JAVASATU.COM- Sidang perkara dugaan pemerasan oleh oknum wartawan dan aktivis LSM yang terjadi di Pondok Hadramaut Punten, Kota Batu, berlangsung dramatis.

Agenda pembacaan pledoi di ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Malang, Senin (13/10/2025), diwarnai isak tangis terdakwa dan permohonan pembebasan dari kuasa hukum.
Terdakwa YLA, seorang wartawan, tak kuasa menahan tangis saat membacakan pledoi pribadinya. Dengan suara terbata-bata, ia menyatakan penyesalan mendalam atas kasus yang menjeratnya.
“Saya teramat menyesal dengan kejadian ini. Semoga istri dan anak-anak saya kuat menghadapi cobaan ini,” ucap YLA sambil terisak.
Dalam pledoinya, YLA mengungkap bahwa permintaan untuk menurunkan (take down) berita pencabulan di Pondok Hadramaut datang dari Kiai Munir, bukan dari dirinya.
Menurut YLA, Kiai Munir bahkan menyetujui pemberian uang Rp25 juta sebagai biaya take down berita, dan kemudian melaporkan dirinya atas tuduhan pemerasan.
“Kiai Munir sendiri yang minta berita dihapus dan memberi biaya Rp25 juta. Kok malah saya yang dilaporkan pidana pemerasan, padahal semua sudah disepakati, termasuk uang Rp340 juta yang diberikan,” ujarnya.
YLA juga meminta agar FAA, pengacara korban pencabulan, turut dijadikan terdakwa karena dianggap berperan sentral dalam perkara ini.
Sementara itu, terdakwa FDY, Ketua P2TPA sekaligus aktivis Komnas Perlindungan Anak, juga menyampaikan permintaan maaf dalam pledoinya. Ia mengaku niat baiknya membantu Kiai Munir justru berujung masalah hukum.
FDY menuturkan, pada Desember 2024, Kiai Munir berulang kali datang ke rumahnya untuk meminta bantuan menyelesaikan kasus pencabulan di Pondok Hadramaut. Kiai Munir disebut memberinya uang Rp7 juta sebagai “bisyaroh” dan berjanji menambahnya jika kasus bisa diselesaikan.
“Sejak awal saya sudah katakan, kasus pencabulan tidak bisa dihentikan. Tapi Kiai Munir tetap memaksa dan memberi uang Rp7 juta. Belakangan saya justru dilaporkan memeras,” kata FDY.
Kuasa Hukum Tegaskan Kasus Bersifat Perdata
Tim kuasa hukum terdakwa yang terdiri dari Kayat Hariyanto, Kriswanto, Bahrul Ulum, dan Kresna Hari Murti, menegaskan bahwa perkara tersebut murni bersifat perdata, bukan pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Batu.
“Fakta persidangan menunjukkan bahwa pelapor, Kiai Munir, sejak awal yang meminta bantuan FDY dan memberi sejumlah uang. Bahkan kesepakatan pembayaran terhadap pengacara FAA dan uang Rp340 juta kepada korban juga diketahui serta disetujui oleh Kiai Munir,” ujar Kayat dalam pledoi setebal 55 halaman.
Kuasa hukum pun meminta majelis hakim membebaskan kedua terdakwa dari segala dakwaan atau setidaknya melepaskan mereka dari tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsvervolging).
“Perkara ini jelas perdata. Karena sudah ada kesepakatan di antara para pihak, seharusnya majelis hakim membebaskan para terdakwa,” tegas Kayat.
JPU Tuntut 1 Tahun 4 Bulan Penjara
Sebelumnya, pada 6 Oktober 2025, JPU Kejari Batu menuntut kedua terdakwa dengan hukuman 1 tahun 4 bulan penjara. Keduanya dinilai terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penipuan dan turut serta melakukan perbuatan pidana.
Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 20 Oktober 2025, dengan agenda replik atau tanggapan JPU terhadap pledoi terdakwa dan kuasa hukumnya. (arf)