JAVASATU.COM-MALANG- Beberapa waktu belakangan ada pemandangan menarik di sejumlah sudut Kota Malang, bahkan konon di kampung-kampung. Apa itu? Baliho! Baliho berisi tulisan atau gambar apa?.

Baliho itu bertuliskan “Lanjutkan 2024”, disusul “Rindu Abah Anton”, lengkap dengan gambar besar Wali kota Malang periode 2013–2018, H Mochamad Anton, mengenakan uniform khas Malangan (atau Jawa Timuran?).
Senyum lelaki yang akrab disapa Abah Anton itu tampak merekah, tangan kanannya diangkat hingga berbentuk siku, sembari mengangkat jari jempolnya. O iya, background baliho itu didominasi warna hijau.
Setelah memperhatikan gambar dan tulisan itu, mari dibedah satu persatu makna yang terkandung dari baliho itu, setidaknya dari perspektif yang ada, berdasarkan konotasi yang lazim.
Dimulai dari kata “lanjutkan” yang bermakna teruskan. Teruskan apa? Lalu ada “2024”. Identifikasi angka dari tahun “2024” yang identik dengan perhelatan demokrasi lima tahunan, Pemilu, dalam hal ini pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Apakah mungkin Abah Anton akan kembali maju pada kontestasi calon kepala daerah Kota Malang pada 2024 mendatang? “Meneruskan” tugasnya yang pernah “terpenggal”?
Selanjutnya ada tulisan “Rindu Abah Anton”. Siapa yang rindu? Jauh sebelum menjabat sebagai Wali kota Malang, Abah Anton memang dikenal merakyat, bahkan memiliki jemaah yang tidak sedikit. Pengajian rutin di kediamannya selalu penuh sesak dengan kehadiran warga masyarakat.
Belum lagi komunitas lainnya. Dan Abah Anton dikenal akrab dengan siapapun. Apakah salah satu diantara mereka yang memasang baliho-baliho itu?.
Selanjutnya membahas background warna hijau. Warna ini dalam konotasi politik diidentifikasikan dengan salah satu partai politik yang simbol partainya didominasi warna “hijau”, diketahui yang selama ini memang menjadi tempat Abah Anton bernaung.
Lalu, uniform yang dikenakan. Busana khas Malangan itu selama ini identik dengan kostum “resmi” non dinas yang kerap dipakai pejabat dan birokrat Jawa Timur dalam berbagai seremoni.
Selanjutnya senyum yang merekah. Kesannya seperti senyum yang jujur, tidak dibuat-buat, bukan senyum seremoni. Memang itulah Abah Anton, yang selalu mengawali pertemuannya dengan siapapun dengan senyumnya yang khas itu.
Dan yang tak kalah penting adalah acungan ibu jari alias jempol. Yang bila diterjemahkan dalam kata-kata bisa bermakna “mantap!”
Nah, mantap dalam hal apa?
Berbagai pertanyaan tadi tentu tak boleh dibiarkan mengambang liar. Spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat juga perlu dijawab dan “disamakan”.
Maka, ada baiknya konfirmasi kepada yang ada di baliho itu secara langsung. Biar dia yang menjawabnya. Terutama apa benar dia ingin “maju” lagi, dan apa benar dia yang memasang baliho itu? Atau jemaahnya?

Akhirnya, pada Sabtu (4/2/2023) pagi, bertemu si “senyum merekah” di salah satu tempat yang sejuk dan asri di Kawasan Dau.
Seperti biasanya, dia menyambut dengan ramah, tak lupa senyum khasnya.
Setelah kangen-kangenan dan basa-basi sembari nyeruput kopi tubruk, sejumlah pertanyaan yang sudah mengendap itu segera diberondongkan. Tak lama kemudian, ia berdiri sebentar. Mengambil buah durian di seberang meja, lalu disuguhkan di meja tempat ngobrol.
Dia pun mulai menjawab satu per satu. Tapi tak selalu utuh, karena puluhan tamu di tempat itu selalu ingin “say hallo” dengan si Abah. Ada yang sekedar salaman sambil menanyakan kabar, ada juga yang dilengkapi dengan selfie. Semua dilayani dengan ramah, sembari melempar senyum merekahnya.
“Saya juga heran, kok ada baliho-baliho itu. Bahkan tidak hanya satu, ada banyak. Baik di kampung-kampung maupun sudut-sudut tengah kota,” kata Abah Anton saat ditanya ihwal banyak “baliho rindu”.
“Yang pasti bukan saya yang masang. Kan gak logis mas, masak saya rindu dengan saya sendiri,” kelakarnya.
Ia tidak tinggal diam. Dan akhirnya, selidik punya selidik, ternyata memang banyak warga masyarakat, termasuk komunitas yang berinisiatif memasang baliho-baliho itu.
“Ada teman sekolah semasa SMP, dan lain sebagainya. Ya saya apresiasi, saya tidak mungkin melarang itu,” kata Abah lagi.
“Jemaah saya kan juga banyak, dan saya tidak tau satu persatu. Jauh sebelum jadi wali kota dulu, saya memang rutin menggelar pengajian di rumah, dan selalu tumpah ruang hingga di jalan-jalan pesertanya,” kata dia lagi.
Lalu, apakah benar dia ingin kembali berkontestasi pada Pilkada 2024? “Ha ha ha… saya tidak berpikir seperti itu,” sergahnya.
Namun dia tak menampik, memang banyak dorongan dari berbagai pihak untuk kembali maju, kembali memimpin kota yang ia cintai ini. Dia mengapresiasi itu.
Dia mengaku senang dan bangga, karena itu sifatnya bottom up, kesadaran yang tumbuh dari bawah, dari masyarakat.
Dia juga tak memungkiri, banyak mimpi-mimpi tentang kemajuan kota tempat ia dilahirkan yang belum terwujud.
Tapi, sekali lagi dia menampik, saat ditanya apakah akan kembali mencalonkan diri? “Gak, gak kepikir… sing penting tahes kabeh ya,” sergahnya lagi.
Nah itulah substansi pertemuan dengan si Abah, mulai pukul 10.00 pagi hingga menjelang Ashar.
Apakah Abah sungguh-sungguh dengan jawaban-jawaban itu? tak ada yang tahu, Hanya Abah dan Allah SWT yang tahu… ditunggu saja. (Zal)