JAVASATU.COM-MALANG- Program pascasarjana Universitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang melaksanakan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Tahun akademik 2023-2024 pada Rabu (27/09/2023). Pelaksanaan PKMMB kali ini dilakukan secara daring melalui platform G-Meet.
Tercatat mahasiswa Program pascasarjana Unira Malang Tahun Akademik 2023/2024 sebanyak 55 mahasiswa dari Program Studi Magister PAI Peace Education. Jumlah ini akan terus bertambah, mengingat kebijakan PMB Pascasarjana Unira Malang dibuka hingga Oktober bulan depan.
Kegiatan PKKMB 2023 mengusung tema ‘Building Humanc Character in the Frame of Islamic Education and Peace’. Tema ini diambil untuk menyiapkan leaning outcome mahasiswa pascasarjana bermental tangguh, inovatif, dan eksis dalam menebar Islam moderat di Era society 5.0.
Giat PKKMB dibuka Rektor Unira Malang Imron Rosyadi Hamid M.Si. Ph.D. turut hadir Wakil Rektor I Dr. Sutomo M.Sos, Wakil Rektor II Dr. Helmi Muhammad, SE., MM, Wakil Rektor III Dr. Hasan Bisri, M.Pd., jajaran Pascasarjana Direktur Prof. Dr. Sunardji Dahri Tiam M.Pd, Kaprodi Magister PAI Peace education Dr. Abdur Rofik M., M.Pd, sekretaris Prodi Dr. Ilma Fahmi Azizah M.Pd.I, GJM Pascasarjana Dr. Ifa Nurhayati M.Pd.I, Kepala Urusan Internasional Dr. Arises Musnandar M.Pd., dan KTU Pascasarjana Ilun Laila Habiba M.Pd.I.
Dalam pembukaannya, Rektor Unira Malang Imron Rosyadi Hamid M.Si. Ph.D. menyinggung tentang positioning distingsi peace education Pascasarjana Unira Malang dengan four waves of modern terrorism, atau dikenal dengan Teori Rapoport.
Lanjutnya, pertama disebut dengan gelombang 1 atau anarchic wave yang berlangsung kisaran 1898-1920-an di Rusia-Eropa Timur. Kedua, gelombang 2 yang dikenal dengan anti colonial wave yang terjadi pada kurun waktu 1920-1960-an. Ketiga, gelombang 3 yang sering disebut sebagai new left wave atau gelombang kiri baru yang terjadi pada kisaran 1960-1990-an. Dan terakhir, gelombang 4 yang kerap disebut religious wave, yang berlangsung sejak 1990 sampai sekarang.
“Gelombang 1 dan 3 telah terjadi, sementara gelombang 4 sedang berlangsung. Ini menjadi tantangan bersama, tantangan global yang menjadi atensi bersama khususnya Pascasarjana Unira Malang dan PBNU. Karena bagaimanapun, Unira Malang adalah kampus NU,” ungkap Gus Imron, sapaan akrabnya.
Gus Imron menambahkan bahwa mahasiswa Pascasarjana Unira Malang sebagai calon pemikir-pemikir NU diharapkan merespons hal ini. Membebankan tanggung jawab ini kepada satu pihak tidak memungkinkan, karenanya harus direspons dengan orkestrasi semua pihak.
“Dan saya berharap learning outcome mahasiswa pascasarjana Unira Malang berkontribusi positif dalam upaya perdamaian pada gelombang ke-4 ini,” pungkas Gus Imron menegaskan.
Terkait posisi peace education, Direktur Program Pascasarjana, Prof. Dr. Sunardji Dahri Tiam, M.Pd menyampaikan bahwa kontekstualisasi konsep Pendidikan perdamaian sangat relevan dengan penerapan moderasi beragama di Indonesia.
“Konsep dan konteks ini nanti akan dimatangkan dalam bentuk perkuliahan di pascasarjana Unira Malang,” tandasnya.
Untuk menstimulus dan menguatkan jiwa damai mahasiswa pascasarjana Unira Malang, giat PKKMB ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni narasumber pertama disampaikan oleh Dr. Abdur Rofik M., M.Pd selaku Kaprodi Magister PAI yang menyampaikan tentang integrasi moderasi beragama dalam bentuk MK perkuliahan di kelas dan luar kelas (study tour & situs).
Ndan Rofik sapaan akrab Kaprodi Magister PAI ini menekankan pentingnya kolaborasi riset internasional tentang Pendidikan perdamaian.
“Kolaborasi riset ini nantinya akan melahirkan bank jurnal, pemikiran terkonsep, dan blue print perdamaian. Karena kontekstualisasi konsep damai adalah sangat terhubung dengan kemampuan menulis dan eksis mahasiswa dalam menyampaikan pesan-pesan perdamaian. Ini sebagai ‘dakwah profetik’ kesantunan verbal dan menulis merupakan seni dakwah tertinggi,” jelas Ndan Rofik.
Materi kedua disampaikan dosen senior Universitas Teknologi Malaysia (UTM), Diaya Uddeen Alzitawi, Ph.D. Dosen berkebangsaan Yordania tersebut menyampaikan bahwa konsep Pendidikan perdamaian berupaya membentuk ‘manusia Takwa’.
“Takwa di sini mengacu pada kehati-hatian dan keberanian bersikap moderat atau ‘ummatan wasathan’,” ujar Diaya Uddeen Alzitawi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Diaya Uddeen Alzitawi menyampaikan, setidaknya ada empat strategi, pertama harus diajarkan melalui pendidikan yang holistik menyeluruh dan utuh, kedua pentingnya membangun kesehatan fisik dan mental tangguh mahasiswa, ketiga memperkuat interaksi sosial yang ditopang dengan social development, dan keempat adalah peningkatan mutu pendidikan (academic performance).
“Keempat strategi tersebut harus dipahami secara utuh dan disinergikan dengan kearifan lokal yang ada. Saya yakin, dalam hal ini Indonesia sudah melakukannya dengan baik,” tutur Diaya Uddeen Alzitawi.
Masih menurut Diaya, Indonesia merupakan role model di bidang pendidikan karakter dan perdamaian. Dia mengorkestrasi pertanyaan-pertanyaan kritis mahasiswa dengan berbagai hasil riset dan cerita pengalamannya selama menempuh studi doktoral di Indonesia, bahwa ada perbedaan mendasar antara konstekstualisasi pendidikan perdamaian di Malaysia, Singapura, Yordania, dengan Indonesia.
Dia mencontohkan soal adab kepada guru dan kesantunan verbal sosial. Mahasiswa Indonesia sangat menjunjung tinggi adab kepada guru bahkan menempatkan adab di atas ilmu pengetahuan.
Di akhir ceramah ilmiahnya, dia mengajak kolaborasi riset bidang penguatan pendidikan karakter dalam bingkai Pendidikan Islam dan perdamaian.
“Insha Allah nanti kita Ngopi Ilmiah bareng di Indonesia,” ujarnya memungkasi. (*)