
Tiga Kesadaran Manusia
Oleh: Wawan Susetya – Sastrawan-budayawan dan penulis buku anggota Satupena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung Jatim
MANUSIA memiliki tingkatan-tingkatan mengenai kedewasaan kesadaran spiritual. Dalam pandangan ini setidaknya ada tiga kesadaran manusia, yaitu kesadaran lahiriyah, kesadaran lahir dan batin, dan kesadaran batin. Adapun uraian dan penjelasannya seperti di bawah ini.
Pertama, kesadaran lahiriyah; sebenarnya berjalan secara alamiah seperti yang dialami semasa anak-anak. Pada momentum anak-anak itu sangat diperlukan peran dan bimbingan orang tua kepada mereka. Barangkali kita masih ingat hadits Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa orang tua-lah yang menjadikan mereka (anak-anak) itu Yahudi, Nasrani atau Muslim. Meski belum menyentuh ke wilayah batin (hati: atau tentang hakikat), pelajaran yang sifatnya lahiriyah sangatlah penting diberikan kepada anak-anak. Contohnya shalat yang merupakan pelaksanaan ibadah dalam syariat Islam. Dalam hal ini diharapkan orang tua dapat memberikan tauladan kepada anak-anaknya agar mereka tekun dan istiqomah dalam melaksanakan shalat wajib lima waktu, walaupun si anak belum mengetahui makna yang mendalam (secara hakikat) tentang shalat tersebut. Dengan melaksanakan ibadah shalat secara rutin dan tepat waktu, akhirnya membuahkan hasil yang positif, antara lain disiplin waktu, menghilangkan sifat kemalas-malasan, dan sedikit demi sedikit bisa memahami artinya secara harfiah, dan seterusnya. Keberhasilan membimbing anak-anak dalam melaksanakan shalat lima waktu, lebih dari itu, secara perlahan-lahan dapat mengalahkan atau menundukkan hawa nafsunya. Bukankah waktu shalat itu bertepatan dengan saat-saat kebanyakan manusia merasakan kemalasan untuk melakukannya?! Jadi, berangkat dari lahiriyah—dalam shalat—akhirnya bisa meningkat ke tahapan berikutnya.
Kedua, lahir dan batin; sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan yang pertama (lahiriyah) sebelumnya. Anak-anak yang rajin melakukan sembahyang, lama-kelamaan akhirnya ingin tahu: apa sih arti dan makna bacaan dalam salat itu? Diharapkan timbulnya rasa keingintahuan, sehingga menambah kesadaran ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pikiran dan hatinya melalui pemahaman, penghayatan, dan penjiwaan terhadap makna dan arti bacaan shalat. Pada tahap ini, meski belum sempurna akal, rasa dan hatinya sudah mulai bekerja. Dalam aplikasi bersuci (wudlu), misalnya. Kalau secara lahir masih sebatas melaksanakan wudlu seperti yang diajarkan orang tua atau gurunya saja, kini sudah mulai meningkat: pemahaman, penghayatan, dan penjiwaannya. Kalau dulunya ketika berkumur, membasuh hidung dan wajahnya hanya biasa-biasa tanpa makna, kini sudah mulai merenungkan: berkumur dimaknai agar kalau bicara yang baik-baik bahkan untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an; membasuh hidung untuk membau wewangian saja bukan bau yang kurang sedap hingga merenungkan “membau” surga; membasuh wajah agar melihat yang baik dan maslahat bukan yang maksiat hingga merenungkan wajahnya menjadi putih berseri-seri di akhirat pada saat kebanyakan orang wajahnya hitam-legam karena banyak dosa, dan seterusnya.
Ketika menjalankan ibadah salat, mereka pun juga mulai meningkat ke batiniah. Mengapa ketika berdiri dalam salat entah salat jema’ah atau sendirian, bacaan ayat dalam Surah al-Fatihah ada yang artinya “kami” (maknanya jamak): “Hanya kepadaMu-lah kami menyembah, dan hanya kepadaMu-lah kami mohon pertolongan”? Mengapa ketika sedang rukuk dan sujud, yang posisinya seperti binatang, bacaan yang dibaca adalah tasbih (men-sucikan Allah dengan merendah diri)? Berbeda dengan ketika sedang berdiri dalam shalat yang menunjuk kata jamak, maka ketika sedang rukuk dan sujud mengisyaratkan kata tunggal: aku (ego).
Mereka juga mulai merenungkan mengapa dalam salat dimulai dengan takbiratul ikhram (Allahu Akbar) dan diakhiri dengan bacaan salam: (menoleh ke kanan dan ke kiri)? Akhirnya, lama-kelamaan mereka mengetahui dan menyadari bahwa dalam shalat itu harus membawa suatu kesadaran hanya Allah-lah yang Maha Besar. Dan, kelak mereka pun tahu bahwa salam yang dibaca di akhir salat, maknanya mendoakan kesejahteraan, rahmat dan barokah kepada semua makhluk di alam semesta ini: malaikat, para nabi dan rasul, shidiqien, syuhada, sholihien, muslimin wal muslimat, mukminin wal mukminat, dan jin Islam. Intinya, kalau takbiratul ikhram tadi diarahkan ke hablum minallah (hubungan kepada Allah), sedangkan salam diarahkan ke hablum min annas (hubungan kepada sesama manusia).
Ketiga, tingkatan batiniah; yakni merupakan tingkatan yang tertinggi dalam kesadaran manusia. Secara alamiah, hal itu juga terjadi pada sang pelaku bergantung dari kesungguhan dalam latihan spiritual.
Bilal, mu’adzin di masa Rasulullah Saw, pada suatu hari menyaksikan pacuan kuda: ada tiga kuda yang sedang berlaga. Ketika ditanya oleh temannya, kuda yang manakah yang paling cepat mencapai finish, apa jawaban Bilal? Ternyata Bilal menjawab: “Yang paling cepat yaitu muqarrabbun.” Bilal menjawab yang demikian, lantaran dia teringat dengan tiga golongan di akhirat sebagaimana disebutkan dalam Surah Al Waqi’ah, yakni; 1) muqarrabbun: orang yang paling dahulu beriman; 2) golongan kanan yang kelak masuk surga; dan 3) golongan kiri yang masuk ke neraka.
Tokoh Sufi legendaris Ibrahim bin Adham ketika dimintai tolong oleh salah seorang budak yang baru saja dibebaskannya, yang sedang mabuk, agar diantar pulang ke rumahnya, ternyata malah dibawa ke kuburan. Mengapa budak itu dibawa ke kuburan? Sebab, dalam bayangan Ibrahim bin Adham, pulang ke rumah (masa depan) itu memang ke kuburan.
Sesampai di kuburan, budak itu marah-marah kepada Ibrahim bin Adham, karena tidak diantar pulang tapi malah dibawa ke kuburan, sehingga bogem mentah melayang ke pipi sang kekasih Allah. Uniknya, pada saat Ibrahim bin Adham terkena pukulan, dia malah mengucap “Alhamdulillah.” Begitu berkali-kali, tetapi Ibrahim bin Adham tetap membaca kalimah tahmid. hingga akhirnya budak itu dilerai oleh salah seorang temannya. Akhirnya, budak yang baru dibebaskannya itu, setelah sadar menangis sejadi-jadinya karena mengetahui bahwa yang baru saja dipukuli adalah majikannya sendiri yang telah membebaskan dirinya sebagai budak.
Dan, ketika Ibrahim bin Adham ditanya mengapa ketika dipukuli, ia malah mengucap syukur, dia menjawab: “Bagaimana saya tidak mengucap syukur ketika kamu pukul, padahal Allah akan memasukkan saya ke surga itu lantaran pukulanmu itu?!”. (*)
Selamat Succesful Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN TERUS BERGERAK PESAT Melejit ✒️ Aamin ya rabbal alamin