Kiriman: Akaha Taufan Aminudin, Koordinator Persatuan Penulis Indonesia, Satupena Jawa Timur Indonesia
Ketika Empat Mahasiswa Tertembak Mati – Konflik Rasial di Jakarta, Mei 1998 – Denny JA
“Hendra, Hendra…
Kau duluan menyusul mereka.
Kau juga mati muda.”
Eshal, gadis usia empat puluhan, menangis.
Tapi ditahannya.
Dari belakang, aku melihat.
Badan Eshal terguncang-guncang.
Aku biarkan saja Eshal menyalurkan guncangan batin sepuasnya.
Sore hari pemakaman di San Diego Hills, Karawang, begitu hening.
Rumput hijau yang luas.
Angin bertiup. Sepoi. Sepi.
Waktu seolah berhenti.
Ngilu hatiku.
Suasana kematian orang yang aku sayangi selalu menyentuh.
Sangat dalam.
Aku sendiri sudah puas menangis di hari pertama wafatnya Hendra.
Sekarang hari ketujuh.
Hendra sahabatku bahkan sejak SMA.
“Ini titipan Hendra Chen untukmu.
Ia ingin kau menyimpannya.”
Kuserahkan apa yang sudah kuniatkan sejak awal.
Dengan pandangan lemah Eshal menatapku.
Ia terima bungkusan kertas itu.
Menduga-duga apa isinya.
“Apa ini, Rani?, “ tanya Eshal.
Kujawab singkat: “Aku tak tahu. Aku tak berani membukanya. Kuterima langsung dari istrinya.
Katanya Hendra minta ini disampaikan padamu.
Eshal membuka kertas itu.
Dilihatnya isi: kain batik Djawa Hokokai.
Itu buatan dari Oey Soe Tjoen.
Batik kuno.
Kainnya terasa sudah lama.
Kali ini tangis Eshal meledak.
Ia tutup matanya dengan kain itu.
“Hen, mengapa kau beri kain ini sekarang, saat kau meninggal. Aku menunggu lama sekali. Sejak 24 tahun lalu.”
Aku ikut menangis.
Suara Eshal membawaku terbang ke masa lalu.
24 tahun lalu.
Hendra sempat berjanji kepada Eshal, di depanku.
“Eshal, ini kain batik sangat kuno. Aku sengaja membelinya. Susah mencarinya. Aku dapat dari kolektor.”
Nanti ini untuk mahar kawin ya, ketika aku melamarmu.”
Hendra menunjukkan arti motif batik itu.
Ada bunga seruni, burung merak, dan kupu-kupu.
Eshal berbunga-bunga hatinya.
Dipeluknya Hendra.
Amboi, bahagianya sepasang kekasih mahasiswa ini.
Namun kain itu tak kunjung diberikan.
Eshal menerimanya 24 tahun kemudian, justru di depan makam Hendra.
Oh, aku bertambah ngilu.
Angin di pemakaman San Diego Hills menerbangkanku ke tahun 1990-an.
Itu era ketika kami masih menjadi aktivis mahasiswa Trisakti.
Itu era 1998.
Itu era ketika empat teman kami, sesama aktivis mahasiswa Trisakti, tertembak mati.
Itu era ketika lahirnya Era Reformasi.
Itu era ketika akhir dari kekuasaan Presiden Suharto.
Seminggu lalu, Hendra Chen wafat sakit.
Usianya masih muda: 42 tahun.
Ketika Hendra wafat,
istrinya bertanya padaku.
“Kamu kenal Eshal nggak, Rani?
Sebelum wafat, Hen menitipkan sesuatu.
Ia minta barang itu disampaikan ke Eshal, lewat dirimu.”
Singkat saja aku menjawab:
“Oh Ok. Aku kenal Eshal. Ia sahabat era mahasiswa dulu.”
“Masih jumpa Eshal?,” tanya istrinya lagi. Agak menyelidik.
Kujawab santai saja.
“Sudah lama Eshal menghilang.“
Aku mengingat-ingat.
Kapan terakhir berkomunikasi dengan Eshal.
Itu di tahun 2008. Sudah 14 tahun lalu aku tak lagi jumpa.
Kujawab lagi istri Hendra:
“Aku dengar , Eshal pindah ke Yogyakarta.
Tapi aku bisa cari.
Aku tahu rumah kakaknya di Jakarta.”
“Tolong ya, Rani,”
pinta istrinya padaku.
“Hendra sahabatmu.
Tak semua rahasianya aku tahu.
Tapi ia sudah wafat.
Ini amanah orang yang sudah wafat.”
Hendra jumpa calon istrinya di tahun 2004. Tahun 2007 mereka menikah. Tahun 2008 mereka punya anak.
Istrinya tak tahu masa silam Hendra.
Hendra agaknya tak cerita.
Sejak tahun 2008 pula, Eshal menghilang.
Ia pun tak mau aku kontak.
Katanya: “Ingin melupakan Hendra. Ingin juga meninggalkan kota ini: Jakarta.”
Kata Eshal: “ini kota penuh kenangan pahit. Aku sedang perlu yang manis-manis.”
Setelah pesan dari istri Hendra, dua hari aku ke Yogyakarta. Mencari Eshal dengan petunjuk alamat dari kakaknya.
Call dari handphone-ku tak diangkat Eshal. Chat dariku tak ia balas pula.
Setelah bersusah payah,
akhirnya ketemu juga rumah Eshal. Ia hidup sendiri. Tak menikah.
Di dinding tembok ruang tamu, ada pigura puisi Kahlil Gibran: “Jika cinta memanggilmu, datanglah. Walau pedang di balik sayapnya melukaimu.”
Aku ingat. Sangat ingat.
Itu pemberian dari Hendra.
“Oh Eshal.
Kau belum benar-benar pergi dari Hendra,” kataku dalam hati.
Akupun terkenang masa lalu.
12 Mei 1998 yang berdarah.
Tak hanya empat mahasiswa Trisakti yang mati.
Tak hanya Hendryawan Sie, Hafidin Royan, Elang, dan Hery Hartanto
yang ditembak dan meninggal.
Tapi ada 41 mahasiswa yang terkena peluru tajam. Ada ratusan mahasiswa terkena peluru karet. (1)
Hendra Chan pun terkena peluru karet. Kakinya berdarah. Aku juga terkena bagian tanganku. Eshal tedorong jatuh. Wajahnya memar.
Kami bertiga juga bisa saja terkena peluru tajam. Mati. Peluru di mana-mana.
Tahun 1998, kami aktivis mahasiswa. Acapkali kami berjalan bertiga.
Teman-teman menyebut kami: The Three Musketeers.
Lelakinya hanya Hendra. Dua wanita di sampingnya: Aku dan Eshal.
Eshal sangat menyukai Hendra.
Ia jatuh cinta.
Kata Eshal: Ia tipe lelaki yang kudamba.
“Memang Hendra itu agama Katholik. Juga keturunan Tionghoa.”
Sementara Ayah Eshal seorang Muslim yang keras. Juga ia agak rasialis terhadap etnik Tionghoa.
Tapi bagi Eshal, agama dan etnis bukan masalah.
Yang masalah: Hendra sudah punya kekasih.
Mereka sudah bersama sejak SMA.
Kekasihnya bukan dari kalangan aktivis. Bahkan kekasihnya alergi dengan aksi politik mahasiswa.
Sejak tertembak matinya empat mahasiswa Trisakti, hati Hendra berbalik.
Kekasih masa SMA, ia tinggalkan.
Kata Hendra: “Kekasihnya itu tak lulus diuji oleh penderitaan”
Awalnya hujan peluru di kampus Trisakti. Semua panik. Teriak sana dan sini. Takut.
Kekasih Hendra pergi tunggang langgang.
Hendra kakinya berdarah. Ia memanggi kekasihnya.
Tapi kekasihnya tak terlihat lagi.
Datanglah Eshal.
Hendra dibawa ke RS terdekat Sumber Waras. Eshal Yang menemani Hendra.
Eshal menunggunya.
Berhari-hari.
Terasa oleh Hendra.
Eshal merawatnya.
Orang tua dan keluarga Hendra ada di Surabaya.
Puluhan mahasiswa Trisakti terbaring di rumah sakit itu. Saat itu tedengar berita duka.
Elang Lesmana tertembak.
Di bagian jantung dan punggungnya.
Itu peluru tajam.
Padahal di televisi, pemerintah menyatakan tak menggunakan peluru tajam.
Hanya peluru karet.
Udara yang sejuk di San Diego Hills Karawang menambah ngilu.
Eshal nampak ingin sendiri.
Di makam itu.
Tak ingin diganggu.
Oh, aku sungguh teringat jam demi jam hari itu.
12 Mei 1998.
Di kampus, Rektor berdebat dengan kami.
Mengapa kalian mau demo besar?
Mau reformasi?
Lalu mereka rapat guru besar.
Hasilnya tak terduga.
Pimpinan universitas mendukung.
Ditetapkan tanggal 12 Mei 1998.
Seluruh civitas akademika Trisakti turun di mimbar bebas.
Mahasiswa, dosen, hingga rektor satu suara.
Koor bersama:
“Hidup Reformasi!
Hidup Reformasi!”
Pohon, ruang kelas,
dan langit di kampus kami ikut bergolak.
Hari itu Trisakti menjadi kampus perjuangan.
Terkumpul satu barisan.
15 ribu massa.
Dimulailah long march dari Universitas Trisakti menuju Gedung DPR/MPR.
Mereka dijaga satgas mahasiswa.
Satu perintah:
Jangan ada kekerasan.
Jangan bentrok dengan aparat.
Sebenarnya Universitas Trisakti terlambat.
Daerah sudah bergolak,
jauh hari sebelum 12 Mei 1998.
Bahkan kampus di Jakarta dan sekitar sudah lebih dahulu berkobar.
Isu itu menguat:
Suharto harus turun jabatan.
Gerakan mahasiswa sudah ada di Jabodetabek.
Di Solo.
Di Bogor.
Di Yogyakarta.
Tapi belum ada yang semasif Universitas Trisakti.
9 fakultas mendukung.
18 jurusan siap sedia.
Jajaran rektor satu suara.
Karyawan dan dosen kompak.
Semua ini lewat proses yang sulit.
Tiga bulan waktu dibutuhkan melahirkan gerakan satu suara.
Aksi dimulai pukul 08.00 WIB.
Tak diduga, banyak jurnalis asing meliput.
Wahai, siapakah mengundang mereka?
Bocorkah rencana kami?
Ada CNN, CNBC, NHK, AFP.
Pukul 10.00-17.00, mahasiswa turun ke jalan.
Dari kampus ke DPR.
Pimpinan DPR sepakat menyambut kita di sana.
Tapi, oh tapi.
Massa hanya boleh menempuh jarak 300 meter dari gerbang kampus.
Mereka dicegat barikade Polisi.
Negosiasi dilakukan.
“Pak, ini long march didukung rektor.
Mohon kami diijinkan ke DPR.”
Pak polisi hanya menjawab:
“Kami hanya menjalankan perintah.
Tak boleh lewat batas ini.”
Tak lama kemudian,
polisi meminta mahasiswa balik ke kampus.
Pukul 17.00-21.00, insiden pecah.
Dari pihak sana datang pasukan bermotor.
Mereka sengaja menabrak-nabrak mahasiswa.
Sepertinya suasana ingin dibuat chaos.
Banyak mahasiswi teriak:
“Pak, kami manusia.
Kok seenaknya menabrak kami?”
Mulailah terdengar bunyi tembakan.
Ada aparat yang bersiaga di fly over.
Ada juga siaga di roof top Ciputra Mall.
Tembakan terus berbunyi.
Di televisi sudah muncul berita.
Empat mahasiswa Trisakti tertembak mati.
Hendra, Eshal dan aku
berhari-hari di RS Sumber Waras.
Kami lihat sendiri mayat Hendryawan Sie, Hafidin Royan, Elang, dan Hery Hartanto.
Hendra Chen terguncang batinnya.
Ia tak menyangka gerakan mahasiswa berujung pada kematian.
Elang sahabat dekatnya.
Sambil berjalan pincang,
Hendra menangis memegang tubuh Elang.
Eshal selalu di samping Hendra.
12 Mei 1998, 4 mahasiswa Trisakti tertembak.
13-14 Mei huru hara di Jakarta.
14-20 Mei gerakan mengerucut secara nasional.
Namun kemarahan pada pemerintah ada yang belokkan menjadi kerusuhan rasial. Perumahan dan toko milik Tionghoa diserbu, dirusak, dijarah.
21 Mei: Suharto mundur sebagai presiden RI
Era reformasi dimulai.
Kehidupan kampus mulai normal.
Hendra putus dengan kekasihnya.
Eshal semakin dekat dengan Hendra.
Kepada orang tuanya, Eshal sering izin menginap di rumahku.
Alasannya: belajar bersama membuat tugas.
Alasannya: persiapan mid-test.
Alasannya: persiapan ujian semester.
Yang terjadi Eshal sebentar saja mampir ke rumahku.
Sisanya, ia bermalam di apartemen Hendra.
Berdua saja.
Untuk belajar soal kelas,
apalagi soal hidup,
Hendra orangnya.
Ia juara se-universitas.
Rata-rata nilai mata kuliahnya paling tinggi.
Eshal suka orang yang sangat pintar.
Aku menjadi saksi.
Hendra berkunjung ke rumah orang tua Eshal.
Ia nyatakan niat menikahi Eshal.
Ujar Hendra: “jika diizinkan kami menikah di luar negeri saja. Singapura bisa menerima pernikahan beda agama.”
Ayah Eshal menjawab:
“Mustahil saya membolehkan Eshal melawan perintah agama.
Wanita Muslim harus menikah dengan pria muslim.”
Tiga bulan berikutnya, Hendra kembali datang.
Hendra merelakan pindah agama.
Ia minta izin orang tua Eshal menikah di mesjid.
Ayah bertanya: “Bagaimana dengan anggota keluarga Hendra yang lain? Bisakah mereka juga pindah agama?”
Pertemuan kembali gagal.
Kepada Eshal, ayah berpesan.
Agama di atas cinta.
Ketika Hendra pulang, Eshal protes keras pada Ayahnya.
“Hendra sudah sedia pindah agama.
Ayah keterlaluan minta keluarganya juga pindah agama.”
Ayah menjawab:
“Walau seluruh keluarganya pindah agama, mereka tetap etnis Tionghoa.”
Eshal teriak:
“Aku menyesal lahir dari Ayah yang rasis! Jika saja aku bisa memilih orang tua, alangkah senang hidupku.”
Setahun setelah dua kali lamaran ditolak, Hendra pamit kepada Eshal.
Ia akan lanjutkan sekolah ke USA.
Eshal menangis.
“Jangan menyerah sayangku.
Bagaimana jika kita kawin lari?
Tak usah peduli orang tuaku,” kata Eshal.
“Bawa aku ke luar negeri.
Kau sekolah. Aku bekerja di sana.”
Hendra memeluk Eshal sambil menangis.
“Aku mencintaimu.
Kau merawatku.
Tapi aku salah jika memisahkanmu dari orangtuamu.”
Eshal memeluk Hendra.
Ia menangis lebih keras lagi.
Itulah pertemuan mereka yang terakhir.
Selesai ziarah di makam San Diego Hills,
Aku dan Eshal ke makam Tanah Kusir.
Kami kunjungi kembali makam teman kami, 4 mahasiswa Trisakti yang tertembak mati.
Eshal sangat dekat dengan Elang Mulia Lesmana. Tapi kurang dekat dengan tiga lainnya.
Kembali Eshal menangis:
“Elang, Hendra juga menyusulmu.”
Lama Eshal menangis.
Gejolak batin puluhan tahun itu mengalir keluar.
Derita yang ia sembunyikan lama berdesakan berderai ke udara.
Kain dari Hendra,
Eshal urai dan ia selimpangkan mengitari leher.
Dirabanya kain itu perlahan.
Seolah ia mencari jejak tangan Hendra di kain itu.
Kembali menetes air mataku.
Semakin aku tahu.
Walau Eshal ingin melupakan masa lalu,
Hendra selalu hadir di hatinya.
Selalu.**
CATATAN:
1. Empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati dalam aksi damai mahasiswa, Mei 1998
https://www.idntimes.com/news/indonesia/vanny-rahman/kronologi-kerusuhan-12-mei-1998-insiden-yang-menewaskan-4-mahasiswa-trisakti-1?page=all
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi:
- Konflik agama di Maluku (1991-2002)
- Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001)
- Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017)
- Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998)
- Konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012)
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur