
OPINI
Kebijakan Fiskal dan Tantangan Ketepatan Sasaran Bantuan Sosial
Oleh: Rohmah Nur H – Mahasiswa Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
Pembangunan berkelanjutan dan inklusif menuntut kehadiran negara secara aktif dalam menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan. Dalam kerangka tersebut, kebijakan fiskal memegang peran strategis sebagai instrumen utama pemerintah dalam mengelola pendapatan dan belanja negara untuk mencapai tujuan keadilan sosial.
Salah satu wujud nyata kebijakan fiskal yang berorientasi pada inklusivitas adalah belanja perlindungan sosial, terutama bantuan sosial (bansos). Di Indonesia, komitmen terhadap pembangunan inklusif tercermin dari besarnya alokasi anggaran bansos setiap tahun. Bantuan sosial diposisikan sebagai alat untuk menekan angka kemiskinan, mengurangi ketimpangan, serta menjaga daya beli masyarakat di tengah berbagai tekanan ekonomi.
Secara normatif, kebijakan tersebut sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menekankan keadilan sosial dan keberlanjutan kesejahteraan. Namun, di balik besarnya alokasi anggaran, persoalan mendasar masih mengemuka, yakni ketepatan sasaran penerima bantuan sosial.
Berbagai laporan media nasional menunjukkan bahwa data penerima bansos belum sepenuhnya mencerminkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lapangan. Ketidakpaduan data antarinstansi, keterlambatan pembaruan, hingga lemahnya verifikasi menyebabkan bantuan tidak sepenuhnya menjangkau kelompok yang paling membutuhkan. Akibatnya, masyarakat rentan berpotensi terlewat, sementara mereka yang kondisi ekonominya sudah membaik masih tercatat sebagai penerima.
Situasi tersebut mendorong Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN). Kebijakan ini bertujuan menyatukan basis data sosial dan ekonomi sebagai rujukan utama penyaluran bansos dan subsidi. Terbitnya Inpres DTSEN menegaskan bahwa persoalan ketepatan sasaran bansos merupakan isu serius dalam implementasi kebijakan fiskal yang berorientasi pada pembangunan inklusif.
Kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditentukan oleh besarnya anggaran yang dialokasikan, tetapi juga oleh efektivitas dan ketepatan pelaksanaannya. Dalam konteks bantuan sosial, keberhasilan kebijakan sangat bergantung pada keakuratan data penerima manfaat. Tanpa data yang valid dan mutakhir, tujuan perlindungan sosial sulit tercapai secara optimal.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketidaktepatan sasaran bansos masih menjadi persoalan nyata. Menteri Sosial Saifullah Yusuf, dalam rapat kerja bersama DPR yang diberitakan media nasional, mengungkapkan bahwa sekitar 45 persen penerima bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sembako masih tidak tepat sasaran. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa persoalan bansos bukan sekadar persepsi publik, melainkan diakui secara resmi oleh pemerintah.
Kondisi ini berdampak langsung pada efektivitas kebijakan fiskal. Masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas perlindungan sosial tidak sepenuhnya merasakan manfaat kebijakan, sementara sebagian penerima lainnya sudah tidak lagi berada dalam kondisi ekonomi yang membutuhkan bantuan. Dalam jangka panjang, situasi ini berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal sebagai instrumen keadilan sosial.
Penerbitan Inpres DTSEN merupakan langkah penting untuk memperbaiki fondasi kebijakan fiskal berbasis data. Penyatuan data sosial dan ekonomi nasional diharapkan mampu meningkatkan akurasi penyaluran bansos, mengurangi tumpang tindih penerima, serta memastikan bantuan lebih tepat sasaran. Namun, kebijakan ini sekaligus menunjukkan bahwa selama ini belanja perlindungan sosial masih dijalankan dengan sistem pendataan yang belum sepenuhnya kuat.
Ke depan, fokus kebijakan fiskal tidak cukup hanya pada peningkatan anggaran, tetapi harus diimbangi dengan penguatan tata kelola, pembaruan data secara berkala, serta pengawasan yang efektif. Pembangunan berkelanjutan menuntut konsistensi kebijakan dalam jangka panjang, bukan sekadar respons cepat terhadap persoalan sesaat.
Kebijakan fiskal memiliki peran sentral dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan inklusif, khususnya melalui belanja bantuan sosial. Namun, pengalaman penyaluran bansos di Indonesia menunjukkan bahwa tujuan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial belum sepenuhnya tercermin dalam praktik. Ketidaktepatan sasaran akibat lemahnya pendataan masih menjadi tantangan utama yang harus segera dibenahi.
Penerbitan Inpres Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional menjadi momentum strategis untuk memperkuat kebijakan fiskal berbasis data dan keadilan. Keberhasilan kebijakan fiskal ke depan tidak cukup diukur dari besarnya anggaran yang dialokasikan, tetapi dari ketepatan sasaran, kualitas tata kelola, serta kemampuan kebijakan tersebut dalam menjamin kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan fiskal benar-benar dapat menjadi instrumen pembangunan yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga inklusif dan adil. (*)