JAVASATU.COM- Di tengah riuh rendah perdebatan tentang ketidakpastian ekonomi global, Menteri Keuangan Purbaya Sadewa datang dengan sebuah diagnosa yang mengejutkan, bahkan cenderung kontroversial. Bagi Purbaya, lesunya ekonomi Indonesia belakangan ini bukan disebabkan oleh perang di Eropa atau suku bunga The Fed di Amerika, melainkan oleh “penyakit” yang kita ciptakan sendiri.

Dalam diskusi mendalam di siniar Endgame bersama Gita Wirjawan, Purbaya membongkar akar masalah yang selama ini jarang dibicarakan ke publik: Indonesia terlalu pelit dalam mengelola uang beredar.
Ekonomi yang Sengaja “Dicekik”
“Orang kan sering bilang karena global uncertainty, enggak ada urusan sama global uncertainty,” tegas Purbaya membuka percakapan. Menurutnya, kesalahan fatal ada pada kebijakan domestik yang terlalu kontraktif (ketat).
Ia menggunakan analogi yang cukup mengerikan untuk menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia dalam setahun terakhir: “Jadi setahun lebih ekonomi dicekek, dikasih nafas sedikit, kemudian dicekek lagi”.
Apa maksudnya “dicekik”? Purbaya menjelaskan bahwa pertumbuhan uang beredar (M0) di sistem keuangan nyaris nol persen. Artinya, tidak ada tambahan “darah” baru yang dipompa ke tubuh ekonomi. Akibatnya, daya beli turun, dagangan sepi, dan gejolak sosial mulai muncul ke permukaan.
Jurus Milton Friedman: Banjiri Pasar!
Tidak mau terjebak dalam pola lama, Purbaya mengambil langkah yang disebutnya sebagai strategi “nekat” namun terukur. Ia mengaku terinspirasi oleh pemikiran Milton Friedman, ekonom peraih Nobel yang meyakini bahwa jumlah uang beredar adalah kunci utama penggerak ekonomi, bahkan lebih penting daripada sekadar naik-turun suku bunga.
Langkah konkretnya? Purbaya memindahkan dana pemerintah yang selama ini “menganggur” di Bank Sentral (Bank Indonesia).
“Saya pindahin uang saya dari BI ke perbankan… Saya pindahin 200 (triliun),” ungkap Purbaya.
Bagi orang awam, bayangkan ini seperti bendungan air yang pintunya dibuka lebar-lebar. Uang Rp200 triliun itu masuk ke bank-bank umum. Karena bank harus membayar bunga simpanan kepada pemerintah, mereka “terpaksa” harus segera menyalurkan uang tersebut menjadi kredit bagi pengusaha dan masyarakat agar tidak rugi.
“Itu baru separuh, senjatanya masih ada,” tambah Purbaya, mengisyaratkan bahwa ia masih memiliki cadangan dana ratusan triliun lagi jika ekonomi masih terasa lesu.
Target 8%: Mimpi atau Realita?
Langkah agresif membanjiri pasar dengan likuiditas ini bukan tanpa tujuan. Purbaya optimistis, jika mesin ekonomi domestik sudah “berminyak”, target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan pemerintah bukanlah hal mustahil.
Purbaya memiliki hitungan matematika sendiri. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi 5% adalah angka moderat. Dengan melonggarkan “cekikan” likuiditas tadi, ekonomi bisa tumbuh alami ke level 6,5% hanya dengan mengandalkan kekuatan dalam negeri.
“Base-nya jangan kita hitung 5, base-nya 6,5,” ujarnya.
Lalu, dari mana sisa kekurangannya untuk mencapai 8%? Di sinilah peran investasi asing (FDI). Purbaya meyakini, investor asing tidak perlu dipaksa-paksa. Jika mereka melihat ekonomi domestik Indonesia tumbuh 6,5% dan daya beli masyarakat kuat, mereka akan datang dengan sendirinya.
“Saya enggak akan mengemis-ngemis mereka,” ucapnya percaya diri.
Risiko di Balik Optimisme
Tentu saja, strategi membanjiri pasar dengan uang tunai memiliki risiko klasik: inflasi. Jika uang terlalu banyak beredar sementara barangnya sedikit, harga-harga akan naik.
Namun, Purbaya menepis kekhawatiran itu. Ia berargumen bahwa ketakutan berlebihan terhadap inflasi justru membuat kita kehilangan momentum pertumbuhan.
“Selama kita tumbuhnya di atas laju pertumbuhan potensial… enggak apa-apa ekonomi tumbuh lebih cepat,” jelasnya. Baginya, inflasi bisa dikendalikan dan diukur, tetapi momentum pertumbuhan yang hilang sulit dikembalikan.
Kini, bola ada di tangan Purbaya. Eksperimen moneternya sedang berjalan. Apakah “banjir uang” ini akan membawa kemakmuran atau justru lonjakan harga? Waktu yang akan menjawab. (jup)
Sumber: Diolah dari kanal YouTube Gita Wirjawan (Tayang: 3 Desember 2025)