JAVASATU.COM- Komponis dan pianis Ananda Sukarlan, yang dikenal sebagai tokoh utama Indonesia dalam genre Tembang Puitik, terus menorehkan prestasi dengan menciptakan lebih dari 500 karya berbasis puisi dari berbagai bahasa, termasuk Spanyol, Inggris, dan Indonesia.

Meski menyandang Asperger’s Syndrome, Ananda aktif berkarya dan akan menggelar talkshow serta konser bertema disabilitas dan musik pada 20 Februari mendatang. Acara ini diselenggarakan oleh Rotary Club, di mana Ananda adalah anggota kehormatan.
Dalam wawancara eksklusif dengan Kontributor Lasman Simanjuntak, Ananda membahas peran teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia musik, khususnya genre tembang puitik.
Tembang Puitik dan AI
Menurut Ananda, AI masih belum mampu mendalami proses kreatif tembang puitik, yang berbeda dengan musikalisasi puisi pada umumnya.
“Tembang puitik itu menganalisa metafora dari karya sastra dan melukiskannya lewat musik, bukan hanya memberi irama atau akord seperti dalam musik pop,” jelasnya, Senin (27/1/2025).
Ananda menekankan bahwa musik dan puisi memiliki kesamaan, yaitu sama-sama berusaha melukis hal yang tidak terlihat.
“Musik itu selalu puitis, dan puisi itu selalu musikal. Contohnya adalah karya Sapardi Djoko Damono yang begitu metaforis, seperti ‘subuh ini/ kau menjelma langit/ yang semalaman/ tak memejamkan mata.’ Musiklah yang bisa melukisnya,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah AI mampu memahami kedalaman metafora, Ananda ragu.
“Keindahan dan kedalaman artistik itu bukan untuk dimengerti, tapi untuk dirasakan. AI itu ‘I’-nya Intelligence, bukan Emotion,” tegasnya.
Kelebihan dan Kelemahan AI
Ananda mengkritisi bagaimana manusia menggunakan kecerdasan alamiah mereka.
“Kecerdasan natural kita malah sering digunakan untuk konflik. Lalu kita menciptakan AI, dan menjadi terlihat pintar dengan teknologi itu. Namun, AI juga mengambil alih banyak pekerjaan, hingga membuat kita terlihat semakin bodoh,” katanya sambil bercanda.
Ia menambahkan bahwa AI bisa menjadi ancaman jika tidak digunakan dengan bijak.
“Kita cukup pintar untuk menciptakan AI, tetapi cukup bodoh untuk tidak menyadari apakah kita benar-benar membutuhkannya atau tidak,” tambahnya.
Etika dalam Penggunaan AI
Ketika membahas etika dalam penggunaan AI untuk seni, Ananda menegaskan pentingnya kejujuran.
“Jika menggunakan AI lalu mengklaim karya tersebut sebagai milik kita, itu tidak jujur, tidak etis, dan jauh dari idealisme seni. Itu hasil kerja mesin, bukan karya kita,” ujarnya.
AI dan Musik Klasik
Ananda optimis bahwa AI tidak akan mengancam dunia musik klasik, setidaknya untuk saat ini.
“Musik klasik membutuhkan intuisi artistik, bukan hanya logika. AI tidak bisa menangkap metafora, karena itu adalah ranah rasa, bukan logika. Namun, AI sangat membantu dalam aspek praktis kehidupan seniman,” jelasnya.
Pandangan tentang Masa Depan AI
Ketika ditanya tentang masa depan AI, Ananda memilih untuk tidak berspekulasi.
“Perkembangan AI sangat cepat, bahkan kecerdasannya bisa jauh melampaui manusia. Saya tidak berani menjawab soal masa depan AI,” tutupnya. (Arf)