Wacana tentang Islam-Iman-Ihsan
Oleh: Wawan Susetya – Sastrawan-budayawan dan penulis buku anggota Satupena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung Jatim
BERDZIKIR (mengingat Allah), dalam perspektif Agama Islam, sebenarnya lebih banyak dikenal ketika seseorang sudah memulai pada tahapan Ihsan; yakni cara memandang Allah dengan mata hati. Dalam konteks ini, memang, Ihsan merupakan fase ketiga (terakhir), yakni setelah dimulai dari pemahaman dan aplikasi Rukun Islam dan Rukun Iman. Dengan demikian, dalam Agama Islam sebenarnya jika dirinci secara detail akan tergambar tiga wacana besar, yakni Islam, Iman dan Ihsan.
Rukun Islam sudah jelas, yakni terdiri dari lima rukun; Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Sedangkan Rukun Iman, yakni iman kepada Allah Swt, Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul-Rasul Allah, Hari Kiyamat, dan Takdir (Ketetapan Allah). Nah, setelah seseorang sudah mantap dalam pemahaman dan pengamalan Rukun Islam dan Rukun Iman, maka fase berikutnya adalah Ihsan; yakni substansinya untuk ber-taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).
Berkaitan dengan pengertian Rukun Islam, Rukun Iman dan Ihsan ini sebagaimana terungkap dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim; dari Abu Hurairah r.a, katanya Rasulullah bersabda: “Bertanyalah kepadaku!” Karena itu para sahabat berebut hendak bertanya. Tetapi sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki, lalu ia duduk dekat lutut Nabi Saw dan bertanya, “Apakah yang dikatakan Islam?”
Jawab Nabi Saw: “1) Jangan mempersekutukan Allah dengan sesuatu (Syahadat); 2) Tegakkan shalat; 3) Bayarkan zakat; dan 4) Puasa Bulan Ramadhan.” Dalam keterangan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim yang lain ditambahkan pula: “Haji ke Baitullah, jika engkau sanggup melakukannya.”
Lalu orang itu berkata: “Engkau benar!” Lalu dia bertanya pula, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Iman?”
Jawab Nabi Saw: “1) Iman kepada Allah; 2) Iman dengan para Malaikat-Nya; 3) Iman dengan Kitab-Kitab-Nya; 4 Iman hendak bertemu dengan-Nya; 5) Iman dengan para Rasul-Nya; 6) Iman dengan berbangkit; dan 7) Iman dengan qadar semuanya (ketentuan-Nya).”
“Engkau benar!” ujar orang itu. Tanyanya pula, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Ihsan?”
Jawab Rasulullah Saw, “Hendaklah engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
“Engkau benar!” katanya.
Kemudian orang itu pergi. Maka bersabda Rasulullah Saw, “Panggillah orang itu kembali!”
Para sahabat berusaha mencarinya, tetapi mereka tidak mendapatkannya lagi. Maka bersabda Rasulullah Saw, “Itulah Jibril! Dia sengaja datang hendak mengajarkan agama kepada kalian semua, karena kalian tidak menanyakannya.” (HR Imam Muslim).
Sebenarnya orang asing (Jibril a.s) juga bertanya mengenai Hari Kiamat, yang dimaksudkan untuk mengajarkan kepada para sahabat. Dalam keterangan hadits lain yang berkenaan dengan Ihsan, Rasulullah juga bersabda: “Ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Imam Muslim).
Demikian halnya dengan sabda Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim: “Ihsan adalah kamu menyembah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Ia mengawasimu.”
Dengan hujjah hadits Nabi Saw di atas, dengan demikian Ihsan identik dengan cara memandang Allah Swt dengan mata hati. Ada dua makna mengenai Ihsan sebagaimana dijelaskan Nabi Saw, yakni;
Pertama, ketika seorang muslim menyembah Allah (dalam beribadah shalat) seolah-olah melihat-Nya; disebut musyahadah (mengenang, memandang Allah dengan mata hati).
Kedua, jika seorang muslim tidak dapat melihat-Nya (ber-musyahadah), maka Allah Swt senantiasa mengawasinya; disebut muraqabah.
Meski demikian, dalam amalan praktik keseharian, maka yang didahulukan adalah amalan muraqabah, yakni meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik dan apa yang dipikirkan manusia. Orang yang sudah terbiasa mengamalkan muraqabah, ia identik dengan ‘Waskat’ (pengawasan melekat) yang sangat efektif dan efisien dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, seorang muslim bisa merasakan bahwa dalam setiap langkahnya selalu diawasi-Nya, maka si hamba senantiasa juga mengawasi hatinya sendiri dari bahaya terjatuh ke lembah dosa atau kemaksiatan.
Sementara, Ary Ginanjar Agustian, dalam bukunya Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan) 2004, menjelaskan mengenai dimensi manusia atas tiga hal; yakni dimensi fisik atau body, dimensi emosional atau mind dan dimensi spiritual atau soul. Dimensi manusia tadi kemudian dikaitkan dengan dimensi kecerdasan ESQ yang meliputi IQ (Intelegensi Quotion), EQ (Emotional Quotion) dan SQ (Spiritual Quotion) yang kemudian dikontekstualkan ke dalam dimensi Agama Islam; yakni Islam, Iman, dan Ihsan.
Menurut Ary, Ihsan identik dengan dimensi spiritual atau SQ (Spiritual Quotion), sedang kata Ihsan sendiri adalah sebuah kata kerja yang berarti “berbuat atau menegakkan sesuatu dengan kualitas terbaik”. Manusia adalah ciptaan Allah yang terindah, sehingga Allah memberikan potensi (fisik, emosi dan spiritual) kepada manusia agar mampu melakukan yang terindah atau terbaik.
Apa yang dijelaskan Ary dengan Ihsan sebagai “berbuat atau menegakkan sesuatu dengan kualitas terbaik”, berarti seseorang tersebut telah memiliki dorongan yang berkualitas prima untuk yang terbaik, bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi lebih diserahkan kepada Allah semata-mata. Adanya dorongan prima untuk berbuat yang terbaik, tentu, harus dilandasi rasa percaya diri yang optimal juga. Jika seseorang melakukan hal seperti itu secara istiqomah, tak ayal ia akan menjadi orang yang sukses, yakni bukan saja di wilayah bisnis atau usaha, tetapi yang paling utama di dalam perspektif spiritualnya. Mengapa demikian? Karena ia senantiasa menyadari sepenuhnya bahwa keyakinan dan potensi diri yang hebat tersebut merupakan karunia Tuhan.
Dengan demikian, jelas Ary Ginandjar, hal tersebut merupakan cermin dari citra diri yang positif. Begitulah, agar seseorang memiliki rasa percaya diri yang mantap, mau tidak mau, ia harus memperhatikan dan mencintai dirinya sendiri dan lebih mengenali potensi diri. Ia dituntut agar memperlakukan dirinya sendiri secara baik dan bijaksana.
Rasa percaya diri seseorang, jika dipupuk terus, memang akan menjadi sumber keberhasilan seseorang. Bahkan, ia bisa mendapatkan keberhasilan yang lebih banyak lagi. Sebaliknya, jika seseorang telah kehilangan kepercayaan, maka ia akan mengalami kegagalan yang tiada henti-hentinya.
Biodata penulis:
- Nama: Wawan Susetya
- Tempat & tgl lahir: Tulungagung, 1 Desember 1969
- Agama: Islam
- Pekerjaan: Penulis buku dan Sastrawan-budayawan, Pegiat ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) dan Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) & Sanggar Triwida Tulungagung dan Satu Pena Jawa Timur
- Alamat: RT 1/RW 1 Glotan 29, Ds. Tanggung, Kec. Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jatim 66272
- E-mail: wawan.susetya@gmail.com
- WA/HP: 0821.3922.7725