JAVASATU.COM-BATU- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Batu mengalami kesulitan dalam menindak warga yang melakukan praktik politik uang karena mereka tidak terdaftar dalam tim kampanye partai politik yang telah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal ini disampaikan Koordinator Divisi Hukum dan Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu kota Batu Eka Chakid Farobi pada acara rapat evaluasi pengawasan partisipatif pemilu yang digelar pada Rabu, (24/4/2024) di Lembah Resort kota Batu.
Ia beralasan berdasarkan UU Pemilu tahun 2017, pasal 520, yang dapat terjerat pidana pemilu politik adalah mereka yang terdaftar pada tim kampanye yang didaftarkan oleh peserta pemilu ke KPU, kalau warga biasa tidak ada dasar hukumnya.
“Salah satu upaya untuk mencegah politik uang adalah dengan memberikan pendidikan politik dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan berikutnya menggalakkan kampung awas atau desa anti politik uang,” jelasnya.
Yang terpenting, lanjut dia, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya politik uang dan betapa merugikannya bagi demokrasi. Untuk mencegah Ia sudah melakukan pendirian ‘kampung anti politik uang’ sebagai langkah preventif dalam mengatasi praktik korupsi politik ini.
Yogi juga menyampaikan bahwa telah ada 10 desa yang menyatakan diri sebagai ‘kampung awas’ atau desa anti politik uang. Desa-desa seperti Pendem, Giripurno, Kelurahan Ngaglik, Dadaprejo, Tulungrejo, Mojorejo, Junrejo , Songgokerto terlibat aktif dalam memperjuangkan kesadaran politik dan mengambil langkah konkret untuk menolak politik uang dalam lingkungan mereka.
Sedang Bambang Wahyu Widodo Peserta rapat yang juga merupakan anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Malang, mengungkapkan kesulitan dalam menangkap pelaku politik uang di Kota Batu. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh lemahnya regulasi yang tidak mencakup pelaku politik uang di luar tim kampanye yang terdaftar resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bambang mengatakan bahwa pelaku politik uang seringkali bukan berasal dari tim sukses resmi, melainkan orang-orang biasa.
Dalam konteks hukum, kata Bambang, jika pelaku politik uang berasal dari tim sukses atau peserta pemilu yang melakukan tindak pidana, mereka dapat dituntut secara hukum.
“Namun, bagi mereka yang bukan bagian dari tim sukses, seperti warga biasa, mereka cenderung luput dari jerat hukum. Hal ini menyebabkan regulasi yang ada perlu direvisi untuk mencakup semua pelaku politik uang, tidak hanya yang tergabung dalam tim resmi,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, kelemahan dalam regulasi saat ini telah memberikan celah bagi pelaku politik uang untuk beroperasi dengan relatif bebas. Dengan tidak termasuknya orang-orang biasa yang melakukan praktik politik uang dari pengawasan hukum, hal ini membuat upaya penindakan terhadap mereka menjadi sulit dilakukan.
Bambang menekankan pentingnya revisi regulasi untuk menutup celah tersebut dan memberikan perlindungan hukum yang sama bagi semua pelaku politik uang.
“Perlu adanya pemikiran kritis dalam merevisi regulasi terkait politik uang ini. Menyelaraskan definisi pelaku politik uang agar tidak hanya terbatas pada tim sukses resmi, tetapi juga termasuk orang-orang biasa yang terlibat dalam praktik tersebut. Hanya dengan demikian, penindakan terhadap politik uang dapat dilakukan secara menyeluruh,” tambah Bambang. (Yon/Arf)