JAVASATU.COM- Di balik diskusi angka-angka ekonomi makro, terselip sebuah momen krusial dalam percakapan antara Menkeu Purbaya Sadewa dan Gita Wirjawan. Momen itu adalah ketika Gita, dengan basis datanya yang kuat, menyodorkan “cermin” yang memperlihatkan wajah bopeng Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Kita sering mendengar jargon “Bonus Demografi”, namun Gita Wirjawan mengingatkan bahwa tanpa keahlian spesifik, bonus itu bisa menjadi bencana. Fokus utamanya adalah STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).
Kalah Telak: 250 Ribu vs 4,5 Juta
Gita Wirjawan membuka fakta yang membuat siapapun yang mendengarnya menelan ludah. Ia membandingkan jumlah lulusan insinyur dan sains (STEM) Indonesia dengan negara-negara pesaing.
“Indonesia hanya bisa produksi kurang lebih 250.000 produk STEM,” papar Gita.
Angka itu terlihat kerdil jika disandingkan dengan raksasa Asia lainnya. “Tiongkok itu 4,5 juta setiap tahun. India 2 sampai 2,5 juta,” lanjut Gita. Bahkan untuk level Asia Tenggara saja, total lulusan STEM mencapai 750.000, yang artinya Indonesia tertinggal jauh dari gabungan tetangganya sendiri.
Lebih miris lagi ketika melihat jumlah mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat, kiblat teknologi dunia. Saat ini, hanya ada sekitar 8.500 mahasiswa Indonesia di sana. Bandingkan dengan India yang mengirim 350.000 orang, atau China dengan 280.000 orang.
“Ngeri ngelihat India sama Tiongkok. Kita pasti kalah,” Purbaya mengakui dengan jujur.
Akar Masalah: Gaji Guru yang “Tidak Manusiawi”
Mengapa kita sulit mencetak orang pintar? Purbaya Sadewa tidak mencari kambing hitam. Ia menunjuk langsung ke jantung masalah: kesejahteraan guru.
Dalam pandangan Purbaya, mustahil mengharapkan murid yang cerdas jika gurunya sendiri kesulitan bertahan hidup. Ia menyoroti gaji guru yang masih berkutat di angka Rp2,8 juta per bulan.
“Kalau gurunya digaji 2,8 juta… dia enggak bisa naruh makanan di atas meja,” ujar Purbaya prihatin.
Akibatnya, talenta-talenta terbaik bangsa enggan menjadi pengajar. Mereka yang cerdas dan menguasai teknologi lebih memilih bekerja di perusahaan raksasa bergaji tinggi. “Mendingan gua kerja di Amazon,” cetus Purbaya menirukan pola pikir logis para talenta muda tersebut.
Ini menciptakan lingkaran setan: orang pintar enggan mengajar, sehingga kualitas murid menurun, dan Indonesia semakin kekurangan orang pintar.
Solusi 1: Sekolah “Sultan” ala Prabowo
Menyadari krisis ini, Purbaya membeberkan rencana ambisius Presiden Prabowo untuk memotong kompas ketertinggalan kualitas pendidikan. Pemerintah tidak lagi hanya bermain di level subsidi operasional, tapi membangun infrastruktur pendidikan elit untuk rakyat.
Rencananya, pemerintah akan membangun sekolah-sekolah unggulan terintegrasi (integrated schools) dengan standar internasional. Biayanya tidak main-main.
“Satu sekolah dianggarkan sekitar Rp300 miliar,” ungkap Purbaya.
Untuk tahap awal (pilot project), akan dibangun 40 sekolah dengan total anggaran Rp12 triliun. Namun, visi jangka panjang Presiden jauh lebih gila: membangun hingga 7.000 sekolah serupa di seluruh Indonesia.
“Saya sakit perut ketika dengar 7.000… (butuh) 1.000 triliun lebih,” aku Purbaya jujur mengenai beban anggaran yang harus ia siapkan. Namun, ia sepakat bahwa investasi mahal ini adalah harga mati untuk menyelamatkan NKRI di masa depan.
Solusi 2: Beasiswa “Grosiran” (Wholesale)
Selain memperbaiki sekolah di dalam negeri, Gita Wirjawan mengusulkan revolusi dalam cara Indonesia mengirim mahasiswa ke luar negeri lewat LPDP. Selama ini, pendekatannya adalah “retail”—membiayai satu per satu mahasiswa yang diterima.
Gita menyarankan pendekatan “wholesale” atau grosiran, meniru cara China dan Singapura. Caranya adalah dengan memberikan dana abadi (endowment) kepada kampus top dunia seperti Stanford atau Oxford untuk membuat kursi khusus (professorship).
“Saya mau kerja sama dengan Stanford, berapa biayanya kira-kira untuk berapa orang?”, tanya Purbaya ke Gita.
“Untuk Professorship 6 juta dolar,” jelas Gita memberikan ilustrasi.
Dengan cara “membeli” kursi dan profesor di sana, Indonesia bisa memastikan kuota tetap bagi putra-putri terbaiknya untuk belajar teknologi mutakhir, dan sang profesor memiliki kewajiban moral untuk memajukan riset Indonesia.
Purbaya menyambut ide ini dengan antusias. “Saya pengin tahu bisa enggak LPDP dialihkan ke sana uangnya sebagian… Kita kejar,” responnya.
Perpaduan antara perbaikan kesejahteraan guru, pembangunan sekolah unggulan, dan pengiriman mahasiswa secara masif ini diharapkan bisa menjadi rem darurat untuk menghentikan ketertinggalan Indonesia. Jika tidak dimulai sekarang, seperti kata Purbaya, kita hanya akan jadi penonton saat China dan India menguasai dunia. (jup)
Sumber: Diolah dari kanal YouTube Gita Wirjawan (Tayang: 3 Desember 2025)