memberi suara dan yang menerima suara sama-sama membutuhkan penghargaan jasa. Bentuknya adalah uang. Oleh sebab itu tidak ada lagi hubungan sosial, emosional, apalagi keterikatan sebagai rakyat dan wakil rakyat. Semuanya itu sudah berakhir. Oleh sebab itu, berbagai Tindakan atau perilaku sosok pemimpin hasil dari kebijakan politik, banyak berbuat semaunya, tanpa kontrol. Bahkan partai pengusungnya banyak juga yang diabaikan.
Efek Psiko Kapital
Akibat dari pilihan dan pergerakan hasrat politik juga menimbulkan berbagai efek tidak baik. Bagi yang kalah, bisa disebabkan tertipu oleh para makelar atau pendukung gelap. Dampak sosialnya, menjadi lelucon yang tidak lucu. Sebab yang membuat lelucon, masyarakat money politic, juga punya peran ikut membuat kegaduhan. Terima amplop mulai dari 50 ribu hingga 150 ribu, bahkan ada yang hingga 250 ribu. Khususnya terjadi di pusat-pusat kota. Dengan sederhana kelompok-kelompok masyarakat tersebut, serta berbagai alasan melihat pemimpin itu bertujuan mencari “kerja”. Sah diberi stigma, jika sudah menjadi pimpinan daerah, pasti melupakan rakyat pemilihnya. Maka hubungan timbal balik jual beli suara telah menjadi budaya masyarakat politik.
Marx: negara ditandai dalam hak-hak manusia, namun tidak ada hak privilese (kekhususan untuk masyarakat feodal). Sebab privelese adalah dasar hubungan manusia dengan dimensi politik yang sudah tidak beres.
Hampir semua balon pasti melakukan “upaya nyogok tersebut” tak terkecuali bagi yang kalah. Entah berapa korban balon kehilangan tanah, serta meninggalkan hutang yang belum terbayar. Bahkan karena tak bisa membayar, menjadi beban yang sulit diselesaikan. Akibatnya ada beberapa pasangan suami istri calon, harus cerai, karena cekcok ekonomi pasca pencalonan. Risiko ini tidak tergantikan walaupun sudah diupayakan mengurai permasalahan dengan serius. Namun tidak sedikit oknum itu stress dan bunuh diri.
Cerita senada, juga dialami bagi balon yang sudah memenangkan kompetisi. Mereka juga, peserta pileg dan pilkada. Sama-sama juga secara pribadi sudah mengeluarkan dana untuk permainan politik. Tugas mereka, setelah itu adalah harus mengembalikan hutang piutang. Baik hutang atas nama pribadi, bisa juga hutang dari penyantun atau pinjam kapitalis. Sesungguhnya jika mau jujur uang yang dikeluarkan dijumlah dalam proses pencalonan, dari hasil menjabat, pasti tidak akan cukup, untuk mengembalikan hutang. Saat menjabat sepanjang 5 tahun. Artinya ikut permainan politik kuasa, pasti rugi secara finansial. Maka ditempuhlah jalan korupsi. Oleh karenanya banyak balon, rela pinjam dana kepada para penjudi dan kapitalis. Kompensasinya memberikan janji-janji proyek atau kemudahan-kemudahan usaha investasi, dengan jaminan aman. Hal ini juga masih belum selesai. Gerbong pendukung saat pencalonan pasti akan membawa segebok proposal untuk meminta proyek atau dana bantuan dari wakil yang didukungnya. Dengan demikian sepanjang masa menjabat akan menjadi sandera kelompok atau orang-orang tersebut. Tekanan ini juga terjadi pasca menjabat. Mereka (gerbong) menganggap bahwa pimpinan yang pernah didukungnya tersebut masih menjadi gudang uang. Kesimpulannya yang tidak jadi stress, yang jadi juga stress. Anehnya kejadian rumit ini berlangsung terus. Dan cerita unik kerumitan ini sudah menjadi “legenda opini publik”. Para balon tetap tidak jera. Sebab kuasa itu sejenis candu, obat efektif bagi orang-orang mabuk tahta.
Regulasi Invalid
Regulasi adalah sebuah kebijakan atau aturan yang dilakukan atau dibuat dari pusat hingga daerah. Suatu Tindakan yang formal dan standart. Tujuan dari regulasi adalah Batasan dan tata cara pengelolaan, baik kebijakan administrasi atau eksekusi pembangunan. Namun hal itu bisa menjadi ideal, jika regulasi dijalankan untuk kepentingan semua orang dan wilayah. Standart dan normatif.
Regulasi sebagai produk politik yaitu kebijakan eksekutif dan legislatif. Berbentuk tata Kelola dalam menjalankan pemerintahan. Namun dalam praktiknya, banyak kejadian-kejadian yang membuat banyak pimpinan daerah dari legislatif dan eksekutif menjadi bulan-bulanan hukum. Karena telah melakukan perlawanan terhadap hukum. Sebut saja koruptor dan sejenisnya. Jika dijumlah, di Indonesia bisa ratusan bahkan ribuan dari berbagai strata legislatif dan eksekutif, harus mendekam di hotel Prodeo. Silih berganti dari waktu ke waktu. Ada korupsi secara berjamaah, manipulasi atau permainan kotor investasi jual beli kebijakan dan jual beli jabatan.
Marx: masyarakat kapitalis, secara terselubung dengan hubungan kerja berdasarkan perjanjian formal dan bebas. Namun kebebasan itu semu dan tidak benar.
Hiruk pikuk penangkapan koruptor tersebut, akar atau asalnya dari mana, yang pasti permainan politik. Jika saja mereka tidak didesain oleh kapital, tidak terlibat oleh hutang uang 13-an yang didapat dari pinjam lintah darat. Mungkin akan sedikit sekali korban “jadi koruptor”. Karena beban itu mereka menabrak apa saja termasuk aturan untuk mengembalian modal proses pilihan calon pemimpin. Namun hasrat kuasa politik lebih memperngaruhinya. Lagi-lagi politik dagang sapi, sehingga membuat menjadi sapi perahan, bagi pihak-pihak “yang telah berjasa”. Apakah itu lewat proyek pembangunan pemerintah atau permainan investasi lewat kebijakan monopoli.
Semuanya telah menjadi kelaziman dari para perilaku “pengabdi politik kebijakan”. Dikarenakan perilaku tersebut sudah menjadi perilaku yang kontinyu. Maka lahirlah sebuah budaya yang disebut “budaya korupsi”. Menjadi gaya hidup baru selebriti politik. Dengan hidup hedon, pamer kekayaan yang tidak masuk akal. Dipertontonkan secara fulgar, banal di tengah masyarakat yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Tontonan yang menggugah emosi publik ini sudah terjadi di mana-mana. Mereka tidak malu. Karena suaramu sudah terbeli. Suka-suka saya. Hal tersebut menjadi pembiasaan walaupun tidak diucapkan secara nyata atau verbal. Namun dari gestur tubuh dan perilakunya, sangat nampak sekali, perlawanan yang diwujudkan dalam kebahagiaan semu. Celakanya kesalahan sosial itu tidak dapat membuat jera. Saat dipegang KPK, masih dengan tertawa-tawa. Seperti tidak punya salah. Lambaian tangan di kamera TV, “saya tidak bersalah” ini ucapan para koruptor.
Risiko Pemimpin Invalid
Bagaimana mungkin masyarakat sejahtera, jika pemimpin sudah invalid mental dan moral. Hal itu terlihat dalam proses pemilihan yang sudah secara panjang lebar yang sudah diuraikan. Bagaimana kuasa-kuasa kapital sebagai penentu sebuah kemenangan. Lebih detailnya pengertian kapital adalah jamak, tidak satu. Jika dilihat dalam sejarah moderen, kekuatan kapital telah menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Utamanya bagi pengabdi filosofi materialistik. Melihat bahwa kehidupan manusia akan mendapat kebahagiaan, jika peran materialistik lebih nyata. Sebab kehidupan apapun pasti sangat memerlukan dukungan materialistik. Sedangkan etika timur masih berpegang teguh pada jiwa, rasa dan etik. Sementara itu para pimpinan sebagai produk pendidikan nasional Indonesia, hari ini mengacu kepada Barat yang orientasinya cenderung memuja kebendaan.
Pepatah latin: qui nimis probat nihil probat, siapa yang membuktikkan terlalu banyak, sebenarnya tidak membuktikkan apapun.
Situasi dilematis inilah pangkal dari pertentangan kepentingan. Modernitas pengambil kebijakan, berorientasi kepada kebendaan, untung rugi, distribusi dan pengingkaran-pengingkaran nilai luhur klasik. Sementara populasi terbanyak ada pada desa-desa pinggiran. Masih kental dengan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan masyarakat desa, dekat dengan kota telah mengalami “transisi gaya hidup”. Tak dapat dihindari, peran teknologi (hasrat pelayanan kapital), mulai mengubah dan mengambil peran nilai-nilai klasik. Secara revolusi telah dikuasainya. Kondisi ini sungguh mempengaruhi daya produktifitas dan strategi kebudayaan masyarakat desa.
Suseno: Marx tersirat menolak prinsip moral sebagai idealisme dan memasukkan moral sebagai ideologi. Namun tak menyadari jika argument-argumennya, memiliki dasar moral, otonomi mutlak tentang kebebasan manusia.
Suasana ambiguitas tersebut dengan sangat baik dibaca oleh kaum kapitalis cerdas. Kaum kapitalis tidak saja mampu membaca secara tepat, akan tetapi praktik-praktik pergerakan dalam politik kekuasaan sudah menggerakkan organ-organ masyarakat menjadi bazer-bazer provokatif untuk menggerakkan, membentuk opini maupun fisik secara sistematis. Salah satu permainan politik identitas. Kecerdasan kaum kapitalis tidak nampak dipermukaan. Namun dapat dibaca dengan baik. Ribuan orang demo yang terorganisir dating dari berbagai wilayah. Dana besar tentunya tidak mungkin dibiayai oleh panitia secara bersama-sama. Jaringan ini sudah terorganisir dengan rapi. Belum lagi ditambah gerakan-gerakan klandestin (bawah tanah). Jumlahnya juga tidak terlalu sedikit. Gerakan klandestin ini kebanyakan dihuni kaum intelektual yang tidak sepaham dengan rezim. Sesungguhnya fenomena semacam ini juga peristiwa klasik dan selalu terulang dalam dinamika politik kekuasaan.
Dua Sisi Mata Uang Gerakan Kapitalis
Kepandaian lain dari perang kapital ini terbaca tapi tidak tersentuh oleh hukum. Di negara manapun situasi pengendalian ini ada dua jenis. Pertama Gerakan yang terdiri dari individu-individu secara sporadis. Pergerakan dalam mempengaruhi, tidak terorganisir secara baik. Sehingga kepentingganya bervariasi. Kepentingan beragam itu, tidak terkoneksi secara tepat. Akan menimbulkan benturan-benturan dalam merealisasikan kepentingan masing-masing individu.
Jenis kedua ini, adalah kapital yang terorganisir. Merupakan kumpulan-kumpulan, bisa individu-individu atau kelompok-kelompok kecil. Kapital jenis ini memiliki konsep makro, terselubung tentang ideal negara liberal, yang orientasinya lebih mengarah kepada monopoli perputaran ekonomi. Kelompok ini secara terselubung juga memiliki kemampuan untuk mengubah, mengatur kekuasaan, regulasi serta menentukan warna dari pimpinan daerah dan negara. Baju-baju yang dipakai, berideologi kebangsaan dan kesatuan. Dicontohkan kegiatan ekonomi yang secara kelompok kecil telah mampu membeli kekayaan mineral. Ketika ada bencana Teknik, yang sebenarnya adalah kegiatan pribadi (pengeboran sumber daya mineral), dengan berbagai cara dan strategi, pemerintah akhirnya menganggap kejadian itu menjadi bencana nasional. Karena ketidak berdayaan kelompok kecil tersebut, yang memiliki pengaruh terhadap pemerintahan. Sungguh sulit diterima akal sehat.
Marx: keadaan sosial yang buruk, keterasingan, bukan akar kejahatan individual. Melainkan potret struktur kapitalis masyarakat.
Kedua jenis gerakan kapital ini, tidak mungkin menyatu, karena kepentingan-kepentingan dan tendensinya terhadap negara sangat berbeda. Yang satu (individu kapital), memperkaya diri sendiri, namun mempengaruhi partai dan pimpinan. Kapital yang terorganisir, mengatur pemerintahan dengan membagi kapling-kapling pergerakan ekonomi. Persamaan dari keduanya adalah, pada penguasaan ekonomi. Segala macam cara dikelola dengan cerdas, cermat, tertata rapi, walaupun sering melanggar etika dan prinsip-prinsip ideal negara. Kaum kapital itu mempunyai organ sampai di bawah (daerah). Terutama lewat penguasaan lahan-lahan produktif. Startegi kaum kapital ini, sesungguhnya telah membeli kuasa-kuasa politik dan pemerintah. Salah satu terlihat dalam pemenangan tender-tender besar proyek pembangunan.
Masa Depan Suram (by design)
Kuasa kaum kapital memang telah menjadi perangkat penting dalam pemilihan pemimpin kekuasaan di pemerintahan. Bisa ditelusuri secara seksama, hasrat kuasa yang dilakukan oleh pemilik kuasa (oknum pemerintah dan kapital), memiliki peran yang antagonis, satu sisi menisbikan peran aktif masyarakat kreatif. Di sisi yang lain ingin aman dan selalu berupaya agar dapat keluar dari jeratan regulasi dan demontrasi kaum buruh. Maka muncullah pola tersistemik untuk menguasai, mengatur antara masyarakat kritis dan regulasi pemerintahan. Kecerdikan kaum kapital, sudah terformat secara detail dan rinci. Bagaimana cara kerja lapisan-lapisan yang sudah terorganisir, agar pemain utamanya aman dari jeratan hukum dan incaran masyarakat kritis. Jika lapisan kerja sama dengan oknum penerbit regulasi sedang ada masalah hukum, lapisan paling dekat yang bertanggung jawab. Komitmen “beli putus, dagang sapi”.
Walaupun uraian ini masih sangat jauh dari fakta-fakta terselubung. Namun setidaknya sudah cukup untuk memberikan ilustrasi kejadian. Utamanya bagaiamana oknum pemimpin kuasa pemerintahan yang telah terdesain, masuk perangkap konspirasi kaum kapitalis. Tentunya segala gerak-gerik, produksi regulasi akan berjalan sesuai kontrol dan kepentingan kapitalis. Dengan keadaan seperti ini, seorang pemimpin, yang awalnya idealis, humanis, sadar atau tidak sadar akan terjerumus dan terjebak menjadi banal dan bengis. Semua itu disebabkan karena “libido kuasa”, masih menjadi favorit jalan hidupnya. Maka akan terjebak pada lubang yang sama. Konyol dan absurd.
Hegel: lingkaran kehendal subjektif sebagai bentuk moralitas, dengan cara otonom untuk mempertahankan dari tekanan seluruh dunia luar.
Sementara itu, masyarakat sangat jauh dari medan tersebut, tidak tekoneksi dengan kepentingan itu secara langsung. Bahkan tidak mengetahui jika semua perbuatan itu adalah “pat gulipat”. Masyarakat seperti membeli kucing dalam karung. Tidak dapat mengenali jenis kelamin, warna dan karakternya. Posisi kritis masyarakat dalam menentukan pimpinannya menjadi semakin jauh dari ideal. Tatkala amplop berisikan seratus ribuan, menjadi ancaman permanen agar perutnya tidak lapar. Dari kondisi ini apa yang bisa diharapkan dari pemimpin dan kapital. Untuk membuat kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik. Frustasi, hanya Gusti yang tau. Dan berharap suatu saat diberi hukuman setimpal. (Tancep kayon, Bumiaji, 18 Oktober 2022)
Comments 1