JAVASATU.COM- Peneliti Universitas Brawijaya (UB) Malang mengungkapkan bahwa campuran etanol hingga 30 persen dalam bahan bakar minyak (BBM) aman untuk digunakan di kendaraan bermotor. Temuan ini disampaikan Guru Besar Fakultas Teknik UB, Prof. Wardana, dalam forum diskusi bertajuk “Menakar Satu Tahun Kemandirian Energi: Janji dan Realisasi Pemerintahan Prabowo–Gibran” di Malang, Kamis (16/10/2025).

Prof. Wardana menjelaskan, riset mengenai penggunaan etanol sebagai campuran BBM sudah dilakukan di Universitas Brawijaya sejak 1980-an. Kala itu, tim peneliti bahkan mencampur etanol 20–30 persen ke dalam bensin, dikenal dengan istilah gasohol.
“Risetnya sudah lama, sejak era Pak Habibie. Kami waktu itu dapat pendanaan dari BPPT untuk menguji etanol 20 persen dalam bensin. Hasilnya aman untuk mesin,” ujar Prof. Wardana.
Ia menambahkan, penelitian tersebut sempat terhenti karena harga BBM fosil di Indonesia dulu terlalu murah, sehingga program biofuel tidak dilanjutkan. Kini, dengan harga bahan bakar yang naik dan ketergantungan impor meningkat, program energi bersih kembali relevan.
“Etanol itu bahan bakar bersih. Dulu tidak jalan karena harga BBM murah. Tapi sekarang, kondisinya berbeda, saatnya kembali ke ide awal Pak Habibie,” tegasnya.
Lebih lanjut, hasil riset terbaru UB menunjukkan bahwa campuran etanol justru meningkatkan kualitas pembakaran mesin, karena menaikkan kadar oktan BBM.
“Kalau dicampur etanol, bahan bakar murah bisa jadi lebih efisien dan pembakarannya bersih,” jelasnya.
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan kebijakan mandatori E10 (etanol 10%) untuk bensin dan B50 (biodiesel 50%) untuk solar yang akan mulai diterapkan pada 2026. Menurut Prof. Wardana, kebijakan ini dapat mengurangi impor minyak hingga 20 persen.
“Sebagian besar impor kita untuk kendaraan. Kalau pakai E10 dan B50, impor bisa turun signifikan,” ujarnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB, Andhyka Muttaqin, menilai kebijakan biofuel merupakan bentuk nyata reformasi energi berkelanjutan. Namun, ia menekankan pentingnya tahapan yang jelas agar masyarakat dan industri dapat beradaptasi.
“Kebijakan bagus kalau ada tahapan dan komunikasi publik yang baik. Jadi masyarakat nggak kaget, dan pemerintah bisa mengontrol transisinya,” katanya.
Dari sisi ekonomi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang, Dr. Muhammad Sri Wahyudi Suliswanto, menilai program biofuel berpotensi besar mewujudkan kemandirian energi nasional.
“Kalau sektor hulu dan hilir bisa tersambung, ini akan jadi instrumen pemerataan ekonomi sekaligus mengurangi ketergantungan impor migas,” ujarnya.
Para akademisi menilai arah kebijakan energi nasional di bawah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia kini mulai berpijak pada dasar ilmiah, yakni berbasis riset, bertahap dalam implementasi, dan berorientasi pada kemandirian energi bersih nasional. (dop/arf)