Malang Tahu Campur, “Noto Kota Iki Diatur opo Diawur?”
Oleh: Ar. Haris Wibisono/ Nino – Arsitek
Hari Minggu (10/12/2023), sedang viral di kota Malang unggahan foto taman median jalan dengan jumbo teks yang menarik perhatian karena tulisan Kayutangan dianggap sama mirip dengan jenis huruf Kayungyun. Lho kok bisa? begitulah judul tersebut menjadi diskusi yang berkembang diantara arek-arek yang peduli pembangunan kota.
Tulisan tersebut berlokasi di Perempatan Jalan Kayutangan Semeru. Mengapa jumbo teks penanda jalan di kota Malang semakin banyak dan mencemaskan, menurut insan kreatif kota Malang. Diantara proses malang akan dibawa menjadi kota kreatif skala dunia, namun kenyataan menunjukkan keresahan kreatifitas pada penanda jalan dan ruang kota. Elemen visual kota yang dibangun semakin mengkhawatirkan menjadi tanda krisis identitas kota Malang.
Awal kehadiran elemen visual berupa tekstual dengan ukuran jumbo pada ruang publik, maksud awalnya adalah sebagai penanda (sign/markah) branding atau marketing kota. Sejak tahun 1923 publik mulai mengenal dibangunnya tulisan “Hollywood” di USA, kemudian di tahun 2004 mengenal “i am Amsterdam” di Belanda. Bayangkan rentang waktu dari 1923 sudah dimulai adanya giant letter di ruang publik, sedangkan di Malang baru tahun 2023 semakin ramai-ramainya jumbo teks. Ketinggalan berapa tahun kota kita?
Karena populer akhirnya menjadi semacam virus, yang meracuni kota kota di Indonesia, di Kota Malang karena jumlahnya yang sangat banyak, menandai tidak hanya untuk lingkup skala kota, tapi hampir di setiap jalan poros kota atau taman kota.
Awalnya sebagai informasi ruang kota, tetapi apakah meaningfull, monumental, dan attractive? Namun karena jumlahnya terlalu banyak dan dengan bentuk tulisan yang semakin kelihatan bingung kehabisan ide dalam mem-bentuk huruf-hurufnya.
Pada puncaknya adalah tulisan “KAYUTANGAN” dibandingkan dengan tulisan “KAYUNGYUN” yang sangat populer bagi generasi mie instan. Mungkin juga tulisan tersebut dipesan di tukang letter yang sama di sekitar jagalan misalnya, menjadi keputusan desain yang sangat umum, wis ngene ae rek. Tanpa ada pendekatan differensiasi desain yang spesifik.
Membangun kota identik dengan mengatur, tujuan mengatur jadi lebih baik bukan malah ngelantur dan ngawur. Sejarah terbentuk terbangunnya suatu kota memiliki identitas, sejarah, budaya, tematik langgam dan gaya desain.
Arek malang menyebut gaya dandanan yang keren itu “mbois” atau “lites” dari kata “style” yang diwalik atau basa kiwalan. Dan sebaliknya dandanan yang asal-asalan disebut ajur atau ngawur.
Kehilangan ingatan memori sejarah kota, tema desain jadi kabur. Manusia kehilangan memori ingatannya disebut gila, begitupun juga dengan kota bisa berkesan miring. Menjadikan “malioboro” untuk ditiru itu suatu kecerobohan, Malang tidak bisa lebih unggul jikalau semangatnya imitasi tiruan.
Katanya kota kreatif? Odis opo nggak iki dadi kota kreatif? Tambah mrene kok tambah mrono. Kawasan heritage kolonial belanda kok dipasang lampu malioboro?
Arsitektur indische belanda kok dipasangi box telepon gaya inggris?
Mengingat sejarah kayutangan dilaluinya jalur kereta trem, kok dipasangi loko Lori?
Jam di tengah bunderan taman jalan bersejarah penanda tempat dan waktu, kok diganggu dengan lampu warna tahu campur?
Arek-arek menyebut kayutangan heritage menjadi kayungyun heritage, karena bentuk huruf yang menjadi penanda (sign) kawasan di perempatan Rajabali, sama jenis fontnya.
“Rasa” desain itu tidak bisa dibohongi, terasa di nurani ruh yang jujur merasakan tema sebagai pendekatan metode desain. Sense of space, Spirit of place, Site specific mempengaruhi kualitas citra kota (image of the city), berkesan positif atau sebaliknya.
Hanyalah pemahaman ilmu desain yang bisa merasakan kepekaan detail seni dan desain. Secara ilmiah, Al ilmu qoblal qoul wal amal, pentingnya ilmu sebelum berbicara dan bertindak menurut Imam Al Bukhari, menjadi semakin jauh dari kenyataan.
Menurut falsafah jawa, Tunggal ilmu – podho guru – iso beda laku, opomaneh lek beda tanpa ilmu.
Perlu kiranya evaluasi terhadap jumbo teks (giant letter) yang sudah terlalu banyak dan membosankan. Apakah sebegitu rendahnya kemampuan literasi masyarakat kita, sehingga untuk mengetahui dan memaknai suatu tempat pada ruang-ruang kota harus dipaksa membaca tulisan ukuran besar?
Jangan-jangan ini suatu pertanda bahwa pudarnya identitas kota dan suatu tempat sehingga harus digantikan dengan tulisan ukuran besar supaya tidak kehilangan orientasi posisi berpijak, kita berdiri dimana? Mulai lupa dengan jatidiri kota? Gamang dan bimbang menjadi ciri generasi latah.
Di sisi lain kebiasaan update status di media sosial dengan mengunggah foto diri (selfie) telah mempengaruhi pola pikir desain ruang kota kita. Dahsyatnya selfie…. hmmm… Iya selfie, kenapa banyak yang suka sama si selfie? Asal jangan sampai selfie akut menuju kronis ya, karena akan mengganggu mental menurut para psikolog. Tetapi foto selfie menjadi dasar titik berangkat proses desain ruang kota ini mengkhawatirkan.
Dalam desain kota, sign merupakan bagian penting yang termasuk dalam dimensi visual kota. Yang akan mempengaruhi pandangan visual kota. Sign dalam ruang kota dapat dikategorikan sebagai townscape atau cityscape, yang merupakan hasil dari irama bangunan-bangunan dan material material urban dan episode jalan yang membentuk cerita dan memori dramatis. Lalu kenapa Kota Malang, tema ruang kotanya menjadi campur aduk seperti sekarang?. (*)