
OPINI
Guru Lagu lan Guru Wilangan
Oleh: Imam S.A.R – Pemerhati Pendidikan
Secara pengertian, guru lagu adalah kesesuaian bunyi vokal pada setiap baris (larik), yang melambangkan konsistensi, ketenangan, dan harmoni. Sementara guru wilangan adalah jumlah suku kata dalam setiap baris, yang mencerminkan kedalaman atau kuantitas pemikiran pada satu fase kehidupan. Dalam dunia pendidikan, negeri ini terus melahirkan cikal bakal guru-guru hebat. Namun, terlepas dari peran guru formal di sekolah, setiap orang sejatinya bisa menjadi guru dalam kehidupan sehari-hari.
Guru lagu juga menggambarkan sosok guru yang konsisten dalam menyampaikan pembelajaran di kelas, tenang dalam mengambil sikap maupun tindakan, serta harmonis dalam bersosialisasi dengan siapa pun. Tipikal guru lagu biasanya disiplin, patuh, dan tertib dalam administrasi. Sementara guru wilangan melambangkan guru yang memiliki nilai ide, gagasan, atau pemikiran yang menjadi penentu perkembangan pendidikan di lembaga yang dinaunginya. Jiwa visioner seorang guru wilangan sangat kuat, karena idenya selalu kreatif, imajinatif, dan berorientasi pada masa depan.
Secara harfiah, kata “Guru” dalam bahasa Sansekerta memiliki arti “berat”. Kata ini merupakan gabungan dari dua suku kata, yaitu “gu” yang berarti kegelapan, dan “ru” yang berarti cahaya atau terang. Dengan demikian, sosok guru diibaratkan sebagai penghilang kegelapan yang menerangi jalan pengetahuan dan menghapus kebodohan muridnya. Guru digambarkan seperti lilin yang menyala, menerangi sekeliling meski tubuhnya ikut terbakar. Pengorbanan seorang guru memang tak mengenal waktu dan tenaga; ia rela berjuang demi murid-muridnya.
Akhir-akhir ini dunia pendidikan sering diguncang berbagai masalah yang menyelimuti guru nasional, mulai dari kebijakan undang-undang keguruan hingga kasus asusila dan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. Dalam setiap problematika tersebut, guru kerap menjadi korban. Salah satu contohnya, organisasi yang menaungi guru banyak berlomba-lomba menunjuk pimpinan lembaga, padahal sebagian besar tidak berprofesi sebagai guru. Iuran anggota sering dipotong langsung dari gaji bulanan yang terbatas, namun ketika guru menghadapi masalah, dukungan dari organisasi nyaris tidak ada. Guru terpaksa berjuang sendiri seolah tanpa payung hukum yang melindungi. Hal ini mempertanyakan makna motto “Dari Guru, Oleh Guru, Untuk Guru,” yang seharusnya menjadi ikatan kuat untuk saling mendukung dan menguatkan sesama profesi.
Dalam memperingati Hari Guru Nasional 2025, yang mengusung tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat,” tema ini menegaskan bahwa guru bukan sekadar pendidik, tetapi juga pondasi utama yang menopang kekuatan dan kemajuan bangsa. Sejatinya, seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Jika hanya mengajar, guru sekadar menyampaikan materi dari berbagai sumber buku.
Sebagai pendidik, guru bertugas mengarahkan perubahan akhlak dan kepribadian siswa untuk membentuk karakter peserta didik. Dulu, akronim guru adalah “digugu lan ditiru” (dipatuhi dan diteladani). Jangan sampai hal ini diplesetkan menjadi “di gugu lan di guyu,” karena sikap seperti itu telah melenceng dari marwah seorang guru.
Ada pepatah yang mengatakan, “Saat pohon tumbang, semua orang mendengar suaranya. Tapi saat pohon sedang tumbuh, tak seorang pun mendengarnya.” Artinya, banyak orang tidak peduli dengan proses panjang seorang guru dalam menanam ilmu pada muridnya, namun dunia seakan berguncang saat terjadi kesalahan kecil pada guru.
Dalam surat QS. Al-Baqarah ayat 31 disebutkan: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: ‘Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) seluruhnya, jika kamu orang yang benar!’”.
Relevansi ayat ini menunjukkan keutamaan seorang guru yang memiliki ilmu dan kemampuan untuk menyalurkan pengetahuan kepada murid-muridnya. Marilah kita jaga marwah guru ini, sebagaimana tertanam ikhlas dalam hati seorang guru sejak niat awal menjalankan profesinya.
Guru lagu dan guru wilangan bukan sekadar aturan dalam tembang macapat, tetapi juga merupakan metafora kehidupan yang mengajarkan kita untuk selalu menjaga keseimbangan antara kuantitas dan kualitas dalam menjalani hidup. Saatnya guru terus belajar, berkolaborasi, dan melangkah dengan program yang terarah.
Dalam bagian penutup Amanat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada Peringatan Hari Guru Nasional 2025, disampaikan:
“Kami tidak meminta Anda bekerja keras, kami meminta Anda bekerja lebih cerdas, fokus, dan bermakna. Kami akan terus berupaya menghilangkan segala kendala struktural yang membelenggu potensi Anda. Mari jadikan Hari Guru Nasional 2025 ini sebagai momentum untuk memperbaharui janji kita kepada bangsa: Mendidik dengan hati, Mengabdi tiada henti.”
Selamat Hari Gur Nasional 2025. Guru Hebat, Indonesia Kuat. (*)