JAVASATU.COM-MALANG- Pembongkaran Stadion Kanjuruhan menjadi sorotan publik. Pasalnya, stadion termegah di Malang itu, statusnya saat ini masih menjadi alat bukti petugas atas meninggalnya 135 suporter Aremania-Aremanita.

Informasi yang berkembang di lapangan menyebut, dugaan sementara pembongkaran tersebut dilakukan oleh CV Anam Jaya Teknik (AJT). Mereka berdalih berani melakukan pembongkaran atas perintah dari pengusaha yang paling berpengaruh di Malang Raya.
Koordinator Badan Pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ProDesa Malang, Ahmad Kusaeri menanggapi pembongkaran pagar tribun stadion kanjuruhan yang dianggap secara illegal.
“Kami (ProDesa) mendukung laporan polisi yang dilakukan oleh Dispora Kabupaten Malang, karena instansi tersebut paling bertanggungjawab atas keberadaan stadion yang telah merenggut ratusan nyawa manusia itu,” ucapnya, Senin (5/12/2022).
Kusaeri juga mengetahui bahwa pihak Kepolisian masih melakukan penyidikan atas tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu. Sementara stadion Kanjuruhan masih menjadi alat bukti.
“Kami cukup menyayangkan kenapa Dispora tidak menghadangnya dari awal, kalau ada yang menghadang, pembongkaran ini tidak sampai dilakukan,” jelasnya.
Kusairi menjelaskan, stadion Kanjuruhan itu merupakan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dari kasus hukum yang masih berproses dan menjadi perhatian publik karena masih berpolemik.
“Untuk itu, kami memita kepada Polres Malang untuk selalu melaporkan proses dan progressnya ke publik. Masyarakat berhak tahu setiap perkembangan penyidikannya,” tegasnya.
Kusaeri juga menyebut, tindakan itu bukanlah kasus pencurian atau pengerusakan biasa. Karena jika dilihat pembongkaran itu dilakukan oleh pekerja profesional.
“Itu kasus luar biasa, karena dilakukan siang hari dan secara terbuka, dan tidak meminta izin kepada pengelola stadion (Dispora), serta pekerja itu Memakai seragam, dan menggunakan sarana K3K (Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontruksi) yang lazim sesuai SOP proyek,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Pendamping Saksi dan Korban yang tergabung dalam Sahabat Saksi Korban (SSK) mitra dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Eryk Armando Talla.
Menurut Eryk, dalam peristiwa pengerusakan itu diduga ada skenario yang ingin pengerusakan TKP tragedi yang menewaskan 135 orang Aremania.
“Pelaku itu merasa benar karena membawa Surat Perintah Kerja (SPK), dan sangat yakin atas kebenaran SPK itu, sehingga membuat mereka sangat percaya diri untuk melakukan pekerjaan itu, maka kami meminta Polres Malang untuk memastikan keabsahan SPK itu,” tambahnya.
Sebab, lanjut Eryk, disinyalir SPK itu palsu dan para pekerja tersebut dapat dikenakan pasal 263 KUHP ayat 1 yang berbunyi Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat.
“Itu ancamannya enam tahun penjara, itu merupakan upaya Obstruction of justice yang dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum,” tegasnya. (Agb/Saf)