
Jejak Kuno Suporter Pertandingan: Gambaran pada Relief Arjunawuwaha di Candi Surowono
Oleh: M. Dwi Cahyono – Sejarawan/ Dosen Universitas Negeri Malang (UM)
Yo ayo kita saling berangkulan
Yo ayo kita saling berdekapan
Bola dari dulu kegembiraan
Menang kalah bukan hasil akhir
Marilah nikmati dengan cinta
Bergandeng tangan
Yo ayo kita saling menjaga
Yo ayo kita semua bersaudara
Untuk apa saling bermusuhan
Untuk apa saling pendendam
Keringat darah dan air mata
Doa-doa sudah dipanjatkan
Sepak bola milik kita
Bukan untuk menyakiti
Kekerasan jangan ada di sini,
di sini, di sini
Yo ayo kita jaga perdamaian perdamaian
Yo ayo kita cinta perdamaian
Yo ayo kita raih prestasi
Yo ayo untuk kita di sini
(Lirik lagu “Suporter”, Iwan Fals)
Komponen Suporter dalam Pertandingan
Salah satu kelengkapan di peristiwa pertandingan adalah komponen “suproten”. Sesuai dengan sebut- annya, yaitu “suporter”, pelakunya adalah seorang atau sekumpulan orang yang memberi dukungan, sokongan, dan sebagainya (dalam pertandingan dan sebagainya) (KBBI, 2002). Dukungan diberikan kepada seseorang suatu regu (sekelompok orang) yang ada di pihaknya. Dengan dukungan tersebut, orang/regu yang didukungnya memperoleh spirit (dorongan) untuk mendapatkan kemenangan ketika berada di ajang tanding. Dalam pertandingan olah raga, kini supotter menjadi komponen penting untuk bisa meraih kemenangan dalam bertanding. Bahkan, ada pengorganisasian secara sistematis terhadap para suporter pertandingan. Di dalam suatu pertandingan, yang berlaga seru bukan hanya antar pemain (pelaku utama pertandingan), namun tidak kalah kalahserunya adalah pertarungan supor antar suporter pada suatu laga tanding.
Kini, suporter tak hanya hadir pada pertandingan olah raga, namun juga pada beragam petandingan lain, tak terkecuali pertandingan politik. Fenomena itu tak terkecuali hadir ketika berlasung debat antar kandidat presiden di Pilpres Indonesia tahun 2024, baik debat antar Capres ataupun Cawapres putaran I dan II. Para suporter masing-masing kandidat turut dibawa hadir di areal debat yang dilangsungkan di JCC (Jakarta Cinvention Center). Bahkan, ada yang bertindak sebagai semacam cheerleader (pemandu sorak). Fenomena cheerleading adalah kegiatan dimana para peserta bersorak untuk timnya sebagai bentuk penyemangat. Mulai dari meneriakkan slogan hingga aktivitas fisik yang intens. yang sengaja dilakukan untuk “memotivasi” tim olahraga, untuk menghibur penonton, atau untuk memperoleh kemenangan dalam kompetisi, dalam hal ini adalah kompetisi politik.
Jejak Kuno Keberadaan Suproten Pertandingan
Ternyata, fenomena kesuporteran telah ada sejak amat lama. Bahkan, ada relief candi yang menggambarannya, yaitu relief cerita “Arjunawuwaha” yang dipahatkan di kaki candi Surowono dari era Majapahit. Pada panil panjang sisi utara, yang terdiri atas tiga adegan (scene), tepatnya adegan di tengah, digambarkan pertarungan antar pertapa Arjuna melawan sang pemburu, yang keduanya berselisih klaim mengenai panah siapa yang tepat mengenai jantung babi hutan (sebagai bentuk jelmaan Patih Mamangmukha). Berebut klaim antar keduanya memucu terjadinya tarung fisik (perkelahian) yang seru.
Dalam pertarungan sengit yang berlangsung lama itu, sempat tangan Arjuna berhasil menyambar kaki sang pemburu (sebagai bentuk jelmaan dari Dewa Siwa). Demikian semangatnya, kedua tangan sang Arjuna memegang erat kedua ruas kali bawah dari sang Pemburu untuk diangkat keatas dan hendak membangingnya, yang dalam laga gulat diistilah dengan “takedown”, yakni teknik yang membuat lawan tidak seimbang dan menjatuhkan mereka ke tanah dengan penyerang mendarat di atas. Pada teknik sabetan (ontowacino) pada pertunjukan wayang kulit Jawa, teknik kelahi demikian dinamai dengan “dikeplekake”. Adegan pertarungan tersebut disaksikan dan direspon aktif oleh dua orang Punokawan (pengiring ksatria) dari Arjuna.
Ketika tuan nya (Arjuna) berhasil menyambar kaki sang pemburu dan hendak membangingnya ke tanah, sontak kedua Punowan tersebut berteriak dan melakukan gerakan kesuporteran untuk menyemangati Arjuna agar memperoleh kemenangan dalam bertanding. Bahkan, Punokawan yang berada di deret muka mengarahkan tangan kanannya lurus ke depan. Sampai-sampai Punakawan di daerah belakang mengangkat lurus tangan kanannya ke arah atas. Tubuh kedua dibungkukkan ke depan, laiknya gestur para suporter. Punokawan dalam adegan ini bertindak sebagai “suporter” terdapat sang pelaku tanding yang berada di pihaknya, yaitu Arjuna, yang tiada lain adalah tuan (ndoro)-nya.
Ekspresi Psikologi pada Gestur Suporter
Suporter melakukan gerakan-gerakan tertentu ketika mensoiriti (menyemangati) pelaku tanding yang didukungnya. Gesturnya merupakan ekspresi psikologis, yang acap timbul secara spontan manakala pemain yang didukungnya berada dalam posisi lebih dibanding lawannya. Namun, ada pula gerakan para suporter berlangsung dengan komando dari leader suporter (semacam pemandu sorak). Apa yang dilakukan oleh kedua Punokawan pada relief Arjunawuwaha itu lebih terlihat sebagai gerakan spontan dan ekspresif, bukan lantaran komando dari cheerleader atau pimpinan para suporter. Siapa yang tak tergerak hati mengekspresikan suka citanya ketika orang atau regu yang didukungnya nyaris memperoleh kemenangan.
Tulisan ini menggambarkan bahwa kesuporteran telah hadir lintas masa tak terkecuali dalam kesejarahan Jawa ketika Masa Hindu-Buddha. Relief cerita “Arjunawuwaha” di Candi Surowono pada Desa Canggu Kecamatan Pare Kabupaten Kediri menyimpan bukti tentang itu. Kesupoteran dari dua Punokawan sang Arjuna itu adalah suprort dalam perang tanding, bulan tanding politik seperti pada jelang Pilpres ketika berlangsung “Acara Debat” di JCC periode I dan Kedua, dimana Gibran Rakabuming Raka bertindak sebagai semacam “pemandu sorak” bagi Capres Prabowo Subianto pada Debat Periode I ataupun untuk dirinya sendiri pada Debad Periode II.
Kendati konteks kesuporterannya beda, numun cukup memberi gambaran bahwa fenomena suporter hadir lintas masa dan di dalam beragam kompetisi. Tak terkecuali dalam kompetisi politik. Antar suporter boleh adu suport, saling ngompori dan ngipasi jagoannya, namun suhu panasnya tak sampai menjelma jadi keributan. Salam “damai”. (*)