JAVASATU.COM-MALANG- Penertiban unit Aset Milik Negara di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang diwarnai aksi saling dorong antara aparat Sat Pol PP dengan pengguna Aset Negara, Jumat (14/7/2024). Puluhan massa mencoba menahan petugas yang hendak mengosongkan rumah di Jalan Ijen no 75 B secara paksa.
Petugas dan Pihak keluarga terlibat adu mulut hingga terlibat aksi saling dorong. Beberapa oknum diamankan untuk membuat suasana segera kondusif.
Tak lama truk angkut datang dan segera masuk ke dalam rumah dinas. Barang barang pengguna aset juga dikosongkan.
Penertiban dilakukan di Rumah Dinas Keluarga dari Direktur Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang periode 1959 – 1966, Sosrodoro Jatikusumo. Keluarga merasa tak terima dikosongkan secara paksa, dan justru mempertanyakan kepada pihak rumah sakit atas penyelesaian hutang miliaran rupiah yang belum dibayarkan pada pihak keluarga.
Perwakilan pihak keluarga, Aria Cipta Soebandrio mengatakan, keluarganya dahulu meminjamkan uang senilai Rp200 ribu ke pihak rumah sakit pada 3 September 1959. Uang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional rumah sakit.
Sosrodoro Jatikusumo sampai harus menjual rumahnya di Kediri untuk membantu RSSA. Namun hingga generasi ketiga, hutang tersebut belum pernah dibayarkan.
“Beliau itu menjual rumahnya di kediri, senilai Rp300 ribu, dari Rp300 ribu itu, Rp200 ribu beliau pinjamkan ke rumah sakit,” kata Aria, Jumat (14/6/2024).
Pihak keluarga sebelumnya sudah menanyakan perihal hutang yang belum dibayar tersebut pada RSSA. Rencana uang tersebut akan dibayarkan untuk membeli rumah dinas yang kini ditempati dengan mengangsur. Namun hingga kini belum ada jawaban apapun dari RSSA.
Pada tahun 1970, Sosrodoro meminta uangnya dikembalikan, juga tidak ada jawaban dari pihak rumah sakit. Kondisi ini hingga bertahun-tahun menempati rumah dinas tersebut, dan Sosrodoro meninggal pada tahun 1983.
“Hingga sampai sekarang tidak ada kejelasan dari pihak rumah sakit mengenai rumah dan utang piutang tersebut,” katanya.
Menurut keluarga, setiap kali menagih hutang ke RSSA selalu berkelit bahwa hutang tersebut tidak bisa dilacak. Padahal pihak keluarga memiliki bukti kuat kwitansi soal peminjaman hutang.
“Rumah sakit selalu bilang, hutang itu tidak bisa di-tracking, penggunaannya tidak jelas kemana,” katanya.
Pihak keluarga rencananya akan menempuh jalur hukum dengan melayangkan gugatan ke pengadilan soal hutang tersebut. Pihak keluarga merasa tidak mendapatkan keadilan dalam persoalan ini.
“Kami menuntut pengembalian hutang senilai Rp10 miliar, walupun kami sadar, ya sudah senilai rumah saja, layak tinggal. Sekarang hutangnya tidak dikembalikan, rumahnya tidak boleh dicicil, makanya kami dari pihak keluarga tidak bisa menerima kalau tiba-tiba ada penertiban,” ujarnya.
Sementara Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSSA Malang, Henggar Sulistiarto menyampaikan, aset rumah dinas tersebut sejatinya adalah milik Pemprov Jatim dan hak penggunaannya diamanahkan ke RSSA.
Dia juga menegaskan, bahwa pihaknya secara legal memiliki bukti sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dikeluarkan pada tahun 2016.
“Proses penertiban karena amanat pemerintah daerah difungsikan digunakan sesuai regulasi yang ada. Jadi di sini rumah dinas, akan kami gunakan untuk rumah dinas direktur yang berikutnya, yang saat ini,” ungkapnya.
Perihal hutang piutang, pihaknya tidak memahami masalah tersebut. Kendati demikian RSSA siap jika harus diselesaikan secara hukum di pengadilan.
“Artinya ya boleh-boleh saja, secara sepihak itu mengakui, atau ada bukti yang mereka sampaikan, tapi itu monggo kalau nanti dilakukan di PN, ya itu ada keputusan pengadilan secara sah,” pungkasnya. (Dop/Saf)