Meski 10 tahun tak pernah lagi ditemukan kasus PES di Kabupaten Pasuruan, Dinas Kesehatan (Dinkes) tetap menghimbau masyarakat agar tetap waspada akan gejala yang mengarah pada penyakit tersebut.
Kepala Dinkes Kabupaten Pasuruan, dr Ani Latifah melalui Sekretaris, Agus Eko Iswahyudi mengatakan, kasus PES di Kabupaten Pasuruan pernah terjadi di tahun 1987. Total ada 4 kecamatan endemic PES yang tercatat sebagai wilayah dengan tingkat penyebaran paling tinggi. Bahkan case fatality rate (rasio resiko kematian) sampai menembus 87%.
“Dulu tinggi sekali, karena banyak orang yang meninggal dunia akibat PES di Kecamatan Tutur, Tosari, Puspo dan Pasrepan. Jadi di Peta WHO tampak bahwa 4 kecamatan ini penyebarannya tinggi,” kata Agus, saat ditemui di Posko Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Pasuruan, Jumat (26/3/2021).
Dengan tingginya kasus pada 34 tahun lalu, Dinkes Kabupaten Pasuruan langsung melakukan berbagai macam langkah penanganan. Khususnya pemberian tetraciklin, yakni antibiotic yang ampuh membunuh kuman.
Dan kini, setelah WHO menyatakan bahwa Kabupaten Pasuruan sebagai daerah Low List Extreme atau wilayah dengan resiko yang sangat rendah, upaya-upaya pencegahan tak serta merta dihentikan, melainkan tetap intens dilakukan.
Menurut Agus, langkah yang dilakukan meliputi dua pengamatan. Pertama adalah roden surveillance, dimana petugas puskesmas secara intens memasang trap (jebakan) pada 1000 ekor tikus per dusun. Trapping tersebut dilakukan dengan syarat utama, yakni tikus yang terjebak dalam perangkap harus masih dalam keadaan hidup.
“Sehari dilakukan trapping terhadap 1000 tikus. Sistemnya metal life trap, yaitu tikus tidak boleh dijebak dalam kondisi mati, karena harus diproses jumlah pinjal atau kutu yang ada di tukus maupun darah yang mengandung bakteri Yersinia Pestis,” ungkapnya.
Sedangkan pengamatan kedua adalah human surveillance, yakni pengamatan oleh petugas yang dilakukan secara berkala terhadap sejumlah warga yang tinggal di lokasi yang pernah menjadi endemic PES. Dijelaskan Agus, total ada 42 dusun pengamatan yang menjadi sasaran kegiatan selama dua kali dalam satu tahun.
“Kalau dikatakan Bebas PES, itu tidak boleh, tapi penyakit punya masa interval, jadi semuanya tetap waspada, meskipun dengan status resiko sangat rendah, tetap pengamatan kita lakukan sekarang setahun dua kali, untuk human secara
Lebih lanjut Agus menegaskan bahwa pihaknya juga melakukan pengambilan sampel secara rutin, setiap harinya. Tikus-tikus yang berada di wilayah setempat, ditangkap untuk kemudian diuji. Dari pengujian itulah, bisa diketahui ada tidaknya ancaman wabah yang ditularkan itu.
“Evaluasi terus kami lakukan. Hasilnya, Alhamdulillah belum ditemukan kasus pes terulang,” tutupnya. (*)