Meragukan Pikiran 2
Oleh: Tri Handoyo – Novelis dan Pengurus Satupena Jawa Timur, Indonesia
Jadi tergoda untuk melanjutkan topik meragukan pikiran. Kenapa pikiran pun pada akhirnya diragukan? Sebab tidak ada jaminan bahwa hasil dari pikiran itu pasti benar.
Pikiran pun bisa bias, ambigu, nisbi dan bahkan sesat. Namun demikian, yang bertugas untuk meragukan dan kemudian meluruskan itu juga pikiran, tapi disebut akal budi.
Dahulu kala, seorang anak yang bapaknya hanya musisi jalanan, yang bernama Galileo, pernah meruntuhkan hukum Aristotel. Aristotel yang disebut Sang Guru Utama, yang hukum-hukumnya menjadi dogma kaum agamawan selama ratusan tahun, tiba-tiba dijungkir-balikan oleh anak seorang pengamen bandel itu.
Galileo berani mendakwahkan bahwa bumi bukan pusat tata surya, bumi beredar mengelilingi matahari, serta bentuk bumi bukan datar, melainkan bulat.
Salah satu hukum Aristotel yang menyatakan bahwa jika dua benda dijatuhkan pada ketinggian yang sama, maka benda yang lebih berat akan menyentuh bumi lebih dulu. Itu seperti sesuatu yang pasti benar meskipun tanpa ada pembuktian.
Galileo meragukan itu, dan melakukan eksperimen di depan publik. Ia berhasil membuktikan bahwa hukum Aristotel keliru. Dua logam berbeda bobot yang dijatuhkan dari ketinggian yang sama ternyata menyentuh bumi secara bersamaan.
Pihak agamawan geram. Mereka menuduh Galileo telah meruntuhkan wibawa gereja, sehingga memutuskan menghukum penjara rumah. Sampai akhir hayat ilmuwan jujur itu.
Kembali ke laptop, yang ingin saya sampaikan adalah mengenai hal meragukan pikiran. Hukum Aristotel niscaya akan tetap menjadi dogma seandainya tidak ada orang seperti Galileo yang meragukan pikiran. Sekalipun itu sudah mapan dan bercokol kuat menjadi keyakinan, yang sialnya dikaitkan lagi dengankeimanan, ternyata keliru.
Itu menjadi awal the dark age. Tetapi kaum cendikiawan tidak menyerah, hingga akhirnya kebenaran akal yang menang. Gelombang kesadaran baru melanda Eropa. Kegelapan sirna, lahirlah renaisans, illumination, aufklarung, yang mengawali abad pencerahan.
Di dalam filsafat Jawa, ‘mulat sarira hangrasa wani’, yakni untuk introspeksi, melihat ke dalam diri sendiri, itu bukan sekedar melihat. Tapi dibutuhkan upaya sungguh-sungguh, dan untuk sungguh-sungguh dibutuhkan keberanian.
Berani tidak ketika melihat ke dalam diri dengan kesungguhan hati, ternyata menemukan banyak kerak, keyakinan yang karatan, atau kepercayaan yang salah kaprah. Kemudian berani tidak utk membongkar, membenahi atau merenovasinya. Karena hanya dengan itulah maka introspeksi baru membuahkan hasil yang positif.
Copernicus tidak seberani Galileo. Maka ketika dia diminta untuk mencabut pernyataan-pernyataannya, ia penuhi, demi mendapat pengampunan.
Sementara Galileo yang bandel, yang dicap melawan tuhan, menjadi tumbal bagi Abad Pencerahan.
Semangat Sepanjang Masa Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur