Javasatu,Malang- Pada tahun 1950 an, KH Istamar Hanafi mendirikan sebuah tempat pembelajaran Al Qur’an di Desa Langlang Kecamatan Singosari Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Seorang cucunya bernama Ahmad Nahru Ulum (Gus Nahru) menceritakan, tempat pembelajaran itu sekarang bernama Pesantren Tahfidz Syafa’atul Qur’an (PTSQ).
“Kala itu beliau (KH Istamar, red) belum mengalami kebutaan (masih bisa melihat)” kata Gus Nahru, yang sekarang mengasuh PTSQ itu, Kamis (25/2/2021).
Awalnya PTSQ itu hanya berupa musala kecil di tengah pemukiman penduduk Desa Langlang Singosari. Pendirian musala bertujuan sebagai tempat mengaji dan menimbah ilmu agama Islam kala itu untuk masyarakat desa Langlang Singosari dan sekitar seperti Kepuh, Bunder, Bunut, Balong, Ngenep, dan Genitri.
Namun, keinginan tak sesuai kenyataan, tak banyak masyarakat desa yang mau melakukan kegiatan agama di tempat itu.
Hingga dengan sabar, ikhlas dan telaten KH Istamar setiap hari harus berjalan keliling kampung di Desa Langlang dan sekitarnya untuk memberikan pembelajaran membaca Al Qur’an (mengaji) dan Sholat lima waktu di rumah penduduk.
Dengan kegigihan KH Istamar, sedikit demi sedikit, masyarakat mau menunaikan sholat lima waktu dan mengaji di musala yang ia bangun.
KH Istamar Tak Bisa Melihat ‘Mengalami Kebutaan’
Gus Nahru mengatakan, memasuki awal tahun 1960 an, saat itu KH Istamar berusia 40 tahun. Suatu hari pada bulan Ramadhan masyarakat desa sedang melaksanakan sholat Tarawih berjamaah di musala (sekarang menjadi PTSQ, red), ditengah sholat Tarawih di desa setempat itu ada sekelompok masyarakat menggelar pertunjukan Tayub.
“Dianggap Mbah Istamar tayuban itu mengganggu orang-orang sholat tarawih, mbah mendatangi pertunjukkan untuk menyuruh berhenti, tapi salah satu orang yang berkuasa di tayub itu tidak terima. Saat itu Mbah Istamar belum hafal Al Qur’an” ungkap Gus Nahru.
Adanya kejadian itu, orang yang berkuasa tidak terima kepada KH Istamar, dikatakan Gus Nahru, setelah kejadian itu KH Istamar mengalami kebutaan atau matanya tidak bisa melihat.
“Tapi hanya Allah SWT yang memiliki kehendak semuanya. Bukan karena mereka yang membutakan mbah tap itu semua karena Allah” tegas Gus Nahru.
Perjalanan KH Istamar Hanafi Menghafal Al Qur’an
Dalam kondisi mengalami kebutaan, dituturkan Gus Nahru, masih di bulan puasa Ramadhan, KH Istamar bertemu dengan KH. Mufid Mas’ud Krapyak Yogyakarta yang kebetulan memimpin sholat tarawih di salah satu masjid di Singosari setiap bulan Ramadhan.
“Saat itu mbah (KH Istamar, red) bercerita kepada KH Mufid usai mengalami kebutaan, mbah ngendikan saat tidur bermimpi diberi tombak dan Al Qur’an oleh Bung Karno. Terus KH Mufid ngendikan, berati sampeyan disuruh menghafakan Al Qur’an untuk meningkatkan derajat sampeyan” cerita Gus Nahru.
Usai bertemu KH Mufid, dalam kondisi tak bisa melihat berangkatlah KH Istamar bersama sang istri untuk memperdalam ilmu Al Qur’an ke Krapyak Yogyakarta.
Selama ditinggal ke Yogyakarta, PTSQ (dahulu masih berupa surau kecil pusat mengaji orang desa), diamanahkan kepada KH Asnawi Ishaq (ayah kandung Gus Nahru Ulum).
“Pada saat mbah (KH Istamar) menunjuk ayah saya (KH Asnawi) untuk memangku pesantren dulu seakan sudah diberikan petunjuk oleh Allah SWT. Ayah datang ke Singosari juga atas petunjuk mimpi. Ayah saya lulusan Kencong. Ayah tidak pernah menginjakkan kaki di Singosari, kala itu, KH Istamar sedang mencari orang alim untuk bisa mengasuh pesantren selama ditinggal beliau ke Yogyakarta. Singkat cerita bertemu lah dengan KH Asnawi” terang Gus Nahru.
KH Istamar dalam kondisi tidak bisa melihat, dengan sabar sang anaknya bernama ibu Nyai Sya’adah (ibu Gus Nahru) menuntun menghafal Al qur’an lafadz demi lafadz, hingga akhirnya dalam waktu 8 bulan KH Istamar berhasil menjadi seorang hafidz.
“Ibu sekarang masih ada, alhamdulillah” ucap Gus Nahru.
Setelah menghafal Al Qur’an di Yogyakarta, KH Istamar kembali lagi ke Singosari. Dan kepengurusan pesantren diserahkan kembali kepada KH Istamar.
“Ayah mboten wantun ngurusi pondok, nopo jare mbah mawon (Ayah tidak berani mengurusi pondok, diserahkan ke mbah kembali). Mbah bilang gak usah diberi pembelajaran atau ngaji kitab, karena menghafal Al Quran saja sudah berat. Dan ayah saya tidak lagi memanggil ayah mertua kepada KH Istamar, namun memanggil Kyai. Sebuah bentuk takdzim” ungkap Gus Nahru menirukan cerita kala itu.
Peralihan KH Asnawi Ishaq kepada Sang Putra ‘Gus Nahru’
Singkat cerita, tongkat kepemimpinan Pesantren Tahfidz Syafa’atul Qur’an (PTSQ) saat ini dipegang oleh cucu KH Istamar Hanafi, yang juga anak kandung KH Asnawi Ishaq yaitu Gus Nahru Ulum.
Gus Nahru, seorang hafidz yang juga lulusan dari Universitas Brawijaya (UB), kini, ia telah mengasuh pesantren tahfidz yang memiliki ratusan santri di Desa Langlang Singosari Kabupaten Malang.
Menurut Gus Nahru, menghafal Al Qur’an itu harus dari hati, artinya harus ada keterkaitan bathin dengan Al Qur’an.
“Menghafal Al Qur’an dengan cepat, maka akan cepat lupa juga. Seorang mau menghafal Al Qur’an jenjangnya berbeda beda, ada yang cepat ada yang sampai puluhan tahun” kata Gus Nahru, Kamis (25/2/2021).
Diungkapkan Gus Nahru, untuk itu dalam rangka memperingati Haul Akbar KH Istamar Hanafi ke-34 ia berpesan bahwa, dalam menimbah ilmu agama Islam carilah sumber yang benar-benar kredibel dan bisa dipertanggung jawabkan, terutama dalam menghafal Al Qur’an.
“Dalam mencari ilmu yang dilihat pertama adalah Guru. Carilah guru yang sanadnya Rasulullah, guru amaliyah tidak jauh dari Al Qur’an, guru yang ikhlas, ahli riyadho, doa nya itu yang penting, karena gurunya itu yang penting bukan lafadznya. Ruhnya itu yang paling penting, itu ilmu sejati. Kalau lafadznya itu ilmu pengetahuan sepeti kuliah. Barokahnya seorang kyai itu kuncinya” pungkas Gus Nahru.
Sebagai tambahan informasi, Haul Akbar KH Istamar Hanafi ke-34 dan Reuni Alumni Santri Ponpes Syafa’atul Qur’an Langlang Singosari Kabupaten Malang akan dilaksanakan pada 27 Februari 2021. Acara digelar mulai pukul 05.00 Wib. (Saf)
Comments 1