email: javasatu888@gmail.com
  • Beranda
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • EKONOMI
  • PEMERINTAHAN
  • POLITIK
  • HUKUM
  • OLAHRAGA
  • WISATA & KULINER
  • ESAI
Javasatu.com
Jumat, 31 Oktober 2025
No Result
View All Result
Javasatu.com
No Result
View All Result

Kaleidoskop Kisah Kelam Melalui Puisi Esai Denny JA, Oleh Irfan Amali

by Redaksi Javasatu
29 Desember 2022

Kaleidoskop Kisah Kelam Melalui Puisi Esai

25 Drama Dalam Puisi Esai Denny JA Soal Kerusuhan Primordial di 5 Wilayah Era Reformasi

Oleh: Irfan Amali – Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia

Dengan gaya dan semangat jurnalisme yang menjadikan fakta sebagai dagingnya, Denny JA memotret 25 kisah di lima titik kerusuhan saat era reformasi. Namun fakta-fakta ini tidak berhenti di cerita atau bahkan berita. Denny JA mengajak melihat fakta-fakta ini melampaui sekadar data dan angka. Di sinilah sastra bekerja.

“Tadi teman di sekolah orang apa aja?” Rekan saya bertanya pada putrinya yang baru pulang sekolah. Putrinya baru masuk ke sekolah internasional yang siswanya beragam bangsa. Dengan polos putrinya menjawab, “Ya orang aja seperti saya.”

Sebetulnya bukan jawaban itu yang diharapkan. Rekan saya berharap putrinya bercerita tentang asal kebangsaan teman-temannya. Tapi jawaban polos anaknya itu membuat dia tersadar, kalau anak-anak itu “color blind”.

ADVERTISEMENT

Mereka melihat manusia ya sebagai manusia. Definisi ras, bangsa, tampilan fisik hanya kategorisasi dari imajinasi orang-orang dewasa.

Cerita teman saya itu membawa saya ke masa kecil saya yang indah dan berwarna. Saya tinggal di sebuah pemukiman padat di barat kota Bandung.

Teman-teman kecil saya berasal dari etnis tionghoa, flores, batak, penganut agama Jawa dll. Nama-nama teman saya cukup aneh-aneh untuk telinga orang Sunda, seperti Pushen, Kunche, Chun chun, Tote, Ancis.

BacaJuga :

OPINI: Peran Pengeluaran Negara dalam Optimalisasi Alokasi Sumber Daya pada Sektor Publik

OPINI: Pengawasan dan Akuntabilitas Keuangan Publik

Wajah dan warna kulitnya berbeda-beda. Tapi saat saya kecil saya tak merasa ada yang aneh dan beda. Masa kecil saya color blind.

Saat tumbuh dewasa, mulailah pendidikan dan budaya kita memberi kita kacamata dalam memandang realita. Untung jika kacamatanya jernih.

Tak jarang kita diberi kacamata yang penuh warna bahkan noda. Sehingga kita melihat realita dengan cara yang berbeda. Guru agama saya di SD, tak jarang mendiskreditkan agama selain Islam, padahal di kelas saya ada seorang teman beragama Kristen. Saya sering melihat teman saya itu tertekan dan tak nyaman.

Saya tumbuh menjadi remaja yang penuh ingin tahu. Rasa ingin tahu itu membawa saya bertemu buku-buku tentang kebencian pada agama lain. Gagasan-gagasan ini memberi kacamata yang membuat saya melihat realita dengan penuh prasangka.

Saat saya mahasiswa, peristiwa kerusuhan 98 meletus. Media dan berita mengabarkan beragam kengerian. Imajinasi saya terbang kembali ke masa kecil. Saya ingat Pushen, Kunce, Chun chun. Apa kabar mereka?

Momentum itu jadi titik berangkat saya mulai concern dengan topik perdamaian. Saya bergabung dengan beberapa gerakan tanpa kekerasan, mengikuti workshop dan pertemuan kemah perdamaian. Semakin dalam menyelam, semakin sadar bahwa ada api dalam sekam.

Saat masa Orde Baru, jurnalisme dibungkam. Banyak fakta dan data dikubur dalam-dalam. Sehingga keadaan seolah-olah damai dan tentram. Saat itu sastra menjadi pilihan. Beragam keresahan dituangkan dalam baris-baris puisi dan prosa agar pesannya bisa terkaburkan.

Reformasi membuka keran demokrasi. Jurnalisme yang dibungkam tiba-tiba bisa berteriak keras. Seperti orang kehausan di padang pasir yang menemukan oase, saya membeli beragam majalah dan tabloid untuk mendulang fakta yang sebelumnya tak pernah disajikan seberani itu.

Saat saya membaca buku “Jeritan Setelah Kebebasan” karya Denny JA ini, seolah melihat film yang diputar ulang di benak saya.

Dari judulnya saja saya langsung terbayang bagaimana jeritan yang selama ini dibungkam, menemukan momentum kemerdekaannya. Namun jeritan itu menyadarkan kita tentang kepiluan yang mengerikan namun terlupakan.

Pada karya yang Denny JA sebut sebagai puisi esai ini saya merasakan ada pertemuan antara jurnalisme dan sastra secara padu.

Jika dulu sastra menjadi wadah alternatif saat jurnalisme dibungkam, maka pada karya ini jurnalisme dan sastra bukan sebagai dua hal yang saling menggantikan (substitusi) tapi saling melengkapi (komplementer).

Dengan gaya dan semangat jurnalisme yang menjadikan fakta sebagai dagingnya, Denny JA memotret 25 kisah di lima titik kerusuhan saat era reformasi. Menggunakan mata Denny JA, pembaca diajak untuk melihat beragam fakta.

Namun fakta-fakta ini tidak berhenti di cerita atau bahkan berita. Denny JA mengajak melihat fakta-fakta ini melampaui sekadar data dan angka. Di sinilah sastra bekerja.

Denny JA dengan kepiawaiannya dalam meramu kata menggubah baris-baris puisi, pembaca diajak untuk bertamasya kata. Sehingga fungsi jurnalisme yang bertugas menyampaikan berita dilengkapi oleh puisi yang bertugas mengantarkan rasa dan makna.

Saat membaca membaca “Tangisan Anakku di Mall Itu,” saya langsung related. Cerita Koh Enlai dan dan putrinya, Lian berhasil membuat saya masuk ke dalam ceritanya sekaligus membawa saya pada imajinasi tentang sahabat-sahabat kecil saya.

Bagi Koh Enlai, jumlah kematian itu bukan hanya angka. Karena Lian termasuk yang mati di Mall itu.

Koh Enlai mewakili kepedihan ratusan orang yang kehilangan orang yang dicintai. Baris ini juga sekaligus menjadi kontra-narasi bagi media jurnalistik yang memotret peristiwa sekadar angka-angka dan meniadakan rasa.

Rasa yang dialami Koh Enlai dan ratusan orang yang kehilangan orang yang dicintai.

25 cerita dalam buku ini juga menjadi seperti memoar, kaleidoskop atau mungkin museum. Tak cukup sekali baca. Kita bisa mengunjunginya berulang- ulang dengan pengalaman dan pemaknaan yang beragam.

Itulah bedanya straight news alias berita dengan sastra. Karya sastra akan everlasting melintas zaman. Sehingga peristiwa tidak berhenti jadi fakta dalam kliping-kliping lusuh. Tapi menjadi mutiara-mutiara dalam kaca. Yang dibaca, dijaga, dan memberi makna.

Selain sebagai sebuah karya, buku ini juga sebagai bukti komitmen panjang Pak Denny pada tema perdamaian dan antidiskriminasi.

Saya mengenal sosok Denny JA sebagai insiator gerakan Indonesia tanpa Diskriminasi yang dimotori salah satunya oleh Mas Anick.

Saya bertemu Denny JA ketika diundang Fahd Pahdepie, yang saat itu meluncurkan inspirasi.co yang didukung Denny JA di belakangnya.

Saat peluncurannya, saya masih ingat Luthfi Assyaukanie menyebut aktivitas Pak Denny menulis karya sastra sebagai bukti bahwa Pak Denny punya cukup waktu luang.

Karena sastra adalah produk peradaban, dan peradaban tercipta dari waktu luang. Saat manusia hidup nomaden dan berburu, manusia terus bekerja dengan mode survive. Saat manusia mulai bercocok tanam, maka ada masa-masa menunggu panen.

Saat waktu luang tercipta maka, terciptalah nyanyian, tarian, sastra, desa, kota hingga akhirnya peradaban.

Pun karya-karya yang lahir dari Denny JA, adalah salah satu indikator, bahwa Pak Denny sudah tidak hidup dalam mode survive. Waktu luang memberi ruang untuk berefleksi, mengambil jeda untuk melihat realitas dengan kacamata yang lebih jernih.

Dalam kehidupan dengan tempo yang makin cepat ini, orang sering luput dari realitas apalagi sejarah masa lalu. Sementara Pak Denny, masih sempat merekam, merefleksikan sebuah topik kemanusiaan yang sudah mulai pudar terlupakan.

Sebuah kehormatan saat Mas Anick meminta saya untuk menjadi salah satu orang yang membaca dan memberikan tanggapan terhadap karya Pak Denny ini. Meskipun sempat ragu, mengapa saya diberi kesempatan ini, karena saya bukanlah sastrawan ataupun kritikus sastra.

Tapi saya berpikir mungkin setidaknya saya punya tiga irisan dnegan pak Denny. Pertama karena sama-sama bekerja dan berjuang dalam isu perdamaian. Kedua, sama-sama alumni Amerika, ketiga karena sama-sama suka menulis. Sisanya banyak bedanya, termasuk nasibnya.

Saya ucapkan selamat atas terbitnya karya ini. Semoga menjadi pengingat buat Indonesia yang suka cepat lupa. (Garut, Oktober 2022)


  • Irfan Amali. Penulis buku “Islam Itu Ramah bukan Marah.” Cofounder dan Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia.
  • Buku Kaleidoskop Menolak Lupa (2022) adalah bunga rampai respon 13 pakar dan aktivis yang secara langsung atau tidak terlibat monitoring konflik primordial di 5 wilayah Indonesia pasca Reformasi.
  • Buku ini kumpulan esai merespon buku Puisi Esai Denny JA, Jeritan Setelah Kebebasan (2022).

Buku Kaleidoskop Menolak Lupa dapat dibaca penuh dengan meng-klik tautan ini:
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2108782695976488/?mibextid=S66gvF

Tulisan ini dikirim ke Redaksi oleh: Akaha Taufan Aminudin, Koordinator Penulis Satupena Indonesia, wilayah Jawa Timur.

Bagikan ini:

  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
Tags: Akaha Taufan AminudinIrfan AmaliPeace Generation IndonesiaSatupena

Comments 1

  1. akahataufanaminudin says:
    3 tahun ago

    Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur

    Balas

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

BERITA TERBARU

BRI Region 13 Malang Terima Penghargaan CSR dari Pemkot

Fakta di Balik Tembok Griya Shanta Malang yang Akan Dibongkar, Ada Pagar Besi

ADVERTISEMENT

Rendra Masdrajad Desak Pemprov Jatim Percepat Proyek Drainase Suhat Malang

Polisi Selidiki Dugaan Perusakan Makam di Bantur Malang, Motif Masih Misterius

Menteri ESDM Bahlil Ajak Mahasiswa Muhammadiyah Wujudkan Kemandirian Energi Nasional

Prev Next

POPULER HARI INI

BRI Dorong Pemberdayaan Ekonomi Desa Lewat Program Desa BRILiaN di Pacitan

Semangat Sumpah Pemuda, Hotel Santika Gresik Bersih-bersih Taman Bunder

Menteri ESDM Bahlil Ajak Mahasiswa Muhammadiyah Wujudkan Kemandirian Energi Nasional

OPINI: Peran Pengeluaran Negara dalam Optimalisasi Alokasi Sumber Daya pada Sektor Publik

Diduga Jadi Korban Mafia Tanah, Anak Almarhum Solikin Mengadu ke LIRA Kabupaten Malang

BERITA LAINNYA

Cleyà Beauty Tumbuh Pesat, Claudia Novira Andalkan Strategi Digital Shopee

Indonesia Uji Coba Kapal Selam Otonom, Menhan Sjafrie: Setara Amerika dan Rusia

OPINI: Peran Pengeluaran Negara dalam Optimalisasi Alokasi Sumber Daya pada Sektor Publik

LAKSI Acungi Jempol Kinerja Dirnarkoba Bareskrim Polri, Ungkap 38.943 Kasus Narkoba

NU Clear Tawarkan Solusi Aman Jaga Kebersihan Makanan Program MBG

Prev Next

BERITA KHUSUS

DPRD Kabupaten Malang dan Bupati Sanusi Sepakat Perkuat Tata Kelola Daerah

RSUD Gresik Sehati Resmi Dibuka, Percepat Akses Layanan Kesehatan di Gresik Selatan

Prev Next

POPULER MINGGU INI

Pesona Rasa dan Budaya Nusantara Gresik 2025, Dorong UMKM Lokal Naik Kelas

OPINI: Maraknya Verbal Suku Kata “Cuk” di Kalangan Pelajar

BRI Dorong Pemberdayaan Ekonomi Desa Lewat Program Desa BRILiaN di Pacitan

Akademisi Soroti Gantangan Malang Satu Titik Mangkrak: “Potensi Besar, Tata Kelola Lemah”

Desa Talunombo Wonosobo Jadi Destinasi Eduwisata Unggulan, Diminati Sekolah dari Jakarta

  • Tentang Javasatu
  • Redaksi
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Siber
  • Kode Perilaku Perusahaan
  • Perlindungan Wartawan

© 2025 Javasatu. All Right Reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

  • Beranda
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • EKONOMI
  • PEMERINTAHAN
  • POLITIK
  • HUKUM
  • OLAHRAGA
  • WISATA & KULINER
  • ESAI

© 2025 Javasatu. All Right Reserved