JAVASATU.COM- Buku berjudul Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang resmi diluncurkan dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-111 Kota Malang.
Peluncuran dan bedah buku digelar di Grand Mercure Hotel Malang, Jumat (19/12/2025), dan dihadiri Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin, penulis, pegiat budaya, serta pelaku literasi Malang Raya.

Buku setebal 550 halaman tersebut mengulas perjalanan Stadion Gajayana sebagai stadion tertua di Indonesia yang masih berdiri dan aktif digunakan.
Stadion ini dibangun pada 1924-1926 dan menjadi saksi berbagai fase sejarah Kota Malang, mulai era kolonial, pendudukan Jepang, perjuangan kemerdekaan, hingga perkembangan olahraga modern.
Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin menyebut penerbitan buku ini sebagai bentuk pelestarian sejarah dan identitas kota melalui literasi.
Menurutnya, pembangunan kota tidak boleh mengabaikan akar budaya dan sejarah.
“Membangun kota harus berorientasi masa depan, tetapi tidak boleh kehilangan jati diri dan nilai-nilai kebudayaan. Buku ini menjadi penanda zaman dan warisan bagi generasi mendatang,” kata Ali dalam sambutannya.
Ali menilai proses penulisan buku tersebut sebagai bentuk tanggung jawab intelektual. Ia menyebut literasi memiliki peran penting dalam menjaga memori kolektif sebuah kota agar tidak tergerus modernisasi.
Buku Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang disusun oleh sekitar 40 penulis lintas disiplin yang tergabung dalam tim Spektrum Satu Abad Stadion Gajayana. Para penulis berasal dari kalangan sejarawan, akademisi, jurnalis, budayawan, arsitek, hingga praktisi olahraga.
Isi buku dibagi dalam 12 bab yang membahas transformasi fisik stadion, konteks sosial-historis Kota Malang, peran stadion sebagai ruang publik, hingga gagasan pengembangan Stadion Gajayana sebagai pusat GLAM (Gallery, Library, Archive, and Museum). Narasi tidak hanya memotret masa kejayaan, tetapi juga tantangan yang pernah dihadapi stadion tersebut.
Ketua IKAPI Kota Malang sekaligus pimpinan Media Nusa Creative Publishing, Gedeon Soerja Adi, menilai buku ini sebagai tonggak penting literasi lokal. Ia menyebut buku tersebut bukan sekadar dokumentasi sejarah, melainkan warisan budaya Kota Malang.
“Sejarah lokal harus ditulis dengan kesadaran jangka panjang. Buku ini memperkuat identitas Malang sebagai Kota Kreatif Dunia yang diakui UNESCO,” ujarnya.
Selain menjadi bagian perayaan HUT ke-111 Kota Malang, peluncuran buku ini juga menegaskan posisi Stadion Gajayana sebagai ruang sejarah dan budaya.
Stadion tersebut tercatat pernah menjadi lokasi penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 1942, markas perjuangan rakyat Malang, hingga ruang publik yang menyatukan memori kolektif warga.
Melalui buku ini, Stadion Gajayana tidak hanya dikenang sebagai bangunan olahraga, tetapi juga sebagai bagian dari jiwa Kota Malang yang terus hidup dan diwariskan lintas generasi. (arf)