Nilai Hakiki
Oleh: Tri Handoyo – Humas Paguyuban Penulis Satupena Jawa Timur
Nilai hakiki manusia bukan terletak pada soal seberapa jauh tangan dan kaki melalang buana, bukan juga tentang seberapa banyak telinga dan mata mengembara mengarungi dunia, melainkan soal hati dan pikiran, yang dituangkan dalam sebuah karya tulis.
Ya benar. Jejak manusia akan dikenang lantaran segala keyakinan, cita-cita dan mimpinya terekam dalam wujud sebuah karya tulis. Dengan karyanya itu sang penulis bakal menjelma menjadi sosok abadi dan transeden, bukan sekedar seonggok tulang dan daging yang diberi nama atau gelar. Karya tulis itulah nilai hakiki seorang manusia.
Baru-baru ini, buku karya Slamet Hendro Kusumo yang diberi judul ‘Mulat Sarira, Otokritik Manusia’, diluncurkan. Ini semakin menegaskan bahwa beliau merupakan seorang intelektual. Bukunya, yang tidak hanya fisiknya yang berbobot karena cukup tebal, tapi isinya jauh lebih berbobot, dan menjadi sebuah rekam jejak tersendiri.
Membaca sebuah buku sama dengan mencoba menelusuri dan menggali sebuah rekam jejak panjang sang penulisnya. Pengalaman hidup yang tertuang bagaikan mutiara yang tak ternilai, yang diangkat dari dasar samudera dan disajikan agar bisa memberi manfaat kepada sebanyak-banyaknya umat manusia.
Berselancar dalam kumpulan esai catatan sosial budaya, yang terangkai dalam buku Mulat Sarira, cukup mencerahkan dan memperkaya wawasan. Buku yang disusun dalam rentang masa tujuh bulan dan bergandengan erat dengan hadirnya pandemi covid 19, setidaknya memberikan gambaran bagaimana pandangan si penulis mengenai permasalahan yang timbul di tengah masyarakat. Yang paling menarik, buku yang ditulis berdasarkan pengalaman empiris serta studi literatur Pak Slamet ini menyoroti problem sosial manusia kontemporer menggunakan pisau bedah filosofi Jawa.
Secara pribadi saya meyakini adanya hubungan erat antara isi buku ini dengan cara penulis menghayati budaya Jawa, sebagaimana ungkapan filosofi yang dijadikan judul buku tersebut.
Mulat sarira adalah pelajaran sekaligus teladan dari Ke Ageng Suryomentaram, salah seorang pangeran putera dari Sultan Hamengku Buwana VII. Beliau memilih jalan hidup sebagai pertapa, yang mengajarkan tentang pencapaian hidup tentram, sejahtera dan bahagia, yakni dalam rangka mewujudkan terpenuhinya kebutuhan jasmani dan ruhani yang seimbang, selaras, serasi, harmoni, terpadu dan utuh.
Kumpulan esai setebal lima ratus halaman lebih karya Slamet Hendro Kusumo ini mengangkat filosofi Jawa yang lengkapnya berbunyi “Mulat sarira hangrasa wani. Rumangsa melu handarbeni. Wajib melu hangrungkebi.” Dalam pandangan beliau, ini merupakan konsep yang sangat berguna untuk mengatasi segala kemelut yang terjadi di masyarakat dewasa ini.
Pembaca dijamin akan mengembara di dunia gagasan, menerobos segala batas aliran pemikiran dan mendobrak berbagai paradigma, dalam rangka agar dipertemukan dalam kebenaran. Rasanya menarik jika karya berisi mengenai kritik terhadap manusia tersebut dibedah melalui forum-forum diskusi, dengan harapan bisa menggali lebih dalam dan membuka semakin lebar ruang bagi kita untuk lebih berani melihat ke dalam diri, sebagai solusi atas kerumitan hidup.
‘Mulat Sarira’, di dalam filsafat Jawa, bermakna introspeksi, melihat ke dalam diri sendiri. Bukan sekedar melihat. Melainkan dibutuhkan upaya sungguh-sungguh, dan untuk itu dibutuhkan keberanian. Berani tidak ketika melihat ke dalam diri dengan kesungguhan hati, ternyata menemukan banyak kerak, keyakinan yang telah karatan atau pemahaman yang salah kaprah. Untuk selanjutnya berani mengakui segala kekurangan, berani membongkar, membenahi dan merenovasi mindsetnya. Karena hanya dengan introspeksi yang beranilah baru bisa diharapkan adanya hasil positif.
Buku tersebut mampu hadir mengatasi ketidakseimbangan informasi dunia maya yang kini nyaris memporak-porandakan tatanan. Dunia yang menjerumuskan masyarakat untuk lebih suka menghabiskan waktu membahas hal-hal yang tidak substansial, yang hanya berdasarkan opini bias, tapi dibahas berlarut-larut tanpa solusi jelas.
Kehadiran buku ini menjadi alternatif untuk mengisi ruang kosong manusia modern agar tidak semakin tergerus oleh kebrutalan media sosial, serta memandu masyarakat mengenali diri sendiri, untuk kemudian mengembangkan potensi demi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak ada kebutaan yang paling menyedihkan selain kebutaan nurani. Orang tidak menyadari bahwa dari kebutaan itu lahirlah berbagai kejahatan, pelacuran, pencurian, politisi korup dari semua politisi yang terkorup, dan pejabat jahat yang pikirannya hanya fokus menguras kekayaan negara.
Dalam karyanya ini kita melihat betapa kaya referensi yang mengemuka, kadar intelektual dan literasi yang kuat, namun disertai kedewasaan dan kematangan emosi yang tinggi. Perpaduan yang sangat jarang dimiliki oleh mayoritas cendekiawan Nusantara.
Slamet Hendro Kusumo, adalah seorang pelukis, penulis dan aktifis sosial yang lumayan langkah, karena keteguhannya dalam menjaga etika dan moral di tengah situasi politik yang tidak sedikit meruntuhkan banyak kaum idealisme.
Selamat atas terbitnya buku ‘Mulat Sarira, Otokritik Manusia’, Pak Slamet. Sukses selalu buat panjenengan. (*)
Selamat Succesful Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesful Sedulurku