JAVASATU.COM- Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan rasio pajak. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk Alumni Connect Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, yang merupakan wadah alumni mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri.

Choirul Anam, PhD, Wakil Presidium Alumni Connect PPI Dunia, menyampaikan bahwa kenaikan PPN berpotensi berdampak negatif pada perekonomian masyarakat. Salah satu alasan yang disampaikan adalah dampak kenaikan harga barang yang dapat melemahkan daya beli masyarakat, yang masih dalam proses pemulihan pasca pandemi COVID-19.
Anam menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan alternatif lain, seperti ekstensifikasi pajak dan peningkatan pajak perusahaan besar, ketimbang membebani masyarakat dengan kenaikan PPN.
“Kenaikan PPN berpotensi melambatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pengangguran. Dalam masa pemulihan ekonomi, langkah seperti ini harus dikaji ulang,” ujar Anam, yang juga alumni kebijakan publik dari Charles University, Praha, Rabu (4/12/2024).
Selain itu, Alumni Connect juga memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global, mengingat harga barang akan semakin mahal.
Anam menambahkan, banyak perusahaan asing yang sudah meninggalkan Indonesia, dan kenaikan PPN bisa memicu lebih banyak perusahaan untuk mengurangi investasi di tanah air.
Faktor kemiskinan juga menjadi perhatian utama, di mana kenaikan PPN diprediksi akan semakin sulit bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk mengembangkan usaha atau mencari pekerjaan. Alumni Connect menilai, pemerintah bisa mencari sumber pendapatan lain, seperti meningkatkan royalti pertambangan dan optimalisasi obyek pajak yang selama ini luput dari perhatian, untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
“Peningkatan PPN mungkin tidak berdampak signifikan pada penerimaan negara, tapi efek domino negatifnya terhadap ekonomi bisa lebih besar,” tambah Anam menutup keterangannya. (Saf)