‘Darah Palsu Menyelamatkan Kami’
Oleh: Denny JA
(Kiriman: Akaha Taufan Aminudin, Koordinator Persatuan Penulis Indonesia, Satupena Jawa Timur Indonesia)
Bulan sabit menjadi lampu yang redup di langit Jakarta.
Tapi malam tetap gelap.
Burung Cangak terbang mencari cahaya.
Sebuah kisah dalam kerusuhan Mei 1998 terkuak.
Kisah dimulai dengan sepasang calon suami istri.
Dari Surabaya ke Jakarta mencari teman lama Ayah dan Ibunya.
Sampai juga mereka ke sana.
Rumah itu sangat sederhana.
Dua hari mereka mencari.
Pak Yusuf kini berusia 60-an.
Sejak dari Surabaya, Maria sudah bertanya.
Siapakah gerangan Muhamad Yusuf?
Mengapa ia dianggap penting oleh calon mertua?
Sebulan lagi Maria akan menikah.
Calon suaminya, Robert Chen,
menyatakan:
“Maria, kita dapat tugas khusus dari orang tuaku.
“Empat nama ini harus kita jumpai tatap muka di Jakarta.
Mereka oleh Ayah dan Ibu dianggap berjasa pada keluarga. Berjasa bagi hidupku.”
“Mereka harus didatangi, dihormati, dikabarkan secara tatap muka. Saya diminta Ibu perkenalkan dirimu.”
“Empat orang ini kita undang khusus ke Surabaya. Diharap mereka datang ke perkawinan kita.”
Maria membaca 4 nama itu:
Boby Heng, Petrus Heng, Jiang Hendry, dan Muhamad Yusuf.
Tiga nama pertama sudah Maria kenal.
Mereka kakak dan adik calon mertua.
Robert sering cerita.
Tapi Muhamad Yusuf? Dari sisi nama saja, ia lain sendiri.
Robert juga sudah titip pesan.
“Jangan tanya soal Muhamad Yusuf ke Ibu atau Ayahku.
Mereka masih trauma.”
“Trauma apa?,” tanya Maria.
Jawab Robert agak sungkan bercerita: “itu masih berhubungan dengan kerusuhan di Jakarta, Mei 98.
Usiaku masih 7 tahun.”
Semakin penasaran Maria.
Siapakah Pak Yusuf ini? Apa perannya bagi keluarga calon suaminya?
Betapa kaget Pak Yusuf kedatangan Robert Chen.
“Astaga, kau sudah tumbuh besar,” ujar pak Yusuf bersemangat.
Sambil dipeluknya Robert penuh kehangatan.
“Terakhir kita jumpa,
usiamu 7 tahun.
Itu tahun 1998.
Kau menangis,
takut, juga sedih.
Jakarta saat itu rusuh.”
Robert membenarkan, kadang mengangguk. Kadang hanya senyum. Saat itu ia masih bocah.
Setelah menceritakan maksud kedatangan, setelah basa basi,
Robert mengajak Pak Yusuf pergi.
Mereka mengunjungi perumahan tempat dulu mereka tinggal.
Rumah itu sudah mereka jual.
“Sejak kalian pergi,
aku tak pernah lagi ke sini,” kata pak Yusuf.
Mereka hanya di mobil saja.
Melihat rumah itu dari kejauhan.
Lalu mereka kembali ke rumah Pak Yusuf.
“Saya tak ingat semua, Pak Yusuf. Usia saya 7 tahun.
Saya hanya ingat rumah kita dibakar.
Lalu kita mengungsi ke rumah paman di tempat lain.”
“Saya ingin dengar dari Pak Yusuf.
Saat itu apa yang terjadi dengan keluarga saya? “
“Mengapa Ibu dan Ayah saya tak ingin membicarakan ini?
Mengapa kakak saya, memilih tinggal di Amerika Serikat, tak ingin pulang?”
Ujar pak Yusuf, “Saya sudah berjanji pada orang tuamu, tak menceritakan ini pada siapapun.”
“Tapi aku kan anaknya sendiri. Dan aku sudah dewasa. Sudah akan menikah pula!” jawab Robert membujuk dan bercanda.
Pak Yusuf masih enggan bercerita.
Ia hanya diam.
Robert diam.
Maria diam.
Sebagai tuan rumah, Pak Yusuf menjadi tak enak.
Dari jauh, Robert dan Maria datang.
Pak Yusuf pun bercerita. Dengan satu pesan: ambil hikmahnya.
Bulan sabit semakin terang.
Malam tak segelap sebelumnya.
Dengan menahan nafas,
kadang terbata,
kadang menetes air mata,
Pak Yusuf berkisah.
Maria menyimak semua.
Ia sungguh tak tahu apa yang terjadi dengan keluarga Robert Chen, calon suaminya.
Ujar Pak Yusuf.
“Aku membuat catatan.
Suatu hari aku akan menuliskan kisah ini.
Dan akan kupentaskan dalam teater.”
“Tentu soal keluargamu akan aku samarkan. Orang tak akan tahu.”
Pak Yusuf masuk ke dalam.
Robert dan Maria duduk di beranda.
Lalu Pak Yusuf keluar membawa catatan.
Ia sudah ketik rapi banyak hal.
Sambil membaca catatan,
Pak Yusuf bercerita.
“Tanggal 12-15 Mei 1998
Jakarta rusuh.
Empat mahasiswa tertembak mati.
1190 penduduk di Jakarta juga mati.
Sebagian gosong terbakar di dalam mall.
52 orang diperkosa.”
“Kemarahan pada pemerintah saat itu berkobar.
Ada yang mengalihkan kemarahan itu menjadi amuk massa menyerbu, menyerang, membakar toko dan rumah orang Cina.”
Robert dan Maria diam menyimak.
Sungguh Robert ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya sendiri.
Ibu dan Ayah tak pernah mau diajak bicara soal ini.
“Perumahan mewah orang Tionghoa ikut diserbu.
Termasuk rumahmu, Robert.”
“Aku tak tahu apakah kau ingat?
Bu Ani, pembantu kita, hampir mati.
Ketika rumah terbakar,
Ia masuk ke rumah,
masuk ke kamarnya,
ia teringat tabungannya di sana.
Hasil kerjanya tahunan.”
Robert menggeleng kepala.
“Aku tak ingat, Pak.
Aku hanya ingat, Ayah mengendongku, lari menuju mobil.”
Lanjut Pak Yusuf:
“14 Mei 1998 malam,
suasana Jakarta menakutkan.
Sangat mencekam.
Saat itu,
sudah 434 gedung dirusak,
juga dijarah.
Ada 393 kendaraan dibakar.
Memang ratusan penjarah ditangkap polisi.
Tapi ribuan lainnya tetap berkeliaran.
Mencari mangsa.”
Kembali Pak Yusuf melihat catatannya. Ia lanjut bercerita:
“ Ini catatan gedung yang dirusak.
Di Jakarta Barat, sekitar 255 gedung.
Di Jakarta Pusat sebanyak 74 bangunan hancur.
Ada 141 di Jakarta Utara,
dan 4 gedung di Jakarta Selatan.” (1)
“Ngeri, ngeri,”
Pak Yusuf terdiam.
“ Kerusuhan terjadi di seluruh wilayah Jakarta.
Juga di kota lain.
“Aksi penjarah menggila.
Ada pula provokatornya.
Mereka seperti orang-orang yang terlatih.”
“Ini yang menyedihkan,” sambung pak Yusuf.
“Sejak hari itu, begitu banyak WNI keturunan menyingkir keluar Jakarta.
Bahkan ke luar negeri.”
“Mereka lahir di sini, tapi harus pergi dari sini hanya karena mereka keturunan Cina.”
“Ada yang pergi ke Singapura,
Amerika Serikat,
Australia, Bangkok, Hongkong.
Termasuk keluagamu, Robert. Awalnya keluargamu ke Bali.
Memantau Jakarta dari sana.
Lalu keluargamu menetap di Surabaya.”
Pak Yusuf kembali melihat catatannya.
“Ini kamu lihat.
Tak hanya keturunan Tionghoa.
Juga mengungsi ratusan warga asing lainnya.
Mengungsi juga staf kedutaan,
pekerja dari luar negeri berserta keluarga.
Juga ikut menyingkir dari Jakarta itu pejabat-pejabat Dana Moneter Internasional.
“Bandara pun panik.
Tidak hanya di Bandara Soekarno-Hatta.
Ini pesawat-pesawat charter juga dioperasikan di Bandara Halim Perdanakusuma.”
Kembali Pak Yusuf melihat catatannya.
“Pesawat yang tersedia:
satu Fokker F-28 milik Mafira Air Malaysia,
Ada juga Boeing 737-400 Malaysia Airlines System.
Juga dua Fokker F-28.
Satu RJ Pelita Air Service.”
“Ada juga Fokker F-28 dari Manunggal Air. Juga satu MD-11 Garuda Indonesia.”
“Aku suka pesawat. Jadi aku tulis khusus jenis pesawatnya, sambung Pak Yusuf.”
Kembali Pak Yusuf katakan niatnya. “Aku akan membuat naskah dari kisah ini. Dan aku pentaskan di panggung.”
“Keluar dari rumah menuju bandara juga tak mudah.
Mobil banyak dicegat di jalan.”
“Belum tentu pesawat tersedia. Banyak yang menginap di bandara.”
“Keluargamu Robert, sempat 2 hari tinggal di bandara.”
Pak Yusuf kembali melihat catatannya.
“ Sekitar 10 ribu WNI keturunan yang pergi ke luar negeri. “ (2)
Robert menghela nafas.
Maria terpana.
Ia pegang telapak Robert kencang sekali.
“Bagaimana dengan rumah kita, Pak Yusuf?” Saya hanya ingat rumah kita dibakar. Saya menangis.”
Pak Yusuf menjelaskan.
“Saat itu aku sudah tiga tahun bekerja pada Ayahmu. Ikut juga membantu usaha Ibumu. Aku tinggal di rumahmu. Aku juga kadang menjadi supir keluarga.
“Pendidikanku sarjana. Aku sejak mahasiswa pemain teater. Cita-citaku main teater hingga mati. Tapi dunia teater lesu. Aku tak bisa menafkahi keluargaku dari teater.”
“Hidup di Jakarta juga mahal. Aku menyerah. Keluargaku aku pindahkan tinggal bersama ibuku di Banyuwangi. Ayah dan Ibumu mengajak aku tinggal di rumahnya saja. Banyak kamar kosong.”
“Aku bekerja, digaji oleh Ayah dan Ibumu. Dulu mereka kawan SMA-ku. Kita bertiga sekelas. Nasib saya saja yang berbeda.”
“Ayah dan Ibumu sudah mesra sejak SMA. “
“Itu tanggal 15 Mei 1998.
Di kawasan Camar Permai ada 80 rumah ludes terbakar.
Sebanyak 500 rumah lain habis dijarah massa.”
“Kita dari perumahan Camar Permai mengungsi.
Kita pergi ke kawasan Golf Course Pantai Indah Kapuk.
Tapi semua kesulitan mencari makan dan minuman.
Tiga hari kita harus makan dan minum seadanya.”
Lama terdiam Pak Yusuf.
Emosinya terguncang mengingat kisah ini.
Lanjut Pak Yusuf:
“Saat itulah Ayahmu ambil keputusan. Kata Ayahmu: keluargaku harus menyingkir dari Jakarta.
Harus cari cara ke bandara.”
“Tapi bagaimana caranya?
Bagaimana menembus jalanan ke bandara.
Kita bisa dicegat dan dirampok di jalan.
Apalagi Ayah dan Ibumu sangat ketara keturunan Tionghoa.”
Di situlah saya mengambil peran.
Ayahmu tak akan lupa.
Juga ibumu selalu mengingatnya.
Saya orang teater. Imajinasi saya panjang.
Sayapun naik motor pergi keluar. Saya hanya minta dana seperlunya.
Lalu kembali saya sudah bawa mobil ambulance. Saya ajak dua teman teater.
Saya bawa juga banyak minuman Fanta merah. Gincu merah. Kain hitam.
Ini skenarionya. Keluargamu seolah menjadi korban kerusuhan. Gincu dan Fanta merah, beserta ramuan lain, saya ubah seperti darah.
Saya minta keluargamu menumpahkan darah palsu itu ke aneka bagian tubuh. Agar kau tak menangis, kau diberi obat tidur.
Pintu belakang ambulance dibiarkan terbuka. Ayah Ibumu, dua kakakmu, dan dirimu berada di dalam ambulance.
Dua temanku dan aku memakai kain hitam di kepala. Di tangan juga diikatkan kain hitam.
Dua temanku berdiri di belakang ambulance. Sambil berteriak: “minggir, minggir, darurat, darurat.
Keluargamu berlagak pingsan atau mati di dalam ambulance.
Di jalan, banyak gerombolan mencegat mobil yang lewat. Mereka merampok apapun yang bisa.
Karena mobil ambulance itu, kita tak dicegat orang sampai bandara.”
Maria terpana mendengar kisah itu.
Robert juga terpaku. Tak tahu jika ia penah diberi obat tidur.
“Orang tuamu berterima kasih padaku. Tapi mereka berkata, mungkin tak tinggal di Jakarta lagi.”
“Aku diberi dana yang besar sebagai hadiah.”
“Dana itu aku belikan rumah. Ini tempat yang kau duduk, ini hasil dari teater mobil ambulance.”
Emosi Pak Yusuf bercampur menceritakan kisah ini. Ada lucunya. Tapi banyak getirnya. Sedih. Cemas. Takut. Was-was.
“Satu lagi, Pak Yusuf,” tanya Robert. Masih ada soal yang mengganggunya.
“Mengapa kakakku, Jia Li, tak mau kembali ke Indonesia? Sudah 24 tahun ia tinggal di sana. Ada hubungan dengan Mei ‘98?”
Pak Yusuf diam saja. Lalu bicara pelan: “Sebaiknya, yang ini aku tak usah cerita.”
“Saya sudah dewasa, Pak Yusuf. Ini kakak saya. Agar saya mengerti.” Robert meyakinkan.
Pak Yusuf menetes air mata.
Robert dan Maria saling menatap. Tak mengerti. Tapi khawatir mendengar sesuatu yang buruk.
“Kalian berdua sudah dewasa. Ini rahasia keluarga kalian sendiri. Masih ingin tahu? Dengan cara saya menjawab, seharusnya kalian sudah bisa menangkap.”
Maria agak ragu. Tapi Robert bersikeras ingin mendengar.
“Ceritakan saja Pak, apa adanya.”
Pak Yusuf pelan bercerita.
“Ketika rumahmu dijarah dan dibakar, kakakmu sempat berteriak kencang.”
Saat itu semua panik.
“Saya berlari ke arah suara kakakmu. Di dapur, astaga. Kakakmu mengalami kekerasan seksual.”
“Saya sudah datang membawa besi. Melihat saya yang garang, dua penjarah itu berlari lewat pintu lain.”
“Ha!” Hati Robert berdegup kencang. Kencang sekali.
“Diperkosa?,” tanya Maria.
“Saya tak tahu persisnya. Tapi kakakmu shock berat. Tiga hari ia tak bicara.”
“Sudah cukup itu saja. Saya tak tega menceritakan lebih jauh.”
Robert sedih. Alang kepalang. Barulah ia bisa mengerti. Mengapa kakaknya tak hendak kembali ke Indonesia.
Tapi Robert mengambil sikap yang beda.
Ia melihat Indonesia sudah berubah.
Koran bahasa Cina boleh terbit.
Ada program bahasa Mandarin di TV.
Barongsai bisa tampil di Mall.
Ada keturunan Tionghoa menjadi menteri.
Robert melihat Indonesia yang baru.
Diskriminasi atas kaum Tionghoa mulai terkikis.
Tapi kisah kakaknya, Jia Li, baru ia tahu.
Dalam hati, Robert menyebut nama kakaknya. Membayangkan dirinya memeluk kakaknya.
“Maafkan aku Kak, aku kini mengerti. Mengapa kau pemarah. Mudah tersinggung.”
Usia Jia Li sudah 41 tahun.
Ia tetap tak menikah.
Tak pula punya kekasih.
Maria tak pula menyangka.
Perjalanan ke Jakarta awalnya hanya untuk mengantar undangan pernikahannya.
Ternyata, ia berjumpa dengan Pak Yusuf, yang membuka mata.
Ia mendengar pentas teater di dunia nyata, tak hanya di panggung. Itu kisah darah palsu yang menyelamatkan keluarga calon suami.
Ia juga baru tahu rahasia keluarga calon suami.
Selama ini Maria hanya menduga.
Calon mertua dan calon kakak ipar seolah memiliki satu ruangan gelap yang terkunci.
Mereka tak ingin membuka ruangan itu lagi. Terlalu menyakitkan. Mereka ingin lupakan. Walau ternyata tak juga bisa dilupakan.
Jejak luka itu tergambar dalam perilaku hingga hari ini. Walau samar.
Bulan sabit semakin terang di langit.
Sinarnya mulai menerangi gelap malam.*
CATATAN:
(1) perumahan WNI keturunan Tionghoa di Jakarta diamuk massa.
https://metro.tempo.co/amp/1089250/20-tahun-reformasi-mereka-yang-menyingkir-dari-jakarta
(2) sekitar 10 ribu warga mengungsi dari Jakarta
https://m.republika.co.id/berita/o7hb2u318/perjuangan-10-ribu-wni-keturunan-menyingkir-dari-indonesia
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi:
- Konflik agama di Maluku (1991-2002),
- Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001),
- Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017),
- Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998),
- Konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).
Sekretariat Satupena Jawa Timur Indonesia: Jalan Abdul Jalil 2 Sisir Kota Batu Wisata Sastra Budaya.
Karya sastra ternyata juga dapat menjadi sumber sejarah yang tidak resmi. Lebih enak dibaca dsn dipahami
Terima Kasih suhu
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull