JAVASATU.COM- Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) melayangkan kritik tajam terhadap keputusan pemerintah Indonesia yang berencana mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia. PB HMI menilai kebijakan ini berpotensi menjadi bagian dari skenario depopulasi struktural yang selama ini menjadi instrumen kolonialisme modern Israel di Palestina.

“Langkah evakuasi yang tidak disertai dengan jaminan hak kembali (right of return) justru memperkuat proses silent annexation oleh Israel,” tegas Rizqie Mustofa, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hubungan Internasional PB HMI dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi media ini pada Kamis (24/4/2025).
Ia menekankan, kebijakan tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik global yang sarat dengan agenda kekuatan besar.
Mengutip teori geopolitik klasik Mackinder dan Spykman, Rizqie menjelaskan bahwa Gaza adalah wilayah strategis yang memainkan peran vital dalam menjaga integritas politik dunia Arab.
“Mengevakuasi rakyat Palestina tanpa roadmap politik hanya akan mempercepat pengosongan wilayah dan memperlemah posisi Palestina dalam percaturan internasional,” ujarnya.
PB HMI juga menyoroti fakta bahwa proposal evakuasi diumumkan pada 9 April 2025, bertepatan dengan persiapan kunjungan Presiden Prabowo ke Turki dan Timur Tengah. Namun, Turki secara tegas menolak usulan itu, dengan alasan bahwa prioritas utama seharusnya adalah menghentikan agresi Israel, bukan mengosongkan Gaza dari penduduknya.
“Penolakan Turki menjadi sinyal bahwa negara-negara kawasan sadar betul akan risiko jangka panjang dari normalisasi evakuasi sebagai solusi semu,” kata Rizqie.
Kritik PB HMI semakin tajam ketika menyoroti konteks tekanan ekonomi dari Amerika Serikat yang baru saja memberlakukan tarif balasan sebesar 32% terhadap Indonesia.
“Keputusan luar negeri kita tidak terjadi di ruang hampa. Ada kemungkinan evakuasi ini adalah manuver simbolik yang justru mengakomodasi kepentingan kekuatan besar,” tambahnya.
Rizqie juga mempertanyakan efektivitas anggaran untuk evakuasi, yang mencakup pembangunan infrastruktur kesehatan, pendidikan, dan logistik bagi pengungsi di Indonesia.
Ia menyarankan agar dana tersebut dialihkan untuk membangun kembali infrastruktur dasar di Gaza yang kini hancur lebih dari 70 persen akibat agresi militer.
“Lebih strategis jika resources kita digunakan untuk memperkuat ketahanan Palestina, bukan menciptakan kondisi diaspora yang dilegalkan,” katanya.
Dalam pernyataannya, Rizqie mengingatkan bahwa Indonesia selama ini dihormati dunia Islam dan negara-negara Global South karena komitmennya terhadap prinsip anti-kolonialisme. Namun, langkah evakuasi tanpa kerangka diplomasi yang jelas bisa menggerus kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin moral dalam isu Palestina.
“Ini bukan soal menyelamatkan tubuh semata, tapi soal mempertahankan tanah air sebagai simbol eksistensi bangsa Palestina,” tegasnya.
PB HMI menyerukan agar pemerintah mengubah haluan kebijakan dari pendekatan karitatif menjadi diplomasi substantif yang menuntut penghentian pendudukan, pemulihan kedaulatan, dan penegasan hak kembali rakyat Palestina.
“Indonesia harus menjadi bagian dari solusi keadilan global, bukan pion dalam skenario humanisme kosong yang justru memperkuat status quo kolonialisme,” pungkas Rizqie. (Saf)