JAVASATU.COM– Suara perlawanan berteriak lantang dari atas panggung Gedung Kesenian Gajayana, Kota Malang, Sabtu malam (26/7/2025). Konser bertajuk Sambang Sambung yang digelar Anto Baret bukan sekadar pertunjukan musik, ini adalah panggung kritik sosial yang meledak bersama ribuan penonton.

Lewat peluncuran album terbarunya Sketsa Jalanan, Anto Baret membuktikan bahwa musik jalanan bukan lagi milik trotoar semata, tapi telah menjelma menjadi senjata tajam melawan ketidakadilan dan pembungkaman.
“Ini bukan sekadar konser, ini adalah perlawanan budaya. Suara dari jalanan tidak akan diam lagi,” tegas Yoga dari BM Production, promotor konser sekaligus kolaborator dari Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ).
Dengan sembilan lagu bertema solidaritas, kemiskinan struktural, dan kecintaan pada tanah air, Anto tampil menghentak panggung bersama sederet musisi nasional seperti Toto Tewel, Tege Dreads, Mike dan Bob Marjinal, serta Yose Kristian.
Lagu-lagu seperti Ayah Ibu, Lelaki Malam, Arwah, dan Sketsa Jalanan meraung keras, menggugah kesadaran publik yang memenuhi kursi-kursi auditorium.
“Musik tetap menjadi senjata paling halus dan ampuh untuk melawan lupa,” tegas Yoga lagi.
Tak hanya Anto, dua band pembuka, Tali Jiwa Baladanesia dan Arca Tatasawara juga membawa energi perlawanan ke panggung. Lagu Nusantara dari Arca yang dibumbui unsur etnik, rock, dan aroma jaranan sukses memompa adrenalin penonton.
Sementara Tali Jiwa dengan balada jalanan khasnya membakar semangat hadirin lewat narasi-narasi kejujuran sosial.
Konser menjadi semakin emosional ketika istri Anto Baret naik ke panggung dengan kue ulang tahun, disambut gemuruh penonton.
Komunitas Gimbal Alas menambahkan kejutan dengan memberikan potret eksklusif Anto dan sang istri, memperkuat aura kehangatan malam yang penuh makna itu.
Anto S. Trisno, atau lebih dikenal sebagai Anto Baret, bukan nama asing dalam peta musik jalanan. Julukan “Baret” sendiri disematkan oleh Iwan Fals sebagai bentuk penghormatan atas konsistensinya menyuarakan keresahan wong cilik selama puluhan tahun.
Seakan, sabtu malam, bukan hanya konser biasa. Dinding-dinding ketidakpedulian pun ikut retak. Dan suara jalanan, akhirnya berteriak di ruang yang selama ini terlalu rapi untuk mendengar. (arf)