Oleh: Ar.Haris Wibisono (Nino) – Arsitek
Arek-arek Malang (komunitas) yang memiliki potensi dalam melakukan perubahan dan terlibat aktif dalam pembangunan atau perubahan Kota Malang dari berbagai lini, dalam konteks “Placemaking”.
Saya rasa perlu kiranya membuat catatan kecil tentang arek-arek Malang yang terlibat aktif dalam pembangunan kota Malang, baik pembangunan fisik maupun sosial. Tulisan ini saya buat setelah mencermati dari tahun ke tahun aktivitas beberapa potensi lokal kota Malang. Ada salah satu podcast ES di YouTube Javasatu official yang berjudul “Malang Opo Jare Arek-arek”, menjadi keterkaitan dengan podcast sebelumnya yaitu yang berjudul “Nasib Islamic Center Kota Malang” dan judul “Merancang Ruang Kota Malang dari Perspektif Arsitek”. Bisa dipahami dalam konteks lebih luas bagi keterlibatan Arek-arek mMalang membawa perubahan bagi kotanya.
Bahwa dampak pembangunan fisik suatu kota selalu berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, setelah pembangunan “ruang-ruang” kota menjadi suatu “tempat” yang terbangun (placemaking) dan bisa digunakan secara umum, maka dampak peningkatan kualitas hidup masyarakatnya terpengaruh positif atau tidak itu juga dipengaruhi oleh kreatifitas para activator/aktivis penggerak atau pencipta kegiatan pada ruang-ruang publik kota ataupun bangkitan aktivitas warga kota pada suatu tempat. Baik meningkatkan kerekatan sosial antar kelompok masyarakat/komunitas maupun para penggerak kegiatan-kegiatan tertentu, akan memunculkan kegiatan positif dan membuat ruang-ruang kota menjadi semakin menyenangkan dan ramah bagi warga kota.
Mencermati potensi lokal arek-arek kota Malang dan kiprahnya yang teruji dan terbukti dalam jangka waktu panjang lebih dari 5 tahun terlibat dalam pembangunan kota, maka perlu kita introspeksi bahwa jangan sampai ada suatu sikap dan yang perlu kita hindari yaitu meremehkan potensi lokal dari lintas disiplin ilmu atau bakat yang ikut berperan dalam perubahan kota Malang. Karena cara pandang negatif tersebut akan membuat pincang atau tertaih-tatih dalam percepatan pembangunan kota. Peribahasa “Gajah di pelupuk mata tidak Nampak, kuman diseberang lautan lebih tampak” atau “rumput tetangga nampak lebih hijau”, ini peribahasa yang perlu diingat supaya tidak terjadi penggembosan potensi lokal dalam membuat perubahan di kota Malang. Karena seringkali kita melihat kemajuan kota lain dan potensi orang lain di kota nya nampak hebat melebihi kota Malang, padahal banyak potensi di Kota Malang sendiri yang tidak kalah baik dengan kota lainnya. Namun juga perlu diingat bahwa melibatkan potensi-potensi tersebut harus benar-benar selektif. Utamakan keterlibatan potensi lokal sesuai dengan latar belakang keilmuannya dan pengalaman kiprahnya sebagai individu maupun kelompok yang memiliki energi positif bagi masyarakat. Jangan sampai tumpang tindih mengambil peran orang lain yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya, sehingga menambah carut marut proses pembangunan kota. Sikap keterlibatan yang terlalu dominan melewati batas kemampuan dan latar belakang keilmuan perlu dibarengi dengan sikap mau berbagi dan memberi kepercayaan kepada ahli di bidangnya. Ahli dalam hal ini bisa karena memiliki latar belakang keilmuan maupun pengalaman menekuni bidangnya yang teruji dalam jangka waktu lama. Perjalanan waktu perubahan kota-kota dunia mengajarkan bahwa serahkan suatu urusan pada ahlinya, telah terbukti membawa perubahan positif dan berdaya bangkit bagi kota dan warganya.
Tidak hanya sekali saya membuat catatan tentang pembangunan atau perubahan kota Malang, salah satu nya adalah saya tulis dalam buku yang berjudul “Spektrum Kota Malang”. Di dalam buku tersebut terdiri dari beberapa penulis dari latar belakang yang berbeda-beda, meneropong kota Malang dari sudut pandang yang berbeda-beda pula, namun saling memperkaya wacana pengetahuan tentang kota Malang. Tidak berlebihan jika buku tersebut niat awal penulisannya adalah dijadikan kado buat kota Malang layak untuk dibaca secara luas oleh masyarakat, untuk mengetahui kota Malang di rentang waktu 2018-2023. Diantara tulisan saya tersebut ada yang berkaitan dengan wisata kota (urban tourism) dan merancang ruang kota menjadi sebuah tempat yang bermakna meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya, merubah ruang kota menjadi sebuah tempat yang bermanfaat itu adalah salah satu contoh pendekatan “placemaking”. Keterlibatan siapapun dalam perubahan/pembangunan kota malang bukan hanya sekedar wacana dan tulisan narasi yang sifatnya mengarang indah yang ujungnya terlalu subyektif bagi pemahaman pribadi belum tentu dipahami orang lain, namun keterlibatan aktif dalam skala kecil maupun besar, baik sebagai tim pembantu maupun sebagai actor utama itu perlu dihargai dan dijadikan portfolio sebagai pertimbangan keterlibatan di masa mendatang.
Beberapa pembangunan ruang kota bisa dijadikan contoh untuk mengukur teori atau metode pendekatan placemaking dalam urban design. Sebutlah ruang-ruang terbuka publik di Kota Malang: Alun-alun Masjid Jamik, Bundaran Tugu, Taman Trunojoyo depan stasiun, Taman merbabu, Hutan kota Malabar, Taman Slamet, Taman Jalan Jakarta, Taman Merjosari, Kayutangan. Ruang ruang kota lainnya bisa berwujud bangunan publik seperti: Wisata Gantangan, Islamic Center, Malang Creative Center (MCC), Pasar Oro-oro Dowo, dan lain-lain. Bagaimana “ruang” kota yang dirubah menjadi “tempat” kegiatan masyarakat, dimana definisi ruang itu berbeda dengan tempat, sebuah ruang bisa menjadi sebuah tempat (a space can become a place, space and place is not the same thing). Salah satu kunci keberhasilan suatu ruang atau tempat bisa bangkit dan hidup adalah menghadirkan komunitas yang hidup (living community) di tempat tersebut. Suatu tempat yang memiliki korelasi hidup dan menghidupkan masyarakatnya akan berkelanjutan (sustainable) dalam jangka waktu panjang ditentukan oleh komunitas yang menghidupinya. Jika komunitas itu ditinggalkan tidak dilibatkan dalam tempat tersebut, maka akan menimbulkan kerusakannya, dan kembali menjadi ruang-ruang yang ditinggalkan (abandoned space) tidak berguna lagi. Seperti misal MCC dan Wisata Gantangan dalam kronologisnya ada keterlibatan komunitas yang memprakarsai dan mengaktifkan fungsi tempat tersebut sehingga bisa hidup dan menghidupkan, sedangkan banyak contoh tempat-tempat yang dibangun tanpa melibatkan komunitas nya sebagai living community yang menghidupkan maka akan ditinggalkan dan rusak dimakan usia, seperti beberapa Islamic center di daerah sebelah. Ataupun taman kota yang sudah dirancang menyediakan tempat berkegiatan, tapi karena tidak ada living community nya maka akan terbengkalai sekedar menjadi tempat burung buang kotoran. Begitu juga dengan kayutangan yang semakin ramai, tidak terlepas dari komunitas music dan cangkrukan event kegiatan yang saling bergantian.
Di sisi lain tentang menghadirkan ruang kota menjadi sebuah tempat yang bermakna dan beridentitas lokal yang kuat, semestinya tidak ceroboh dalam menghadirkan elemen-elemen desain termasuk perabot jalan (street furniture) nya. Jikalau kawasan heritage sudah ditetapkan dan tema rancangan awal arsiteknya adalah indische colonial belanda, maka jangan dicampur dengan lampu jalan berlanggam jawa apalagi plagiat dari kota lain. Kalau karakter kawasan adalah kolonial Belanda ya jangan dicampur dengan elemen box telepon bergaya Inggris / England juga. Dalam tradisi ilmiah dan design thinking pencomotan desain yang jelas-jelas hanya dirubah sedikit sebagai alasan pembeda, itu adalah tindakan yang memalukan. Penanda jalan di bundaran jika sudah menjadi benda cagar budaya ya jangan sampai dirusak dikorbankan dengan desain baru yang kehilangan memori kota. Ingat jika manusia kehilangan memori maka disebut gila, maka kota yang kehilangan memori juga bisa jadi ‘gila…. alias mengalami kemerosotan identitas’. Alangkah indahnya jika kota Malang mampu merangkai sejarah dari waktu ke waktu pada bagian-bagian ruang kotanya yang terbagi tanpa saling menindih atau karakter sejarahnya masing-masing. Mulai sejarah jawa ada di kawasan alun-alun, masjid jamik, pendopo kabupaten. Sejarah kolonial belanda berarsitektur indische di area stasiun, tugu, kayutangan, jalan semeru, jalan ijen. Sejarah malang modern dan kontemporer di area yang baru tumbuh sebagai pengembangan kawasan kota. Sikap pikir dan metode perancangan kota yang tidak meninggalkan sejarah dan berwawasan masa depan akan terangkai menjadi kota yang menyenangkan bagi warganya dan para wisatawan dari luar. (*)