JAVASATU-SURABAYA- Problematika film Jawa Timur muncul dari diskusi dan nonton Film Kembara. Kegiatan itu jadi pilihan Departemen Litbang Dewan Kesenian Jatim untuk mengurai ilmu dan persoalan. Diskusi berlangsung Sabtu (17/7/2021) dengan moderator Redo Nomadore. Ia produser sekaligus Sutradara Film Dokumenter Kronik Seni Film Jawa Timur, Redo Nomadore.
BACA JUGA:
- Nonton dan Diskusi Film Kembara, Litbang DKJT Hadirkan Pakarnya – Kliktimes.com
-
Masukan Wakil Gubernur untuk Dewan Kesenian Jawa Timur – Javasatu.com
Kemudian, acara ini akan menghadirkan empat pembicara yang menawarkan sudut pandang yang berbeda. Pertama, Sol Amrida yang merupakan pegiat film yang juga pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur di Departemen Film berbicara mengenai kelembagaan seni film di Jawa Timur. Kedua, Theo Maulana yang membesarkan komunitas Sinema Intensif sekaligus kurator.
Sebagai kurator, Theo dapat menyampaikan pemetaan perkembangan seni film di Jawa Timur. Ketiga, Mahesa Desaga yang akan bergabung dari Kota Malang. Sutradara berpengalaman yang dapat memberikan tanggapan terhadap penyelenggaraan diskusi dan kehadiran film yang dapat berfungsi sebagai arsip. Keempat, Wimar Hendarto yang akan menjelaskan tantangan dalam memproduksi film di Jawa Timur.
Pada kesempatan pertama, Redo mempersilakan Wimar Herdanto untuk berbicara mengenai problematika seni film di Jawa Timur. Dalam paparannya, Wimar mengatakan bahwa Jawa Timur memiliki keunggulan di segi sumber daya manusia (SDM) atau kapasitas setiap kru baik secara pengalaman maupun pengetahuan. Karena di film, ia kembali mengetengahkan pendanaan sebagai satu persoalan pelik yang tidak kunjung menemukan solusi yang konkret.
“Terutama bagaimana mempertemukan para sineas dan pekerja kreatif di seni film dengan pengusaha. Atau investor yang berminat untuk memberikan modal bagi kelangsungan hidup proses kreatif dari film,” urainya.
Standardisasi untuk Solusi Film Jawa Timur
Redo juga memberikan waktu pada Mahesa Desaga yang mencoba memantik tawaran-tawaran alternatif solusi. Terutama menanggapi bahwa kehadiran ruang-ruang pembangunan ekosistem film yang ada seyogianya dapat topangan berupa tempat pertemuan dan tempat pemutaran. Di dalam alternatif-alternatif yang telah jadi tawaran itu, perlu ada standardisasi..
“Standardisasi antara lain (1) SDM yang dapat dihitung; (2) standar anggaran yang diperlukan agar disepakati untuk memberikan dorongan semangat para sineas bahwa kerja kreatifnya dihargai secara materiil cukup; dan (3) Standar presentasi rancangan film agar terlihat baik di depan para pemangku kepentingan termasuk pada investor atau pengusaha agar tertarik untuk mendanai,” jelasnya.
Adapun Sol Amrida, kemudian memaparkan beberapa upaya jajaran Departemen Litbang DKJT maupun aktivitas. Seperti audiensi yang dilakukan pada DPRD dan Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur. Sol mengajak serta berbagai elemen dari anggota Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur, akademisi, praktisi film. Serta pemerhati film secara umum untuk mendorong agar Jawa Timur yang sudah memiliki dasar hukum berupa Perda Provinsi Jawa Timur No. 8 Tahun 2014.
“Agar dapat diperkuat dengan kehadiran Pergub yang dapat memberikan lembaga perfilman di Jawa Timur seperti Badan Perfilman Indonesia (BPI) di pusat. Keberadaan lembaga ini harapnya dapat menaungi seluruh pekerja kreatif dalam ekosistem perfilman di Jawa Timur yang memiliki segudang potensi,” urai Sol.
Apa yang dilakukan Sol bersama dengan rekan-rekan Departemen Seni Film di DKJT pun mencoba “meretas” sistem. Yakni dengan memberikan secara cuma-cuma biaya produksi pada sineas-sineas dari seluruh Jawa Timur. Sejauh ini, telah ada 54 proposal skenario yang masuk di pihaknya, dan kemudian akan diseleksi 12 yang akan presentasi langsung.
Menyoal Pemetaan Subkultur di Jawa Timur
Muncul pertanyaan dari moderator Redo yang mana terdapat satu pemetaan subkultur di Jawa Timur menjadi enam wilayah kultural. Seperti Pendalungan, Tengger, Osing, Arek, Madura, Pesisir, dan Mataraman. Pertanyaan ini mendapat tanggapan dari Yogi Ishabib. Ia mengatakan bahwa kategorisasi film di Jawa Timur berdasarkan subkultur masih belum begitu tampak yang menonjol. Kecuali penggunaan bahasa yang melekat di setiap daerah.
“Lokalitas masih belum tampak. Misalkan dicontohkan film Wimar yang berlatar di Jatiwangi, Bekasi yang membahas mengenai ruang di mana orang asing menuju ke tempat yang asing. Konteks bisa terjadi di mana pun,” tutur alumnus Sosiologi UNAIR yang sering menjadi kurator di festival film internasional tersebut.
Menyoal ini, terdapat komunitas-komunitas film yang masih belum merata persebarannya di Jawa Timur. Misalkan di kota besar seperti Surabaya dan Malang, di kota kecil seperti Gresik dan Jember. Mirisnya, Madura belum ada sama sekali karena belum dengan baik masuk dalam data. Untuk beberapa kawasan, para sineas masih perlu meraba-raba lagi seperti di Banyuwangi dan kota-kota lain.
Film Memuat Konten Lokal
Theo Maulana berpendapat terkait ekspektasi tertentu terhadap film di Jawa Timur agar memuat konten-konten lokal. Bagi Theo yang harus saat ini adalah mengarus utamakan relevansi nilai-nilai tersebut pada film yang jadi tontonan orang-orang di Jawa Timur. Peran festival menjadi penting, namun problemnya dalam contoh yang mikro seperti Festival Kecil (Festcil) oleh komunitasnya. Juga terdapat problem dalam pendanaan. Seperti halnya kawan-kawan Theo yang berkecimpung dengan produksi.
Akademisi yang meneliti dunia perfilman IGAK Satrya Wibawa dan Arfan Adhi Perdana juga memberikan penjelasan. Terkait arah perkembangan ekosistem di Jawa Timur dan celah pendanaan untuk festival, terlepas produksi film.
Menurut Satrya Wibawa dengan melihat isu ini dari medio 2000an. Misalkan karakteristik Kota Surabaya dalam konteks Jawa Timur berbeda dengan apa yang berkembang di Yogyakarta. Karakter yang distingtif dapat ditawarkan untuk dipertahankan dalam menyelesaikan masalah ekosistem perfilman di tiap-tiap daerah. Selain itu, akademisi UNAIR ini menanggapi keterlibatan komunitas seni di Surabaya belum begitu kuat.
“Justru, di Surabaya industri/pabrik mendominasi pembahasan mengenai kebudayaan,” ujarnya soal problematika film Jawa Timur.
Goethe Institut Sebagai Sponsor Utama Perfilman
Katanya kehadiran lembaga-lembaga kebudayaan dari asing seperti Goethe Institut menjadi sponsor utama kegiatan-kegiatan film di Surabaya. Terhadap persoalan signifikansi peran festival yang krusial namun terdapat kealpaan ruang putar dan pertemuan. Masalah ini dapat terselesaikan dengan menjembatani akses antara sineas dan pekerja kreatif film dengan birokrasi. Satu hal yang dapat menjadi kekuatan utama DKJT.
“Selain itu, dunia kampus mendorong desentralisasi sebagai solusi paling tepat untuk menciptakan ruang publik di kawasan yang secara desain industri,” katanya.
Pada akhirnya, ada dua fokus yang dapat jadi arahan untuk menitikberatkan seni film sebagai satu ciri khas yang mewarnai Jawa Timur. (1) Keunikan Jawa Timur sebagai satu-satunya daerah yang memiliki perda perfilman. (2) Ketersediaan ruang pertemuan sekaligus memutar film.
Harapan Insan Film dari Malang
Adapun Arfan Adhi Perdana akademisi sekaligus pemerhati film dari UMM punya harapan baru untuk jajaran Departemen Seni Film DKJT terkait representasi. Selama ini, Komite Film (sebelum sekarang menjadi departemen) seperti terombang-ambing karena abstainnya peran perwakilan dari para sineas. Saat ini, ia mendukung penuh upaya Sol Amrida, Syarif Wajabae, dan Irfan Akbar dari Departemen Film Jawa Timur.
“Yakni untuk melakukan fasilitasi terhadap apa yang selama ini belum terisi dari DKJT. Dengan upaya-upaya seperti: mencari kota-kota yang belum terjamah. Agar dapat secara konsisten berkegiatan melalui komunitas film, dan menyediakan ruang dan waktu untuk sineas-sineas dalam melakukan ekshibisi,” urainya.
Arfan dan rekan-rekan sejawat festival film di Malang membuka program pengarsipan kendati tidak semudah yang mereka pikirkan. Terutama kesulitan dalam mengumpulkan data dan identitas apakah layak untuk diarsipkan atau tidak semua mau diarsipkan oleh para pembuat film. Upaya Irfan di Gresikmovie, komunitas-komunitas di Surabaya seperti Sinemaintensif, UPN Veteran Jawa Timur dan Universitas Airlangga dapat menjadi contoh baik. Bisa jadi sinergi secara serentak oleh komunitas-komunitas film lain di Jawa Timur untuk mengumpulkan dan memetakan kekayaan intelektual seni film di Jawa Timur.(ary)
Comments 3