JAVASATU.COM- Rekaman suara leluhur suku Nias yang direkam hampir seabad lalu akhirnya kembali ke tanah asalnya. Bertempat di Double V Coffee & Eatery, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025), dialog interaktif bertajuk “Suara yang Pulang” menjadi momentum penting repatriasi arsip budaya Nias.

Acara ini digelar oleh Suno Zo’aya Foundation bersama kaum muda BKPN Jemaat Jakarta, PT. Inko Dmentec Indonesia, Nafulu Bawömataluo Diaspora, dan Bravely Foundation. Puluhan diaspora Nias, akademisi, dan pemerhati budaya hadir dalam forum dua jam yang penuh makna.
Repatriasi Suara Hoho dari Belanda ke Nias
Rekaman yang dipulangkan merupakan dokumentasi suara hoho, seni nyanyian narasi bersahutan khas Nias yang direkam oleh etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, pada 1930. Setelah 94 tahun tersimpan di Belanda, arsip ini secara simbolis dikembalikan kepada masyarakat Nias, baik di kampung halaman maupun komunitas diaspora.
Proyek ini digagas oleh Doni Kristian Dachi, pegiat budaya asal Nias Selatan, dan didukung oleh Dr. Barbara Titus dari Universiteit van Amsterdam, yang juga kurator koleksi Jaap Kunst. Titus sebelumnya telah menyerahkan arsip ke tujuh desa di Nias, seperti Hilisimaetanö dan Bawömataluo, antara 25 Juni hingga 9 Juli 2025.
Tradisi Lisan yang Kembali Hidup
Acara dibuka dengan pemutaran rekaman hoho lengkap dengan dokumentasi visual perjalanan Kunst. Suara yang hampir hilang itu menggugah emosi peserta. Doni menyebut momen ini bukan sekadar nostalgia, melainkan pengakuan atas identitas dan hubungan batin yang sempat tercerai.
Titus menekankan bahwa repatriasi bukan sekadar mengembalikan arsip digital, tetapi juga soal hak komunitas untuk mengelola dan menghidupkan warisan budaya mereka.
Anak Muda Diaspora Bawakan Mazmur 23 dengan Nada Leluhur
Suasana dialog semakin hidup ketika grup vokal Hoho Nafulu Bawömataluo Diaspora tampil membawakan Mazmur 23 dalam nada hoho. Penampilan mereka menyatukan religiositas modern dengan tradisi leluhur.
Selain itu, mini-pameran dokumentasi repatriasi di Nias Selatan turut memperkaya pemahaman peserta mengenai proses pengembalian arsip budaya.
Diskusi, Kritik, dan Harapan Masa Depan
Sesi tanya jawab menyentuh isu teknis dan etik dalam repatriasi. Titus menekankan pentingnya transfer of agency, yaitu alih pengelolaan arsip kepada komunitas sumber. Doni menegaskan komitmen agar masyarakat Nias tidak lagi jadi objek studi, tapi subjek aktif dalam pelestarian budayanya.
Dr. Widya Fitria Ningsih dari UGM menyoroti dimensi dekolonisasi. Ia menyebut repatriasi sebagai langkah membongkar narasi sejarah yang selama ini sentralistik dan tidak memberi ruang bagi budaya lokal seperti Nias.
Penyerahan Arsip dan Simbol Komitmen Budaya
Sebagai penutup, salinan digital arsip diserahkan kepada beberapa perwakilan komunitas, termasuk Forum Komunikasi Nihakeriso Ononiha dan Nafulu Bawömataluo Diaspora. Ukiran simbolis karya pengrajin dari Bawömataluo juga diberikan sebagai wujud pelestarian warisan.
Doa bersama dan penghormatan kepada leluhur menutup acara dengan penuh haru. Bagi para peserta, suara-suara leluhur bukan hanya peninggalan masa lalu, tetapi denyut hidup identitas hari ini dan inspirasi masa depan.
“Setiap suara itu hidup. Ini bukan akhir, tapi awal dari penghidupan kembali budaya Nias,” tegas Barbara Titus. (arf)