Puisi Denny JA di Makamku
Oleh: Syaefudin Simon, Kolumnis
Komunitas WAG Ultah Rakyat kaget. Mereka terdiam seakan melihat sinar gaib di lorong kematian yang akan menjemputnya. Sebelum kematian itu menjemput, mereka berpikir harus ada sesuatu yang mengesankan!
Apa itu? Puisi, doa, dan nyanyian yang indah! Betul. Pikiran unik itu muncul setelah membaca pesan aktivis Budiman Sudjatmiko. Budiman berharap saat kematiannya nanti diiringi lagu-lagu Koes Plus.
Kenapa? Ya, karena kematian adalah saat-saat membahagiakan bagi orang beriman. Pinjam kata-kata Malauna Jalaludin Rumi, penyair sufistik Persia, kematian seharusnya dirayakan. Karena kematian adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih indah. Adil, tanpa hoax dan kepalsuan. Sebab itu, buatlah suasana yang membahagiakan di hari kematian. Mengenang hal-hal indah dan menyenangkan.
Barangkali itulah sebabnya, Budiman Soedjatmiko, aktivis dan politisi PDIP melalui sosmed (14/02/023), menyatakan harapannya. Ia ingin saat pemakaman dirinya, diiringi lagu-lagu Koes Plus selain doa-doa. Saat pemakamanku suatu hari nanti, ungkap Budiman, aku ingin lagu-lagu Koes Plus dinyanyikan.
Lagu “Sendiri dan Rahasia” serta “Cintaku dan Cintamu” yang dinyanyikan Koes Plus, kata Budiman, sangat mengesankan saat ia remaja. Aku ingin mengenang masa kecilku melalui lagu-lagu Koes Plus, ujar aktivis mahasiswa era 90-an itu. Aku adalah anak zamannya. Zaman di mana Koes Plus menjadi idola bocah dan anak-anak muda. Karena itu, menjelang aku wafat dan dimakamkan, aku ingin, pelayat menyanyikan lagu-lagu Koes Plus, di samping doa-doa yang lain.
Penyair Fatin Hamama, anggota komunitas WAG Ultah Rakyat Biasa, langsung memberi komentar. Perempuan alumnus Al-Azhar University Mesir ini, menceritakan, suaminya – Dr. Muhammad Nursamad Kamba yang wafat 20 Juni 2020, waktu pemakamannya diiringi tembang Jawa yang dinyanyikan seniman Sudjiwo Tedjo.
Buya Nursamad Kamba, kata Fatin, memang sudah berpesan agar kalau meninggal, di makamnya dinyanyikan lagu Titi Kolomongso, oleh Sudjiwo Tedjo (yang juga pencipta lagu itu). Sudjiwo Tedjo, memang sahabat karib dan “murid” Buya Nursamad. Maka, ketika Buya Nursamad wafat, Tedjo pun menunaikan pesan guru tasawufnya itu.
Satu lagi. Jonminofri, wartawan dan dosen jurnalistik, menanggapi cuitan Budiman Sudjatmiko. Jon menyatakan, jelang kematiannya, ia ingin mendengar lagu-lagu Koes Plus, Leonard Cohan, Queen, dan classic rock Philharmonic Orchestra. Sedangkan ketika pemakaman, tambah Jonminofri, dirinya tak ingin apa pun. Sebab aku sudah tidak bisa mendengar.
Lalu, wartwan senior Dr. Satrio Arismunandar bertanya padaku.
“Bro Simon, apa yang kau inginkan untuk mengiringi kepergianmu menuju keabadian?”
“Aku ingin mendengarkan puisi-puisi esai Denny JA,” ujarku. Satrio pun tersenyum
Lho kenapa? Tanya Satrio.
.
Puisi-puisi Denny JA sangat menarik dan mencerahkan. Jawabku pada Satrio. Denny memang sosok esais dan penulis puisi yang mengagumkan.
Aku memang suka membaca dan mendengar puisi esai Denny JA di Youtube. Puisi Denny, bagiku, tak hanya berisi narasi yang indah. Tapi juga sarat makna. Puisinya sering berkisah tentang pengalaman manusia yang berkelana mencari Tuhannya. Juga pengalaman manusia mencari makna hidupnya.
Dalam pengembaraannya, sang pencari tuhan kerap membentur tembok ilmu, logika, dan filsafat. Dan ia gagal menemukan Tuhannya.
Fariduddin Attar (1145-1220), dalam kitab Manthiq al-Thair menggambarkan para pencari Tuhan sebagai kawanan burung yang hendak menemui rajanya. Simorgh, si raja burung itu, posisinya entah di mana. Kawanan burung yang hendak mencari Simorgh, pergi ke mana-mana – ke dasar lembah dan puncak gunung; ke dalam samudera dan atas langit – tapi tak menemukannya. Ternyata di ujung pencariannya, setelah mereka lelah dan pasrah, kawanan burung itu menemukan Simorgh ada dalam dirinya.
Fabel tentang kawanan burung yang mencari rajanya karya Attar itu mirip dengan puisi tentang Tuhan karya Ibn Arabi. Dalam puisinya, Ibn Arabi mengaku mencari Tuhan di masjid, gereja,dan vihara. Ternyata, Tuhan tak ada di sana. Tuhan ada di hati manusia.
Banyak puisi esai Denny JA mengeksplorasi pencarian Sang Raja. Tulisan Denny, esai atau puisi, jumlahnya sudah mencapai ratusan buku. Dan sampai hari ini terus membanjiri jagad maya. Tiap hari tulisan Denny muncul tanpa lelah di sosial media.
Mumpung jelang puasa Ramadhan tahun 2023, aku ingin menyimak buku puisi Denny JA berjudul “Jiwa Yang Berzikir”. Buku ini kumpulan 30 puisi mini yang ditulis Denny setiap sahur di bulan Ramadhan tahun 2018. Di sahur pertama Ramadhan 2018, Denny menulis puisi esai berjudul:
Aku Kembali pada-Mu
Dia yang awam, yang tak paham
Dilihatnya langit sebagai langit
Dia yang resah, tak henti mencari
Dilihatnya langit tak lagi langit
Dia yang mencari dan menemukan
Baginya langitpun kembali langit.
Darta terdiam, Darta termangu
Jauh sudah ia berkelana.
Telah ia lezatkan lara dan sendu
Telah ia selami dalamnya makna
Kini ia kembali ke titik mula.
.
Ya Allah, kuhirup sudah
Nikmat harta, samudera ilmu
Belum jua dada membasah
Jiwa menganga oleh rindu.
Batin meronta lebih meminta
Adakah makna di jauh sana?
Masih adakah puncak menggoda?
Inikah cuma dari segala?
Serasa semua tawar belaka
Kilau segala menjadi biasa
Harimau batin mengaum mencakar
Di rimba jiwa menghutan lapar.
Darta mengembara Darta berkelana
Ke barat ke timur, selatan dan utara
Ke sungai ke laut, ke bukit ke lembah
Luka yang dibawa makin membara.
Harimau di nadi terus mencakar
Masa pergi, masa datang, semua terbiar
Hampa, tiada makna
Musim kemarau musim penghujan
Sangsai, sia-sia
Dicari di sini digali di sana
Hanya tiada yang ada.
Lima puluh kali matahari
Beredar sejak terlahir sebagai bayi
Lima puluh tahun sudah
Usianya dan kelak bertambah.
Di lembah nestapa di puncak resah
Ada cahaya berjingkat mendekat
Ada suara lamat-lamat.
“Bacalah!
Bacalah atas nama batinmu
Bacalah lewat kalbu”
Dan dalam termangu, dibacanya doa
Seperti dulu. Doa pertama,
yang diajarkan Ayah, menjelang senja
Lima tahun saat itu usianya.
Duduk berdua, di sudut beranda.
Ihdinaashshiraathalmustaqiim
shiraathalladziinaan’amta’alayhim
ghayrilmaghdhuubi’alayhim
walaadhdhaalliin
Amiin.
Dulu tiap hari tiap waktu
Ia baca doa itu.
Dipinta Ayah dipinta Ibu.
Dipinta Nenek, kakek, dan guru.
Dipinta sekolah, dipinta madrasah
Hingga tiba satu masa
Darta berontak ingin merdeka
Ia berteriak: Tidaaaaakk!!!
Dalam pengap dan sunyi
Pada langit dan bumi.
Darta pun tumbuh dewasa.
Ilmu menjadi kacamata
Dilacaknya realitas di balik doa
Ia selami filsafat, sejarah, dan sastra
Ia tekuni ilmu mumpuni
Khasanah sains dan teknologi.
Ternyata, ternyata, ternyata,
Bukan Tuhan yang mencipta manusia.
Tapi manusia yang ciptakan Tuhan-nya!
Sejak itu, doa itu dirobek-robeknya
Serupa mainan kanak yang mesti dilupa
Bukankah ia manusia dewasa?
Mainan kanak tak bisa menipunya!
Tapi kini, di dini hari usia
Ia bukanlah Darta muda
yang merasa gagah dewasa,
tapi Darta yang perlahan menua
Darta yang telah mengembara
Dan kembali ke titik mula.
Darta yang kosong, sunyi, hampa
Jantung menjerit merindu takwa
Dalam keluh ingin teguh
Berserah diri penuh seluruh.
Doa itu tiba
Tanpa diminta siapa-siapa.
Berdenyut di nadi, bergema di dada
Pelan menetes bersama airmata.
Tuhanku
Izinkan si anak hilang
Kembali pulang
Ke rumah kasih-Mu.
Itulah puisi sahur pertama Denny JA di Ramadhan 5 tahun lalu. Selama bulan puasa itu, ia menulis 30 puisi esai yang sangat indah. Tentang manusia dan Tuhannya; tentang cinta dan duka; tentang mushala dan gereja; tentang api dan sepi; tentang toleransi dan benci, dan tentang segalanya yang menerpa hati.
Lalu, siapa sosok Darta dalam 30 puisi mini “Sahur Ramadhan” Denny itu? Sang Budha Sidarta Gautama yang meninggalkan istana untuk mencari makna hidup? Bisa jadi, ya. Tapi Darta juga bisa aku, kamu, dan kita semua.
Akhirnya, bila Budiman Sudjatmiko di saat kematiannya ingin diiringi lagu-lagu Koes Plus dengan segala romantikanya, sunggguh aku dalam suasana yang sama, ingin dibacakan 30 puisi mini dari buku “Jiwa yang Berzikir” karya Denny JA. Aku membayangkan di alam sana, betapa indahnya pembacaan puisi sufistik karya Denny bila diiringi lantunan salawat Nabi dari Gus Aldi!.