Kiriman: Koordinator Persatuan Penulis Indonesia Satupena Jawa Timur, Drs. Akaha Taufan Aminudin, September 2022
Sedalam-dalamnya laut, dapat kita duga apa yang tersembunyi di dasarnya.
Tapi di kedalaman jiwa seorang perempuan, siapa yang dapat menduga apa yang disembunyikan di hatinya?
Dua jam sudah Jiang duduk terpana.
Itu makam istrinya, Li Wei, yang wafat seminggu lalu.
Jiang terus saja menangis, menyesali keadaan.
“Li Wei, Li Wei, mengapa kau tak cerita padaku.
Lima belas tahun sudah kita menikah.
Memang kadang tak kupahami perilakumu.”
“Jika kau cerita, aku akan paham.”
Terus saja Jiang menangis.
Ia sangat kasihan pada istrinya.
Tiga hari sebelum wafat,
Ketika dokter menyatakan kanker sudah menyebar ke organ vital,
Li Wei mengajak Jiang bicara empat mata.
“Jiang, maafkan aku.
Ini tak pernah aku ceritakan pada orang lain.”
Li Wei menyerahkan kunci dalam amplop kecil.
“Ini kunci brankasku yang di kamar.
Di dalam amplop ada passcode-nya juga.
Aku ingin kau berjanji.
Ini hanya kau buka setelah aku tiada.
Paling cepat sehari setelah aku dimakamkan.”
Saat itu Jiang sudah terpana.
Selama ini ia mengira itu brankas biasa.
Li Wei menyimpan perhiasan dan uang tunai dalam jumlah besar.
Jiang mulai merasa.
Agaknya Li Wei menyimpan satu rahasia penting di sana.
Tapi rahasia apakah itu?
Bahkan Jiang tak bisa menerka.
Li Wei wafat.
Sehari setelah dimakamkan,
dag dig dug juga hati Jian.
Rahasia apa yang tersimpan dalam brankas?
ketika membuka brankas,
ia melihat 4 buku diari ada di sana.
Lengkap dengan tulisan tahun di covernya: 1998, 1999, 2000, 2001.
Ada sebuah surat di atasnya.
“Untuk suamiku, Jiang.”
Surat itu dibuka Jiang terlebih dahulu.
“Suamlku sayang, Jiang.
Kau seorang penulis.
Aku ingin kau menulis kisahku ini.
Untuk pelajaran.
Tapi samarkan identitasku.”
Bertambah penasaran Jiang.
Dibukanya buku diari itu.
Dari siang hingga pagi esoknya, Jiang terus membaca.
Tak terputus.
Tak tidur.
Air matanya terus menetes.
Selesai membaca, Jiang menangis sesegukan.
“Li Wei, Li Wei.
Buat apa kau rahasiakan ini padaku.
Aku mencintaimu.
Menerimamu apa adanya.”
15 tahun menikah.
Kini ia baru tahu.
Dia lah satu-satunya yang tahu,
bahwa Li Wei pernah diperkosa 5 orang, dalam kasus kerusuhan rasial, di Jakarta, Mei 1998.
Jiang menangis.
“Ampuuuun Li Wei, Ampuuun.
Kau perempuan yang kuat.
Sangat kuat.”
Hari itu tanggal 13 Mei 1998.
Jakarta rusuh.
Usia Li Wei 21 tahun.
Ia tinggal di perumahan mewah Jakarta.
Memang banyak orang kaya Tionghoa di sana.
Saat itu Li Wei sendiri.
Pembantunya pulang kampung.
Ayah dan Ibu ke Amerika Serikat menengok kakak yang sekolah di sana.
Li Wei tak ikut.
Ia ada ujian mid semester.
Segerombolan pemuda menyeramkan.
Mereka membawa pentungan.
Ada yang bawa golok.
Sejak di jalan mereka sudah teriak:
“Hei, Cina.
Keluar kalian.
Kalian jadi kaya.
Kami miskin.”
“Duaaaaarr”
Gerbang berhasil mereka dobrak.
Li Wei ketakutan.
Ia segera matikan lampu.
Ia tutup gorden.
Itu masih sore hari menjelang magrib.
Tapi justru aksi Li Wei ini terlihat.
Mereka meyakini rumah ini ada penghuninya.
Pintu masuk pun didobrak.
Mereka masuk ke ruangan.
Li Wei sembunyi di bawah kolong ranjang.
Tapi mereka berhasil menemukannya.
“Jangan, jangan,” ujar Li Wei.
Aku punya uang.
Ambil saja uangku.
Ambil saja barang-barang.”
Mereka tertawa.
Golok pun di dilengketkan ke leher Li Wei.
“Jika melawan, aku gorok lehermu.
Aku cungkil matamu.”
Li Wei seketika lemas.
Ia seolah hilang ingatan.
Yang ia ingat, rasa sakit.
Bergantian 5 lelaki itu memperkosanya.
Li Wei hanya bisa menangis.
Setelah puas memperkosa, rombongan itu pergi.
Ada yang membawa TV.
Ada yang mengambil komputer.
Semalaman Li Wei menangis.
Awalnya ia terpikir bunuh diri.
Pisau tajam itu sudah ia dekatkan dengan nadi tangan.
Tapi Li Wei membayangkan Ibu, Ayah, dan Kakaknya.
Betapa sedih hati mereka.
Selaku penganut Kristen yang taat, Li Wei berdoa dengan segenap hati.
“Kuatkan aku, ya Bapa.
Berikan aku cahaya.
Tunjukkan jalan.”
Doa ini ia ulang-ulang,
hingga tertidur.
Ketika terbangun, hari sudah siang.
Li Wei rasakan sakit yang sangat di bagian bawah badannya.
Entah datang dari mana.
Li Wei akhirnya menyiapkan cerita.
Ia akan katakan pada keluarga.
Rumah mereka dirampok.
Tapi Li Wei saat itu sedang di luar.
Ketika ia pulang, rumah sudah porak poranda.
Memang mulai terjadi kerusuhan di banyak area Tionghoa di Jakarta.
Li Wei pun bergegas ke hotel di daerah Sudirman.
Agar aman, ia ambil hotel bintang lima.
Dari hotel, ia menelepon Ayahnya.
“Aku lima hari tinggal di hotel, ya Ayah.
Sampai semua reda.”
Ayah di Amerika Serikat sangat cemas.
“Li Wei, Ayah membaca berita.
Ayah juga dapat kabar dari Pamanmu. Jika ada yang mendesak, jangan sungkan minta tolong Pamanmu. Minggu depan kami kembali ke Jakarta.”
Ibu juga mengekspresikan cemas yang sama. Juga kakaknya.
“Li Wei, tinggal saja di hotel ya, sampai semua sudah normal. Ibu mendengar banyak yang diperkosa.”
Li Wei berhasil membuat keluarganya percaya.
Ia mujur bisa merahasiakan kisah ini sampai mati.
Tapi ia tak bisa merahasiakan ini kepada hatinya sendiri.
Li Wei luka.
Sangat dalam.
Trauma menganga.
Kadang ia mimpi sambil teriak.
“Keluar, keluar kalian dari sini! “
Pernah Ayah dan Ibunya terbangun.
Mereka ketuk-ketuk pintu kamar.
“Li Wei, Li Wei, buka pintu.
Ada apa?”
Li Wei buka pintu.
Ia cerita tadi siang nonton film horor.
Ini sampai terbawa ke mimpi.
Ayah dan Ibunya geleng-geleng kepala.
Hal yang sama soal asmara.
Li Wei sudah 35 tahun.
Tapi ia belum menikah.
Tak punya pacar.
Ayah dan Ibu mengajak bicara.
Ada apa denganmu?
Jiang itu lelaki yang baik.
Tapi selalu kau abaikan.
Untuk keluarga,
akhirnya Li Wei menikah dengan Jiang.
Setelah menikah,
tiga bulan lamanya,
Li Wei selalu menghindar hubungan suami-istri.
Jiang sempat marah dan kecewa.
“Aku ini suamimu yang sah.
Katamu, dirimu cinta padaku.
Mengapa menghindar.”
Li Wei akhirnya pasrah.
Tapi Jiang tahu,
Li Wei sangat dingin, tak menikmati kemesraan itu.
Li Wei memang bisa menutup rahasia.
Tapi ia tak bisa merahasiakan ini kepada hatinya sendiri.
Ia pun sibuk mencari tahu.
Apa yang terjadi di Jakarta saat itu.
Seberapa banyak yang mengalami musibah seperti dirinya.
Sekitar tanggal 12 dan 13 Mei 1998, terjadi pemerkosaan di beberapa titik.
Di Jakarta, mulai dari Jembatan Tiga, Jembatan Lima, Glodok, hingga Pluit.
Pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Badan ini menyimpulkan.
Korban perkosaan sebanyak 52 orang. (1)
Mayoritas orang Tionghoa.
Kekerasan seksual terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha.
Sebagian besar kasus perkosaan adalah gang raped.
Korban diperkosa oleh sejumlah orang.
Mereka perkosa bergantian pada waktu yang sama.
Ya Tuhan.
Mereka acapkali memperkosa di hadapan orang lain.
Li Wei juga mendengar kesaksian seorang relawan.
Di jembatan Glodok, di depan Harco, ada seorang perempuan Tionghoa diseret.
Para laki-laki itu menjadi singa ganas. Bergantian mereka memperkosa.
Itu dilakukan di tempat terbuka.
Tempat orang lalu lalang.
Hadir juga lembaga masyarakat seperti Kalyanamitra.
Lembaga ini menjadi pusat komando.
Mereka membuka posko pengaduan.
Tujuannya melawan tindakan pemerkosaan terhadap perempuan.
Terutama etnis minoritas, perempuan Tionghoa.
Lembaga ini menceritakan.
Lebih dari 150-an kasus perkosaan dalam peristiwa Mei 1998, di Jakarta. (2)
Li Wei memang bisa menutup rahasia.
Tapi ia tak bisa merahasiakan ini kepada hatinya sendiri.
Li Wei terkesima pada gadis muda bernama Ita Martadinata.
Ia juga korban perkosaan.
Ia juga etnis Tionghoa.
Usianya baru 18 tahun.
Ita saat itu siswa kelas 3 SMA.
Begitu berani Ita Martadinata melawan.
Ita anak yang aktif dan pintar. Namun terjadi perubahan prilaku.
Ia menjadi murung dan diam,
setelah diperkosa.
Ita sempat bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK).
Tim ini mengadvokasi perempuan etnis Tionghoa yang diperkosa.
Setelah lama merenung,
Ita bicara.
Ia satu-satunya korban yang berani bersuara.
Ia memberi konseling untuk sesama korban.
Saat itu, Ita siap pergi ke PBB.
Ia akan testimoni pada dunia.
Akan diceritakannya perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Akan diceritakannya pengalaman dirinya sendiri.
Tapi, pada tanggal 9 Oktober 1998, Ita ditemukan mati terbunuh.
Perut, dada, dan lengan kanannya ditikam hingga sepuluh kali.
Lehernya disayat.
Dan alat kelaminnya ditancap kayu. (3)
Li Wei semakin takut.
Rahasia diri ia tutup semakin rapat.
Ia tak mau dibunuh seperti Ita.
Sehari setelah membaca buku diari Li Wei, Jiang memgambil cuti seminggu.
Ia tak ingin dulu bekerja.
Badai berputar-putar di batinnya.
Kata-kata itu selalu Jiang ulang.
“Li Wei, Li Wei. Mengapa kau rahasiakan ini padaku.
Aku mencintaimu.
Menerimamu apa adanya.“
“Jika kau cerita,
tak seberat ini beban hidupmu.
Kanker yang kini membunuhmu,
itu dipercepat oleh beban hidupmu.”
“Aku suamimu.
Sah menikahimu.
Ayah dua anakmu.
Aku bisa ikut memikul bebanmu.
Kau tak harus mati semuda ini.”
Jiang menghujat dirinya sendiri.
“Oh, bodohnya aku.
Diriku sialan.
Kok bisa aku tak tahu.
Kok bisa istriku tak nyaman cerita padaku?”
Hari itu, dua anaknya dititipkan Jiang kepada kakaknya.
Ia ingin menyendiri.
Dalam waktu yang lama.
Jiang naik mobil pergi ke rumah itu.
Rumah tempat Li Wei diperkosa.
Jiang hanya duduk di mobil.
Melihat rumah itu dari jauh.
Kembali menetes air matanya.
Jiang menangis.
Menjerit tapi tanpa suara.
“Li Wei, Li Wei.
Kau wanita kuat.
Sangat kuat.”
Bermalam-malam, Jiang menikmati sepi.
Hening.
Sunyi.
Ia menghabiskan waktu di rumahnya.
Tak ingin jumpa siapapun.
Malam ini, tengah malam,
Bulan menjadi lampu di langit.
Empat buku diari Li Wei dipegangnya.
Ia bertanya pada diri sendiri.
Apa yang akan ia lakukan dengan buku diari Li Wei ini.
Empat tahun Li Wei menuliskan emosinya di empat buku.
Ia baru berhenti di tahun 2001.
Di halaman terakhir itu, Li Wei menulis.
“Aku harus melupakan peristiwa ini selamanya.
Seolah tak pernah terjadi.
Aku kasihan pada diriku sendiri.”
Sebelum wafat,
Li Wei memang meminta Jiang menuliskan kisahnya.
Awalnya Jiang setuju.
Ia sudah memilih tulisan dalam bentuk novel.
Tapi Jiang berpikir ulang.
Kisah ini terlalu menyakitkan baginya.
Walau ia samarkan karakter utama novel ini,
anak-anaknya akan tahu.
Ini pasti kisah Ibu mereka.
Anak-anak tak akan siap.
Tak pernah siap.
Tidak juga cucu-cucuku.
Mereka juga tak siap.
Tidak juga keluarga Li-Wei.
Malam itu juga,
setelah berdoa,
Jiang membakar buku Li Wei.
Semua buku diari menjadi abu.
Sambil berdoa,
Jiang bicara kepada arwah Li Wei.
“Li Wei, Li Wei.
Aku bakar bukumu dengan niat suci.
Biarlah buku diarimu abadi di alam semesta.”
Rahasia yang kau simpan, biarlah terus tersimpan.
Hanya aku yang tahu.
Sebaiknya hanya aku saja.
Sama sepertimu.
Rahasia ini juga akan kubawa
sampai mati.
Sampai ajal menjemputku.*
CATATAN:
1. Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat terjadi 52 kasus perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Mayoritas yang diperkosa dari etnis Tionghoa
https://id.m.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabungan_Pencari_Fakta_(TGPF)_Peristiwa_Tanggal_13-15_Mei_1998/Temuan
2. Lembaga masyatakat mencatat jauh lebih banyak gadis Tionghoa yang diperkosa dalam kerusuhan Mei 1998 itu.
https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/kelamnya-pemerkosaan-di-glodok-1998-yang-menimpa-perempuan-tionghoa
3. Kasus Ita Martadinata, gadis muda 18 tahun korban perkosaan, yang akan testomoni di PBB, tapi ditemukan mati terbunuh.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ita_Martadinata_Haryono
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi:
- Konflik agama di Maluku (1991-2002)
- Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001)
- Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017)
- Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998)
- Konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012)
Dalam hidup ini, ada banyak yang tidak terungkapkan, karena terlalu menyakitkan, dan tidak ada yang mau mempercayai, karena tidak mengalami sendiri, atau takut risikonya nanti.
Terima kasih