email: javasatu888@gmail.com
  • Beranda
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • EKONOMI
  • PEMERINTAHAN
  • POLITIK
  • HUKUM
  • OLAHRAGA
  • WISATA & KULINER
  • ESAI
Javasatu.com
Kamis, 21 Agustus 2025
No Result
View All Result
Javasatu.com
No Result
View All Result

Trend Pemilih Demokrasi Kontemporer, Catatan Sosiologi Politik

by Redaksi Javasatu
15 Desember 2022
ADVERTISEMENT
Slamet Hendro Kusumo (ujung paling kiri) saat menjadi narasumber diuji kelayakan Dapil. (Foto: Istimewa)

Trend Pemilih Demokrasi Kontemporer, Catatan Sosiologi Politik

Oleh: Slamet Hendro Kusumo

Apa yang tidak bisa dibuat lelucon, gaduh, satir, sarkas bahkan banalisasi dalam hiruk pikuk, huru-hara dan hura-hura dalam jagad maya berbasis teknologi. Siapa saja dapat bermain dan mempermainkan keadaan sesuai keinginan dan kepentingan masing-masing pihak. Termasuk kepentingan politik, partai, KPU dan Bawaslu. Sementara itu kondisi para pemilih yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pesta demokrasi juga sudah bergeser, jauh dari akar awal yang tradisional. Tiba-tiba masyarkat pemilih menjadi skeptis, acuh dan tidak merasa berkepentingan terhadap kehadiran politik. Upaya-upaya perbaikan dan sistem pendekatan sudah dilakukan dengan berbagai cara. Namun belum secara maksimal menunjukkan hasil yang diharapkan. Bahkan ada kecenderungan trend meningkat golput semakin tak terkendali.

Serat Jaya Baya: akeh wong wani ngelanggar sumpahe dhewe (banyak manusia melanggar sumpah sendiri). Jika sumpah bukan lagi memiliki kesakralan maka hukum pun kehilangan supremasinya.

Tak dapat dipungkiri keadaan ini menimbulkan kekhawatiran bagi penyelenggara demokrasi, dalam hal ini adalah KPU dan Bawaslu, dan tidak ketinggalan para kompetitor politik juga ikut merasakan trend penurunan spirit pemilih. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak dapat di stigma-kan, sebagai masyarakat politik, milik partai. Termasuk relawan, konstituen maupun masyarakat awam. Sebenarnya orang politik adalah kumpulan yang ada di kepengurusan dari tingkat pusat mulai daerah. Sehingga klaim tentang masyarakat politik lebih bersifat temporeris, tidak terbukti. Oleh sebab itu kemenangan partai politik dalam kontestasi pesta demokrasi juga berubah-rubah. Terkadang menang, juga bisa kalah. Tidak ada dominasi pasca orde baru.

Persoalan lain juga menjadi faktor penentu ketika para caleg atau calon pilkada, ketika secara bertubi-tubi memberikan janji-janji saat kampanye. Janji-janji kampanye tersebut sesungguhnya adalah cerminan relasi yang berkelanjutan. Namun sulit diwujudkan, ketika sudah jadi wakil rakyat. Ada kecenderungan meninggalkan pemilihnya. Akan tetapi pada posisi lainnya wakil rakyat tersebut, lebih disibukkan oleh kewajiban“modal harus balik”. Ketika jadi wakil rakyat, kebanyakan uang modal politik sulit kembali. Akhirnya wakil rakyat tersebut pusing tujuh keliling. Di posisi masyarakat berpendapat bahwa politik itu sudah menjadi peluang, mencari pekerjaan. Sehingga dari permasalahan tersebut semua hubungan politik itu, sudah tidak bisa lagi berjalan seperti yang diidealkan secara logis.

Uraian pendek ini bersifat prematur. Tentu tidak dapat dipakai sebagai ukuran kebenaran dari fakta yang terjadi. Namun setidaknya dapat dipakai sebagai langkah awal untuk memetakan keadaan awal sosial politik. Terkait dengan relasi sosial antara pemilih dan yang dipilih secara sosiologis budaya, telah mengalami sensitifitas hubungan. Kerenggangan relasi sosial ini, dibangun dengan “budaya amplop” belumlah cukup dijadikan sebagai sesuatu, yang bersifat permanen dalam cermin sosial politik. Kondisi sosial politik sudah mengarah kepada filsafat materialistik. Hanya menghitung untung rugi, asas kemanfaatan, mungkin saling tipu. Baik dalam teks. Muncullah bentuk-bentuk tindakan subjektifitas dari masing-masing pihak lebih dominan.

Sedangkan dalam konten atau isi berpotensi, lunturnya ikatan-ikatan ideologis, yang telah dibangun oleh partai politik. Sementara itu posisi Bawaslu dan KPU ada kecenderungan menerima konsekuensi politik administratif. Bahwa KPU dan Bawaslu dianggap tidak mumpuni menjalankan tugas dan mengurai permasalahan pemilih secara baik. Yakni dalam implementasi untuk merayu “pemilih yang cenderung mengambang”. Sungguh hubungan yang aneh. Ada kesalahan yang cukup mendasar dalam hubungan partai politik dengan KPU dan Bawaslu. Sebetulnya akar permasalahan tersebut, terjadinya masa mengambang itu adalah hasil dari perilaku yang dilakukan secara terus-menerus, oleh politisi yang selalu tidak tepat dalam pencitraan. Sehingga menjadi budaya baru serta gaya hidup hedonis. Sehingga perilaku-perilaku oknum partai tersebut, tidak bisa dibebankan kepada KPU atau Bawaslu, untuk menutupi hal-hal ketidakpatutan, yang dilakuan oleh para politisi. Hal ini perlu adanya komitmen-komitmen yang berbasis moral dan etik, baik secara pribadi maupun partai, dalam penyelenggara pesta demokrasi.

Masyarakat Terbuka dalam Playing Victim

Indikator terjadinya masyarakat terbuka ini, sudah terjadi sejak saat tumbuhnya informasi berbasis teknologi. Serta dibukanya permainan-permainan konten dalam dunia jagad maya. Perilaku ini ter-desain dalam informasi, tentunya dengan basis teknologi, telah mengubah paradigma, selera, kebutuhan, kepentingan, khususnya dalam sosial politik. Fakta ini menjadi kekuatan masyarakat terbuka, tidak lagi bergantung kepada sentralisasi politik. Mereka telah menancapkan kuasa baru sebagai masyarakat yang terbuka. Dampaknya adalah “mengubah gaya hidup dan pilihan politik” apapun bentuknya. Bisa juga terjadi pada masyarakat terbuka tersebut, memilih politik dengan catatan tertentu, bahkan bisa terjadi menjauhi politik. Maka peran kecerdasan dalam memanfaatkan teknologi ini, patut diduga ada permainan-permainan yang bersifat baik maupun buruk. Juga munculnya kesombongan-kesombongan, ego sektoral, politisasi dan trend baru yang disebut playing victim (keadaan yang dipermainkan).

BacaJuga :

OPINI: Refleksi HUT ke-80 RI, Sehat Mental Wujud Merdeka yang Sesungguhnya

Mari Mengenal Islam Sosialis bukan Sosialis Islam!

Serat Jaya Baya: manungsa padha seneng nyalah, ora ngendahke hukum Allah (manusia saling lempar kesalahan serta menyepelekan hukum Allah), artinya menghasut, memfitnah, berbohong, bahkan tega membunuh sesama. Maka tindakan tersebut melawan dan menyepelekan hukum-hukum Allah, siapa yang lemah akan terdesak.

Berbagai perdebatan politik, dapat kita jumpai lewat media mainstream seperti TV, koran-koran nasional. Yang paling heboh justru adalah teknik “goreng menggoreng” di podcast yang banyak dilakukan oleh mantan wakil partai politik, akademisi dan lain-lain. Mereka mengundang figur-figur dan yang konservatif hingga yang provokatif. Namun sedikit sekali yang ber-ideologis. Terlihat dalam pernyataan atau perdebatan, banyak yang merujuk anti kenegerawanan. Mayoritas debat kusir itu masih bermuatan ego sektoral dengan konten-konten, terasa kurang mendidik. Berapa perdebatan itu sering menimbulkan kegaduhan yang jauh dari moral dan etik. Bukan membangun demokrasi secara baik, benar, manfaat dan bermartabat. Justru banyak pernyataan-pernyataan yang membingungkan, serta menumbuh-kembangkan gagal paham pada makna demokrasi yang ideal.

Titik ruang banal ini telah mencuri energi dan perhatian bagi masyarakat yang ingin mengenal politik secara baik. Namun justru disodori kejadian-kejadian tersebut yang “memicu hilangnya kepercayaan” bagi masyarakat pemilih. Karena perdebatan tersebut sering kali tidak menyentuh kepada penguatan kebutuhan masyarakat. Namun justru mempertontonkan banalisasi kuasa politik. Jika mau dipetakan maka bisa diprediksi, empat puluh persen masyarakat desa tidak memahami secara benar politik. Dua puluh persen masyarakat desa gagal paham politik. Sisanya empat puluh persen adalah masyarakat kota yang sudah terpengaruh dengan situasi politik.

Tentu saja prediksi prematur ini bisa berubah sewaktu-waktu, bersifat tidak permanen kepada masyarakat “pemilih yang mengambang”. Tentu saja prediksi ini sekiranya dapat menggambarkan medan sosial politik dan rentan berubah. Jika politikus tidak mengubah strateginya dengan baik, dan menghindari dari ungkapan-ungkapan yang menyesatkan, hiperbola pemaknaan politik, tidak rasional. Dapat dipastikan akan kehilangan kepercayaan dari pemilihnya. Walaupun sudah terjadi para pemilih dan politikus telah melakukan transaksi“politik dagang sapi” atau “beli putus”.

Easton: kehidupan politik ialah suatu sistem terbaur di suatu lingkungan, yang diungkap oleh sistem politik itu sendiri, dan pada gilirannya bereaksi.

Kondisi medan sosial politik terkait dengan kecenderungan pemilih menjadi lebih komplek. Yaitu tidak saja individu sebagai dasar entitas, yang menyusun masyarakat memiliki aspek keberbedaan satu sama lain. Tentunya dalam kerangka, yang bersifat universal dan lebih mengarah pada liberalism. Yaitu menuju kemerdekaan pribadi secara autentik. Namun dalam perkembangannya kompleksitas individual, menuntut lebih tentang kesejahteraan, rasa aman, nyaman, ketersediaan lapangan pekerjaan dan pendidikan yang memadai. Sehat pendidikan baik jasmani maupun rohani.

Oleh sebab itu permasalahan-permasalahan dengan paradigma kebutuhan, sulit diwujudkan, jika selama perdebatan-perdebatan yang masih kurang menjawab kebutuhan masyarakat, dalam perpolitikan Indonesia. Sepertinya dalam perdebatan-perdebatan tersebut, membuat masyarakat menjadi tidak pintar, tidak lebih baik. Maka perilaku politisi sering dicurigai oleh masyarakatnya akan menumbuh-kembangkan oligarki dan monopoli. Pada permasalahan yang lain, kultur jagad maya yang dihuni oleh pemilih menjanjikan “situasi keterbukaan tanpa batas”. Karena kuasa baru pemilih yang terbuka ini, memiliki potensi untuk membentur, mengoreksi, kepentingan-kepentingan politik maupun kapitalisasi. Kecenderungan pemilih rasional ini semakin hari jumlahnya juga semakin banyak. Maka dalam proses perjalanan demokrasi, potensi besar dalam jagad maya ini, bisa saja membuat potensi baik, atau kekacauan politik. Intinya adalah mereka dapat saja menyuarakan secara terbuka, untuk golput, atau tidak menyalurkan hak pilihnya. Sebab memilih adalah hak bukan kewajiban. Terminologi  ini bisa membuat kuasa publik, berpotensi menjadi gangguan, yang serius bagi perjalanan demokrasi.

Warna ragam kepentingan hari ini sudah sangat terbuka, bahkan terang-terangan muncul kegaduhan-kegaduhan di tengah masyarakat yang plural dan heterogen. Dalam dasa wasa terakhir ini isu-isu politik cenderung “saling tabrak kepentingan”. Ketika berbicara tentang kepentingan individu-individu. Terpotret secara nyata, wadah partai sudah bukan lagi menjadi wadah ideologi yang disakralkan, bagi kebutuhan kekuatan negara bangsa. Walaupun secara teks, tidak ada satupun partai yang tidak memiliki ideologi yang bagus. Namun pada praktik dan kepentingan individu, telah menyuguhkan perilaku yang paradok, ambigu, fermentasi, kebohongan serta mengingkari ideologi luhur partai. Kepentingan untuk jatah kursi di legislatif, jauh lebih diutamakan bagi kepentingan individu. Akar dan tujuan politik itu memberikan dampak kepada pilkada maupun pilpres. Karena keasyikkan dan hasrat kuasa, bisa berpengaruh besar pada ruang kompetisi. Maka segala macam cara pun akan dilakukan untuk memenangkan, dan merayu hati pemilih.

Kedudukan politik yang di panitiai oleh KPU dan Bawaslu, masih saja difungsikan sebagai pelaksana etik dan moral administrasi, tidak lebih. Namun yang memprihatinkan adalah semua limpahan-limpahan persoalan tentang penyebab gagalnya untuk meraih hati pemilih, selalu ditimpakan kedalam proses administrasi KPU atau Bawaslu. Jika ditinjau dari persoalan tersebut justru persoalan itu, lahir dari kaum elit politik. Telah menjadi budaya baru oknum-oknum yang tidak lagi mempedulikan tabu-tabu etik dan moral. Ketidakpercayaan masyarakat pemilih terwujud, yaitu dengan tidak tumbuhnya “partisipasi aktif politik” dalam rangka mensukseskan pesta demokrasi. Kesulitan lembaga pesta demokrasi itu, tampaknya menyerah pada keadaan, dan menerima kritik-kritik liar, tanpa perbaikan sistem kewenangan. Berbagai problem sudah menjadi pembahasan, riset, penelitian dan sudah dikaji, diajarkan di akademisi secara kritis. Akan tetapi lagi-lagi menguap begitu saja, jika mereka menjadi wakil rakyat. Sebab transaksi, politisasi dengan bentuk-bentuk regulasi, belum mampu menyerap dan menjawab kebutuhan para pemilih. Intinya para kontestan tidak “mampu merayu”, baik dalam sistem maupun implementasi yang menyentuh bagi kepentingan pemilih, yaitu kesejahteraan dan keadilan secara merata.

Bryce: apa yang mungkin kosong, kering, beku serta gersang, daripada tulisan-tulisan yang sok tahu tentang kedaulatan.

“Pemilih yang mengambang”, telah terisi di otaknya bahwa politik itu kotor, menakutkan, tidak friendly, sadis dan tidak membela rakyat. Sejarah Panjang telah membuktikan fakta itu. Berapa korban fisik, psikologis, hak hidup dan sejumlah masyarakat awam terporalisasi, adalah korban yang nyata, dari peristiwa politik masa lalu. Memang perlu disadari, bahwa tidak mudah mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah masuk “money politic”, “budaya amplop”, beli putus. Sehingga terciptalah hubungan emosional yang tidak lagi sehat, bahkan saling mencurigai, ada agenda lain dibaliknya. Itu terjadi antara pemilih dan calon pemimpin. Ketika pemimpin itu jadi dan menang dalam kompetitor dalam pemerintahannya segala bentuk pembangunan dan program-program sepertinya, menjadi kegiatan rutinitas, mekanik. Dan masyarakat pemilih yang mendukungnya dianggap sebagai otopis atau tempelan. Kejadian itu bisa terlihat dalam musrenbang daerah, karena kepentingan, diposisikan tidak sakral lagi.

Ada tradisi baru beli putus tersebut, membawa dampak kepada, keputusan regulasi, tidak jarang dilakukan setengah kamar, kasak-kusuk di bawah pohon mangga. Tradisi permanen kaum elitis ini telah menjadi konvensi pada bagian perpolitikan. Dicontohkan jika mereka dalam kondisi reses, bukan menyerap aspirasi untuk memperkuat konsep-konsep ke depan dari sebuah wilayah. Akan tetapi lebih banyak mengurus pembangunan fisik, dan kegiatan lainnya, sebenarnya hal tersebut bisa dilakukan oleh birokrasi. Fakta beberapa kali menghadiri reses bukan menyinggung info-info strategis, akan tetapi malah curhat, tentang belenggu-belenggu aturan regulasi. Sehingga komunikasi antara wakil dan konstituennya, menjadi bias, dan melupakan hal-hal yang bersifat strategi makro terkesampingkan.

Catatan dan Peluang Meraih Pemilih

Sekali lagi ini memang situasi yang paradoks. Maksudnya ketika para wakil rakyat, mau turun ke bawah akan melihat keluh kesah yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah hubungan emosional, yang tidak berjalan dengan ideal, akibat beli putus. Sibuk dengan pencitraan pribadi oknum partai, di media sosial terlihat semakin tidak etik. Apalagi jika perdebatan itu menyinggung pribadi masing-masing politikus. Masih terbuka lebar jarak visi-misi ideologi partai dengan caleg, juga para calon pemimpin wilayah. Belum ada kritik-kritik yang membangun, terkoneksitas antar kepentingan kelompok dan individu. Belum juga terwujudnya komitmen-komitmen yang proporsional, populis dan berimbang. Di luar kepentingan keduanya, antara lain yaitu komitmen populis antara “bohir dan calon”. Fakta terselubung ini belumlah terurai secara baik dan jelas, hingga hari ini.

Habermas dan Rawls: puncak pembenaran dan norma adalah konsensus atau kesepakatan.

Akibat kepentingan-kepentingan politik oligarki itu bisa menjadi martil serius bagi penyelenggara pemilu, khususnya KPU dan Bawaslu. Bukti perjalanan perpolitikan Indonesia, dalam penyelenggaraannya telah memakan korban-korban, seperti korupsi (uang atau kebijakan administrasi), atau bentuk-bentuk lain dari gratifikasi. Jika saja situasi ini tidak ada kesadaran dan solusi, baik terhadap sistem atau kebijakan, etik dan moral secara bersama-sama. Maka masa depan perpolitikan Indonesia akan stagnan, repetitif, maka akan ada titik jenuh bagi para pemilih. Hal ini terbukti tidak ada satupun partai, yang bisa bertahan dengan suara kemenangan mayoritas. Artinya para pemilih, bisa tiba-tiba berubah pikiran dan berpindah dalam dukungan politiknya.

Titik jenuh pemilih, jika dulu hasrat pembagunan politik dan dunia pendidikan serta pemerataan ekonomi menghasilkan rasa aman dan nyaman, dirasa cukup dan menumbuhkan simpati dan kepercayaan. Namun hari ini pemilih, menginginkan wakil rakyat juga dapat dijadikan “simbol sosial”, kecerdasan dan bermartabat. Di mata daerah lain juga dunia. Maka terjadilah “kompleksitas harapan”, yang mengalami pergeseran tentang simbol sosial, strata sosial dalam kompetisi di dunia kontemporer.

Hal ini terjadi karena sudah tidak ada lagi ruang aman bagi wakil rakyat untuk “menyembunyikan kepentingan individunya”. Hal ini pun bisa dilihat dari rekam jejak tentang dinamika pelanggaran-pelanggaran sosial, hukum dan etik. Dengan demikian seorang pemimpin, wakil rakyat harus mau mengubah strategi politiknya sebab tidak cukup hanya dengan budaya amplop, kontrak sosialnya saja. Akan tetapi komitmen-komitmen dalam menjalankan konsep, ketika kampanye harus secara tepat dan benar, dapat diimplementasikan secara maksimal. Di sisi yang lain komunikasi politik dalam reses, dapat ditingkatkan kadar kualitas dialog yang lebih baik, dan mampu memancing pikiran-pikiran futuristik dari masyarakat pemilih. Inilah tuntutan riil kaum pemilih masyarakat terbuka, dan tuntutan akan jawaban kepastian hukum, dalam perubahan zaman.

Kant: secara tajam membedakan antara dunia yang masuk akal dan sangat masuk akal, akan tetapi juga dibutuhkan kondisi yang benar atau bernilai.

Dunia jagad maya telah menjadi kekuatan masyarakat sipil. Ruang jagad maya adalah ruang publik, yang dapat dijadikan sharing politik, yang baik antar kontestan dan pemilih. Tentunya dengan konten-konten, yang memberikan dan menumbuhkan, inspirasi-inspirasi penting bagi perkembangan, wilayah ekonomi dan kebudayaan. Sebab dunia maya sudah menjadi alat fundamentalis dari masyarakat sipil, pemilih yang homogen. Di sinilah ujian-ujian dan kecanggihan, kecerdasan dari “simbol sosial” diuji oleh pemilihnya. Tuntutan perubahan bukan hanya milik pemilih rasional. Namun juga penyelamatan pemilih emosional yang kurang memahami politik. Tidak ada siapapun yang menginginkan kegaduhan politik di wilayahnya. Terpenting politik jangan mengambil “semua hak hidup pemilih”. Semua negara bangsa ini ingin bermartabat, berdaulat, maka perdebatan, pertengkaran politik, idealnya adalah merujuk pada perbaikan konsep negara bangsa, bukan menghancurkan kesatuan negara banga. (Tancep kayon, Bumiaji, 10 Maret 2022)

Bagikan ini:

  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
Tags: SatupenaSlamet Hendro KusumoSlamet Henkus

Comments 1

  1. akahataufanaminudin says:
    3 tahun ago

    Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur

    Balas

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

BERITA TERBARU

Puspen TNI Terima Atase Pers AS, Perkuat Diplomasi Pertahanan lewat Komunikasi Strategis

Golkar Gresik Akan Musda XI 2 September, Cari Ketua Baru Pengganti Ahmad Nurhamim

ADVERTISEMENT

Wali Kota Malang Resmikan Pengiriman Perdana Makan Bergizi Gratis, 3.200 Paket Disalurkan

Pemkot Malang Dorong Jurnalisme Warga Inklusif, Libatkan Penyandang Disabilitas

HUT IGTKI PGRI ke-75, Bupati Gresik Janjikan Rp7 Miliar Insentif Guru Non-sertifikasi

Prev Next

POPULER HARI INI

Diskon Pajak 80% dari Bupati Yani, Warga Gresik Serbu Kantor Kecamatan Bayar PBB

Publik Nilai Tepat, Irjen Pol Suyudi Ario Seto Dipromosikan Jadi Komjen dan Kepala BNN

PKK Kecamatan Gresik Gelar Lomba Penyuluhan 10 Program Pokok, Dorong Kreativitas dan Kemandirian

Panglima TNI Rotasi 414 Pati, Perkuat Regenerasi dan Soliditas Pertahanan

Golkar Gresik Akan Musda XI 2 September, Cari Ketua Baru Pengganti Ahmad Nurhamim

BERITA LAINNYA

Puspen TNI Terima Atase Pers AS, Perkuat Diplomasi Pertahanan lewat Komunikasi Strategis

KM Osela Tenggelam di Bangka Belitung, Bakamla Terjunkan Unsur Laut Bantu Cari Korban

PLN Dorong Perempuan Berdaya Lewat Seminar Women Empowerment di Pacitan

Panglima TNI Rotasi 414 Pati, Perkuat Regenerasi dan Soliditas Pertahanan

Bakamla RI dan Angkatan Laut Singapura Perkuat Kerja Sama Keamanan Maritim

Prev Next

BERITA KHUSUS

DPRD Kabupaten Malang dan Bupati Sanusi Sepakat Perkuat Tata Kelola Daerah

RSUD Gresik Sehati Resmi Dibuka, Percepat Akses Layanan Kesehatan di Gresik Selatan

Prev Next

POPULER MINGGU INI

Publik Nilai Tepat, Irjen Pol Suyudi Ario Seto Dipromosikan Jadi Komjen dan Kepala BNN

Diskon Pajak 80% dari Bupati Yani, Warga Gresik Serbu Kantor Kecamatan Bayar PBB

Umpatan “Ndasmu” Menurut Rasa Bahasa Jawa

SDN Tanah Kalikedinding I Surabaya Meriahkan HUT ke-80 RI dengan Lomba Tradisional

Gang Mangkatan Gresik Tanamkan Cinta Tanah Air Sejak Usia Dini

  • Tentang Javasatu
  • Redaksi
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Siber
  • Kode Perilaku Perusahaan
  • Perlindungan Wartawan

© 2025 Javasatu. All Right Reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

  • Beranda
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • EKONOMI
  • PEMERINTAHAN
  • POLITIK
  • HUKUM
  • OLAHRAGA
  • WISATA & KULINER
  • ESAI

© 2025 Javasatu. All Right Reserved