JAVASATU.COM-MALANG- Anggota DPR RI Dapil Malang Raya, Ahmad Irawan, SH., MH., menyoroti sejumlah isu strategis dalam diskusi bersama pemimpin media, organisasi jurnalis, dan akademisi di Kota Malang, Jumat (21/2/2025).

Dalam acara yang dikemas sebagai sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Rumah Makan Kertanegara itu, Irawan menekankan pentingnya transparansi rekrutmen ASN dan efisiensi anggaran negara.
Menurut politisi muda Partai Golkar yang kini duduk di Komisi II DPR RI tersebut, proses rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Jawa Timur berjalan dengan baik, meski ada tantangan di beberapa daerah.
“Di Kabupaten Malang, formasi sudah hampir terisi semua. Namun, Kota Malang masih ada yang kosong, sedangkan Kota Batu sudah masuk tahap finalisasi. Rekrutmen tahap kedua segera dibuka,” jelas Irawan.
Ia juga menyinggung kebijakan efisiensi anggaran yang tengah menjadi sorotan publik. Menurutnya, hal ini merupakan langkah transisi antara pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Setiap presiden pasti punya prioritas berbeda. Jika pemerintahan sebelumnya fokus pada pembangunan infrastruktur, pemerintahan mendatang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Salah satu bentuk efisiensi adalah pengumpulan Dana Abadi Nusantara sebesar Rp300 triliun sebagai modal awal BUMN,” paparnya.
Di sisi lain, Irawan turut mengklarifikasi isu terkait Tata Tertib (Tatib) DPR yang sempat menuai kontroversi. Ia menegaskan bahwa Tatib hanya mengatur mekanisme pengawasan, bukan memberi kewenangan DPR untuk memberhentikan pejabat negara secara sepihak.
“DPR hanya mengusulkan dan menyeleksi. Untuk jabatan strategis seperti Kapolri dan pimpinan KPK, keputusan akhir tetap berada di tangan presiden, sesuai undang-undang yang berlaku,” tegasnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Negeri Malang, Achmad Nur Abadi, yang turut menjadi pembicara, menyoroti menurunnya semangat diskusi di kalangan mahasiswa.
“Diskusi perlu digiatkan kembali, setidaknya setiap dua atau tiga bulan sekali. Tekanan tugas yang tinggi membuat mahasiswa kehilangan ruang untuk mengasah daya kritis mereka,” pungkasnya. (Jup/Arf)